Sisi Lain Mendiang Yahya Sinwar, Tahanan Politik Paling Produktif di Dunia Sastra - Telusur

Sisi Lain Mendiang Yahya Sinwar, Tahanan Politik Paling Produktif di Dunia Sastra

Mendiang Yahya Sinwar. (Foto: Parstoday).

telusur.co.id - Selain menulis buku The Thorn and the Carnation, mendiang Syahid Yahya Sinwar juga menerjemahkan lima buku lain dari bahasa Ibrani dan Inggris, dan menjadikannya tahanan politik paling produktif di dunia di bidang sastra.

Sebagai seorang komandan perang, Yahya Sinwar memiliki visi budaya dan sastra yang luas. Ia juga adalah penerjemah sejumlah buku. Parstoday melaporkan, surat kabar Iran, Hamshahri, menulis sisi lain mendiang Yahya Sinwar sebagai berikut:
 
Di balik figur seorang militer dan politisi, Yahya Sinwar adalah seniman yang pemikir, budayawan sekaligus sastrawan. Ia menulis, menerjemahkan, dan menerbitkan sejumlah buku sastra saat dikurung sekian lama di dalam penjara Israel.
 
Sinwar yang sejak awal masa remajanya sudah terjun ke kancah perjuangan rakyat untuk membebaskan Palestina, pada tahun 1988 ditangkap dalam sebuah operasi pasukan Israel, dan divonis empat kali hukuman penjara seumur hidup.
 
Hingga tahu 2011, ia ditahan di penjara Rezim Zionis Israel, dan sekitar 22 tahun ia menghabiskan usianya di penjara Israel. Tapi selama dikurung, ia tidak berdiam diri, di dalam penjara ia belajar bahasa Ibrani, dan menulis sebuah karya sastra dalam bahasa itu.
 
Buku roman Duri dan Bunga Anyelir karya Yahya Sinwar adalah buah dari pengalaman eksperimental dirinya di bidang sastra saat dikurung di penjara Israel. Sebuah roman yang masuk daftar buku paling laris di Amazon, tapi akhirnya dihapus dari seluruh situs karena tekanan Israel.
 
UK Lawyer for Israel, UKLFI, kepada Amazon berkata bahwa penjualan buku Yahya Sinwar melanggar hukum. Pada 18 April 2024, UKLFI mengumumkan kepada Amazon bahwa perusahaan itu telah melanggar aturan anti-terorisme Inggris, dan menggugat Amazon. Sehari kemudian, Amazon menghapus buku Sinwar dari daftar penjualan.
 
Selain buku roman Duri dan Bunga Anyelir, Yahya Sinwar juga menerjemahkan lima buku lain dari bahasa Ibrani dan Inggris, dan hal itu menjadikannya sebagai tahanan politik paling produktif di dunia di bidang sastra.
 
Banyak orang-orang yang berada di sekitar Yahya Sinwar mengenalnya sebagai seorang budayawan yang muncul dalam bentuk figur yang heroik, militer, dan petempur.
 
Buku Roman Duri dan Bunga Anyelir
 
Buku ini ditulis oleh Yahya Sinwar pada tahun 2004 saat berada di dalam penjara Israel, Beersheba. Judul buku Duri dan Bunga Anyelir adalah gambaran kehidupan di Gaza, meliputi berbagai penderitaan dan kesulitan yang disimbolkan dengan duri, dan bercampur dengan bunga Anyelir sebagai simbol kegembiraan.
 
Judul klise buku ini adalah judul ganda yang banyak digunakan dalam sastra biografi kontemporer Arab, untuk menggambarkan dengan baik pengalaman kontradiksi dalam kehidupan. Dalam roman ini, cinta dan kekerasan, harapan dan keputusasaan, kelembutan dan kekuatan, tergambar begitu jelas.
 
Duri dan Bunga Anyelir adalah sebuah kisah perjalanan hidup dan kesempurnaan spiritual dari sudut pandang seorang bernama Ahmad, kisah dua keluarga di Gaza dan Al Khalil, yang saling terkait dengan gerakan perlawanan. Sebuah kisah yang terikat dengan kehidupan Sinwar sendiri.
 
Dalam kata pengantar bukunya, Sinwar menulis, "Unsur imajinasi dalam karya ini hanya untuk diubah ke dalam sebuah roman, semuanya. Sementara sisanya adalah kejadian nyata yang saya alami sendiri atau saya dengar dari para penuturnya di tanah air kami, Palestina. Kejadian-kejadian di roman ini dimulai tepat sebelum kekalahan tahun 1967, ketika Jalur Gaza, dikelola Mesir."
 
Ahmad, tokoh utama roman, menjalin hubungan persahabatan dengan para tentara Mesir, dan percaya pasukan Arab akan mengalahkan Israel dan membebaskan Palestina, sehingga para pengungsi bisa kembali ke rumah mereka.
 
Meski demikian, ketika mereka kalah, Ahmad terkejut. Tokoh utama roman kemudian berbicara soal dimulainya perlawanan atas penjajahan Israel, dan menceritakan aksi pelemparan bom terhadap patrol-patroli pasukan Israel, sehingga begitu menyulitkan pasukan Israel untuk memasuki jalan dan gang-gang sempit di kamp pengungsian Al Shati.
 
Ayah dan paman Ahmad terbunuh saat bertempur melawan pasukan Israel, dan setelah itu ia hidup bersama ibu, saudara-saudara, saudari, dan kakeknya beserta sejumlah sepupu yang ditinggalkan ibu-ibu mereka, dan sekarang semua orang menjadi tanggungannya.
 
Ahmad, melalui perantara Mahmoud, saudara tuanya, bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina, PLO, tapi setelah kembali dari Mesir, ia ditangkap. Sepupunya, Ibrahim, berulangkali melakukan pertemuan dengan seorang bernama Syeikh Ahmad Yassin, salah satu pendiri Hamas, yang dibunuh Israel pada 2004.
 
Roman ini selain menciptakan adegan-adegan heroik dari perlawanan, juga menjelaskan sejumlah masalah sosial. Misalnya, roman ini menyoroti pilihan sulit yang dihadapi para pengungsi Palestina untuk bekerja di Israel. Sebagian menganggapnya sebagai peluang memperbaiki kehidupan keluarga, sementara sebagian yang lain menganggapnya pengkhianatan.
 
Di sisi lain, dalam perbincangan antara Ahmad dengan tokoh-tokoh lain, dijelaskan beberapa masalah keyakinan serta perbedaan pandangan di antara warga Palestina dan visi mereka terhadap kelompok perlawanan lain. Banyak analis meyakini, Yahya Sinwar dalam buku ini membahas sebagian kehidupannya sendiri.
 
Dalam kehidupan nyata, Yahya Sinwar adalah orang yang bertugas mengidentifikasi anasir-anasir Israel, dan Abu Ibrahim, adalah nama perang serta julukan Sinwar. Nama yang memegang tanggung jawab berat di dalam roman. Sinwar dalam buku ini menjelaskan detail kesederhanaan dan kemiskinan rakyat Palestina. [Tp]


Tinggalkan Komentar