Stigma Negatif: Menghambat Edukasi yang Semakin Inovatif - Telusur

Stigma Negatif: Menghambat Edukasi yang Semakin Inovatif


Telusur.co.id -Penulis: Chikal Arhinzani Rahman & Lavina Diana.

Pajak sering kali diabaikan dan dipersepsikan negatif oleh masyarakat Indonesia. Pandangan ini tidak sepenuhnya muncul tanpa alasan. Berbagai faktor, seperti stigma buruk terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP), transparansi yang masih dipertanyakan, minimnya inovasi dalam edukasi pajak, hingga pengalaman individu yang merasa dipersulit oleh sistem perpajakan turut membentuk persepsi ini. Akibatnya, masyarakat, terutama generasi muda seperti Gen Z, cenderung enggan terlibat dalam kegiatan edukasi pajak yang sering dianggap membosankan, terlalu teknis, dan jauh dari relevansi dengan kehidupan mereka. Hal ini terlihat dalam performa konten edukasi pajak yang diunggah di media sosial mereka. Meski DJP memiliki jumlah pengikut yang cukup besar di berbagai platform digital, tetapi tingkat interaksi seperti like, share, dan komentar pada konten-konten tersebut justru relatif rendah. Ini menunjukkan adanya masalah engagement pada akun dan kontennya Lalu, apa penyebab masalah tersebut? Salah satu faktornya adalah citra DJP yang tengah berada dalam sorotan negatif di mata masyarakat.

Salah satu stigma buruk yang terbentuk disebabkan oleh kasus Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat pajak, yang gaya hidup mewahnya beserta asetnya tidak sebanding dengan penghasilannya sebagai aparatur negara. Akibatnya, hal tersebut memicu munculnya diskursus tentang oknum pejabat yang memanfaatkan celah sistem untuk memperkaya dirinya sendiri. Kehebohan ini semakin memuncak ketika ditemukan bahwa aset-aset yang dimiliki Rafael Alun tidak tercatat secara transparan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). 

Di sisi lain, kasus-kasus seperti dugaan suap dan penggelapan pajak oleh oknum tertentu semakin mencoreng reputasi DJP. Bahkan, masyarakat mulai mempertanyakan apakah kasus serupa terjadi pada pejabat lain yang belum terungkap. Selain itu, muncul anggapan bahwa institusi pajak tidak sepenuhnya menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi dasar dari tugas mereka. Isu-isu ini tidak hanya menciptakan antipati terhadap pajak itu sendiri, melainkan juga dapat menghambat upaya-upaya DJP dalam membangun hubungan positif dengan masyarakat, termasuk mengganggu upaya edukasi dan sosialisasi pajak kepada masyarakat.

Sayangnya, meskipun kerap kali diabaikan, masyarakat sebagai subjek pajak harus berupaya “mengonsumsi” edukasi pajak untuk menjaga transparansi pemerintah dalam pengelolaan uang pajak mereka. Melihat urgensi yang lebih utama, melalui edukasi pajak diharapkan masyarakat dapat memahami aspek formal dan material sehingga memudahkan mereka dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Hal ini didukung oleh pernyataan Ariyati Dianita selaku penyuluh pajak KPP Pratama Jakarta Pasar Rebo dalam wawancara mendalam yang dilakukan oleh mahasiswa/i Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia dalam penelitian yang berjudul “Persepsi Generasi Z Terkait Edukasi Pajak Melalui Media Sosial di Wilayah Kota Administratif Daerah Khusus Ibukota Jakarta” dimana beliau menuturkan bahwa Gen Z akan menjadi lebih teredukasi tentang penerimaan pajak serta bisa menumbuhkan kesadaran mereka dalam menunaikan kewajiban sebagai warga negara. Selain itu, menurut data demografi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, populasi Gen Z menempati peringkat pertama dalam jumlah penduduk menurut klasifikasi generasi di Indonesia, yang artinya potensi mereka sebagai future taxpayer juga semakin besar. Hal ini menjadi alasan yang cukup kuat untuk memaksimalkan edukasi dalam perpajakan sebagai investasi jangka panjang. Selain itu, dalam aspek kreativitas konten, DJP juga harus menyelaraskan kesesuaian gaya dengan perilaku Gen Z yang paling sering menggunakan media sosial (Instagram, Facebook, Twitter) dalam satu hari (Litbang Kompas, 2021). Tentunya, jumlah populasi tersebut akan turut memberikan sumbangsih terhadap penerimaan negara yang harus didukung oleh edukasi pajak yang baik.

               Jika kita menilik lebih lanjut pada konten edukasi pajak yang tersaji di media sosial DJP di Instagram (@ditjenpajakri) ataupun Tiktok (@ditjenpajakri), konten yang disajikan sudah berorientasi pada visual, tema yang diangkat dalam konten-konten tersebut juga diambil dari isu yang sedang ramai diperbincangkan, hingga penggunaan tren sebagai upaya pendekatan yang lebih menjangkau Gen Z. “Jangan hanya mengandalkan satu kaki untuk berjalan”, alih-alih hanya berfokus pada maksimalisasi edukasi pajak di media sosial, DJP juga seharusnya melakukan perbaikan pada lembaga mereka yang nantinya bisa mengembalikan trust masyarakat sehingga upaya edukasi yang dilakukan akan menghasilkan output yang maksimal.

               Melalui pendekatan edukasi pajak di media sosial sebagai media yang masif digunakan, DJP sudah mengambil langkah yang tepat. Melihat dari variasi konten yang disajikan sesuai dengan tren yang sedang berjalan hingga aspek penggunaan tata bahasa hingga editing, sekali lagi menunjukkan jika program edukasi pajak memang sudah menyesuaikan targetnya, yakni generasi Z. Namun, faktor pendorong generasi Z dalam mengakses edukasi tersebut tidak hanya ditentukan dari tampilan saja, melainkan dari aspek lain, terutama citra DJP dalam perspektif mereka. Dalam memaksimalkan edukasi pajak harus dibarengi dengan perbaikan citra mereka sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab.


Tinggalkan Komentar