Oleh: Suroto*
Apakah yang sungguh-sungguh dianggap serius mengancam eksistensi sistem ekonomi kapitalis itu? Sebagian kita mungkin menganggap gerakan massa besar besaran terutama dari kaum buruh dan lahirnya kepemimpinan kaum proletar dengan ideologi komunisme yang rebut kekuasaan negara. Sebagian lagi mungkin menganggap lahirnya kepemimpinan fasis baik itu yang lahir dari aksi kudeta militer, agama dan lainya yang memunculkan kekuasaan otoritarian.
Fakta empirisnya, kepemimpinan Cina sebagai partai tunggal memang telah memberikan gambaran bagaimana partai komunis itu efektif kuasai negara dan individu. Korporasi boleh bergerak dengan batasan yang ketat mengikuti aturan negara.
Kepemimpinan fasis seperti Korea Utara juga telah menunjukkan kuasa otoritarian tersebut. Kepemimpinan Kim Jong Un telah secara efektif letakkan kuasa negara dalam genggamanya dan otomatis individu dan korporasi tak dapat bergerak di luar persetujuanya.
Namun, apakah semua itu menjadi ancaman serius bagi kapitalisme ? Tentu tidak. Sebab kapitalisme dan para kapitalis itu tetap dapat hidup dalam tubuh kuasa partai tunggal komunisme dan fasisme sekalipun.
Seorang Jackma, konglomerat kapitalis kaya raya terbukti dapat mengembangkan usahanya dengan pesat. Namun dikarenakan pernyataanya terakhir sebelum ditangkap dianggap telah membahayakan kepentingan negara lalu ditangkap pemerintah tanpa harus diadili. Ini artinya dalam kadar tertentu, para kapitalis dibiarkan hidup, namun negara dalam kuasai partai tunggal masih tetap memiliki supremasi lebih tinggi.
Kaum kapitalis kaya raya boleh berkembang. Namun kuasa mereka sub-ordinat terhadap negara. Demikian juga masyarakat, mereka harus tunduk dan taat pada kuasa tunggal negara.
Sejarah fasisme Musolini di Italia, Stalin dan Lenin di Rusia digambarkan oleh hasil penelitian historis sahabat scholar saya itu dalam satu kesimpulan bahwa antara teori dan modus operandi mereka itu berbeda. Pada intinya, kehidupan ekonomi para fasis itu justru dihidupi oleh para kapitalis ( Tito Menzani, 2013).
Jadi sistem komunisme atau fasisme sekalipun itu ternyata masih memberikan ruang hidup dan berkembangnya para kapitalis. Mereka justru diberikan peranan dan kuasa utama dalam sistem hubungan patron-klien dengan penguasa negara.
Dalam konteks Indonesia, kita dapat lihat dalam sistem kuasa otoritarian Soeharto, kepemimpinanya ini juga ternyata justru berikan jalur istimewa bagi para elit kapitalis kaya raya.
Dalam orientasinya saat ini, kalau pada masa Orde Baru mereka harus menurut pada kehendak kuasa otoriter Soeharto, saat ini mereka justru dalam posisi sub-ordinasi atau kuasai negara. Cerita yang dianggap sebagai fiksi atas kuasa Sembilan Naga dapat kita lihat secara harfiah, merekalah sesungguhnya yang telah menguasai negara dan pemerintah.
Jadi pada kesimpulanya, kuasa sistem partai tunggal komunisme dan juga fasisme sekalipun tetap bukan menjadi ancaman serius dari sistem kapitalisme. Dalam derajat tertentu mereka tetap hidup dan bahkan diuntungkan. Demikian juga dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini.
Doktrin Palsu Kapitalisme
Doktrin kapitalisme itu memang meletakkan diri pada tiga hal prinsip fundamental: kebebasan, kepemilikan tak terbatas dan yang terakhir adalah persaingan.
Setiap individu diberikan kebebasan untuk berbuat dan bertindak seperti mau mereka, laisses faire, laisses passer.
Peran negara menjadi minimal. Setiap individu juga dibiarkan menguasai properti atau kekayaan tanpa batas. Dan setiap orang bebas bersaing tanpa batas dalam sistem persaingan bebas.
Apakah sistem kapitalisme tersebut sungguh sungguh telah menjamin setiap individu menikmati ruang kebebasan dan negara benar benar dapat bertindak steril dan tidak interventif terhadap pasar? dan apakah akhirnya kemakmuran bagi banyak orang dapat tercapai?.
Inilah faktanya, ternyata sistem kapitalisme itu hanya hasilkan penindasan dalam bentuknya yang lain. Para buruh yang jumlahnya lebih banyak adalah menjadi pihak yang tertindas. Petani dan nelayan hanya jadi korban mafia kartel pangan segelintir pengusaha importir dengan kuasa modalnya.
Kecanggihan sistem ekonomi digital yang dikuasai oleh kekuatan modal besar pun ternyata selain hasilkan kemiskinan dan penderitaan ekstrim juga aleniasi terhadap manusia. Para pengojek online yang berserak dan klesetan di trotoar jalan secara masif dengan pendapatan pas pasan di banyak kota di Republik ini adalah gambaran dari residu sistem kapitalis tersebut.
Kebebasan yang ditawarkan oleh sistem kapitalisme ternyata telah menawarkan kebebasan tanpa pilihan hidup yang lebih baik. Rakyat banyak justru harus hidup secara serabutan dan kerja tanpa jaminan sosial, penuh resiko kerja tinggi, kerja melebihi batas kesehatan fisik normal, dan pendapatan yang hanya habis untuk sehari.
Apa yang ditawarkan tentang kepemilikan properti yang mensejahterakan oleh sistem kapitalisme itu ternyata hasilnya justru hanya memperbesar sistem konsentrasi kekayaan pada segelintir orang yang akhirnya membuat mereka menjadi sangat kuat dan berkuasa mengatur pemerintah. Menjadi semakin monopolistik dan konsentratif.
Fakta nyata untuk Indonesia misalnya, kepemilikan bukannya menjadi adil tapi justru jomplang sangat parah. Dari 83 persen orang dewasa Indonesia, kekayaanya tak lebih dari 150 juta rupiah. Ini jauh dari angka rata rata dunia yang hanya 58 persen. Lalu, mereka yang kekayaanya di atas 1,5 milyard rupiah ternyata hanya sebanyak 1,1 persen. Sementara rata rata dunia adalah 10,6 persen ( Suissie Credit, 2021).
Dalam bahasa sederhana, angka tersebut menandakan bahwa sistem kapitalisme yang kita terapkan hari ini adalah hanya mencetak segelintir elit menjadi super kaya raya dan rakyat banyak miskin papa.
Negara ternyata dibuat tak berdaya oleh segelintir elit konglomerat kaya. Dalam situasi krisis ekonomi saja, korporat kapitalis yang telah bangkrut sekalipun justru mendapat dana talangan (bailout) lebih banyak. Kuasa politik mereka mampu atur negara untuk kepentingan selamatkan usaha mereka yang selama ini tak memberi dampak bagi pekerjaan lebih baik ketimbang usaha mikro dan kecil.
Sebut misalnya, kasus talangan BLBI tahun 1997, talangan Bank Century tahun 2008 dan talangan untuk korporasi perusak lingkungan seperti Lumpur Lapindo dan talangan kelas kolosal saat krisis ekonimi akibat pandemi Covid 19 saat ini kepada korporasi. Sementara usaha rakyat dan hidup rakyat kecil dibiarkan bangkrut begitu saja dan cukup ditopang bantuan sosial ala kadarnya untuk menambal isi perut lapar.
Pesaingan bebas yang terjadi ternyata hasilkan rakyat kecil yang hidup dalam persaingan usaha berdarah-darah dengan tetangganya dengan dirikan usaha kelas gurem rumahan dan kaki lima.
Faktanya, pelaku usaha kita, 64 juta atau 99,6 persen dari pelaku usaha keseluruhan kelasnya adalah kelas gurem dalam posisi hidup segan mati sungkan. Motivasi dirikan usahanya adalah karena tak memiliki pekerjaan untuk hidup layak.
Sistem otoritarianisme, etatisme, fasisme, dan sistem kapitalisme itu memang bukan sistem ekonomi konstitusi kita. Sistem ekonomi dan politik yang dikehendaki para pendiri republik ini adalah sistem demokrasi. Sebab dengan sistem demokrasi ekonomi itu peran partisipatoris dan kepentingan masyarakat banyak yang diutamakan. Suara rakyat banyak dan kesejahteraam rakyat banyak yang mustinya direalisasikan dalam setiap kebijakan negara.
Untuk itulah, demi mencapai tujuan besar negara adil dan makmur, maka diperlukan beberapa poin penting agenda demokratisasi ekonomi penting seperti: segera bentuk UU Sistem Perekonomian Nasional yang demokratis sesuai amanah Konstistusi Pasal 33 Ayat 5, alokasikan pendapatan minimum warga negara untuk jamin warga negara tidak ada yang kelaparan, Pembagian Saham Untuk Buruh (Employee Share Ownership Programme/ESOP), pembatasan Rasio Gaji Tertinggi dan Terendah, Demokrastisasi BUMN dan BUMD, dorong agenda Reforma Agraria sampai dengan tata kelola tak hanya sertifikasi tanah seperti saat ini, keluarkan diri dari jebakkan pertumbuhan ekonomi konstan dengan perkuat kekuatan ekonomi domestik terutama pangan dan energi terbarukan, terapkan pajak harta, hentikan kebijakan model paket input yang hanya perkaya makelar program, dll.[***]
*) Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)