Telusur.co.id - Kinerja Bupati Bekasi Eka Supria Atmaja mulai dipertanyakan masyarakat. Gebrakannya dalam mengelola keuangan daerah, hingga kini belum terlihat.
Terbukti, serapan dana APBD tidak mampu dibelanjakan dalam satu tahun anggaran oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi, dibawah kepemimpinan Eka Supria Atmaja.
Ini menjadi cermin dan tema yang diangkat oleh Dewan Pendiri LSM JEKO (Jendela Komunikasi) ketika memperingati Hari Jadi ke-69 Kabupaten Bekasi yang jatuh pada 15 Agustus 2019.
Dewan Pendiri LSM JEKO yang kerap disapa Bob menjelaskan, sudah bukan rahasia lagi uang APBD yang tidak mampu dibelanjakan dalam satu tahun anggaran atau Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) nilainya sangat fantastis. Namun sayangnya lupa atau dilupakan oleh stake holder dan berlalu begitu saja.
Ia membeberkan, Silpa APBD Pemkab Bekasi tahun 2017 senilai Rp891.936.602.320, kemudian pada 2018 Silpa itu meningkat menjadi Rp1.029.219.164.179, dan bahkan diprediksi akan bertambah pada 2019 menjadi Rp1,3 triliun.
“Jika dicermati dan ditelaah, APBD Pemkab Bekasi itu menunjukkan ada sesuatu yang salah pada level sistem. Skala kejadiannya bukan lagi kasuistik dan temporer, melainkan sudah menjadi wabah atau virus permanen, sehingga harus cepat diamputasi,” kata Bob Pandapotan kepada telusur.co.id di Cikarang, Jumat (16/8/2019).
Dengan adanya nilai tersebut, kata dia, APBD sebagai instrumen fiskal bagi pembiayaan layanan publik dan stimulan ekonomi jalan di tempat.
Karena itu, mungkin menjadi satu alasan jika Gubernur Jawa Barat tidak hadir ketika pelaksanaan puncak peringatan Hari Jadi Kabupaten Bekasi ke-69.
Bagaimana pun, menurut Bob, momentum Hari Jadi ke-69 Kabupaten Bekasi ini harus dan wajib direnungkan kenapa Silpa itu terjadi. “Jangan diam, karena hak dasar rakyat untuk menikmati jalan bagus atau irigasi/pengairan sawah dan lampu penerangan jalan umum tidak dirasakan rakyatnya. Bahkan hilang lantaran pemangku kebijakan duduk manis dan memarkir dana publik ke berbagai lembaga/instrumen keuangan yang tak produktif,” tandasnya.
Yang jelas, lanjut dia, terjadinya Silpa itu membentuk struktur persoalan yang tak boleh dianggap enteng. “Jika melihat siklus realisasi pada triwulan hingga semester pertama kenapa selalu minim, di sinilah awal masalah manajemen,” ucapnya.
Ketika hal tersebut dicambuk, kata dia, jawabnya sistem anggaran tahun jamak (multi years) hanya berlaku pada megaproyek. Belum lagi, alasan waktu ketika menuntaskan pembahasan RAPBD. Bahkan ada proyek yang tendernya diulang dan bahkan ada juga yang telah dianggarkan dan sudah memasuki kontrak kerja dengan pihak ketiga, gagal dieksekusi karena hambatan yang datang dari dimensi persoalan lain.
“Ketakutan terjerat hukum ketika menjadi PA, PPK dan PPTK adalah wujud nyata penolakan secara halus yang dilakukan birokrat untuk mengimplementasikan anggaran yang mereka tahu betul kalau rancang bangun itu hanya untuk kepentingan kelompok politisi,” ujarnya.
Menurut Bob, APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. Oleh karena itu, kandungan yang ada di dalamnya adalah rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan belanja daerah untuk melaksanakan desentralisasi, karena pembiayaan itu dipungut dari semua penerimaan daerah dan tujuannya untuk memenuhi target yang ditetapkan dan disepakiti bersama antara eksekutif dan legislatif. [asp]
Laporan Dudun Hamidullah