Telusur.co.id - KOTAK suara yang digunakan untuk Pemilihan Umum berbahan dasar kardus kedap air, tumbang dilahap si jago merah.
Padahal, atraksi uji coba “kardus” ini berkali-kali dilakukan. Mulai diduduk, diinjak-injak, disemprot. Memang, kardus itu kedap air, tapi tidak kedap api.
Aksi brutal dibakarnya belasan kotak suara ini dilakukan, salah satunya oleh Caleg PDIP di Jambi. Ini sebagai bukti tidak kuatnya kardus, menahan amarah api. Akibat amukan api, kotak yang berisi surat suara, dan harapan rakyat itu turut lenyap menjadi abu. Sirna.
Padahal, rakyat sudah menaruh harapan besar untuk sebuah perubahan. Semua lunglai dibakar, terkapar, ditiup angin.
Pepatah mengatakan: Jangan bermain api, kalau tidak ingin terbakar. Bukan, jangan bermain air, kalau tak ingin basah. Kepercayaan rakyat yang disalurkan ke lima surat suara, kemudian dimasukkan ke dalam kardus, seharusnya wadah “harapan” itu bukan hanya tahan elemen air. Ingat, ada elemen api, udara dll. Di atas itu semua, tahan dari kejahilan manusia. Itu yang luput dari perhatian.
Apakah, rakyat dipaksa lagi untuk melakukan pemilihan ulang? Entahlah. Mudah-mudahan mereka ada waktu. Meninggalkan pekerjaan. Yang pasti, mereka mengutamakan, menafkahi keluarga. Memastikan, anak, bini, bapak, ayah ibu, cucu, kakek, nenek, tetap makan.
Terlebih, melihat saling klaim kemenangan Pilpres yang semakin membisingkan. Mereka, seolah melupakan dapur rakyat, masih mengebul atau tidak?
Perebutan kekuasaan berubah menjadi sesuatu yang ganas. Ternyata, kampanye, sebelum hari pencoblosan 17 April lalu, tidak lebih dari dagelan politik. Obral janji-janji. Yang kemungkinan, sulit ditepati.
Dibakarnya kardus kotak suara, ini menjadi warning bagi penyelenggara pemilu, maupun pembuat undang-undang, kedepan.
Sebab, tindakan pembakaran ini tidak diprediksi saat ramai-ramainya pembahasan kotak suara dari “kardus” beberapa waktu silam.
Semua, hanya meributkan kotak suara akan reyot, tahan air, jika tergenang banjir. Karena, luasnya wilayah di Tanah Air. Tapi, semua lupa pada kekuatan api.
Siapa sangka, kardus yang tahan semprotan air itu, ternyata tak tahan dilahap Si Jago Merah.
Belum lagi, luput dari perhatian kita, para petugas-petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), serta aparat berwajib, silih bertumbangan. Gugur, demi berjalannya proses demokrasi. Nyawa mereka jadi “tumbal demokrasi”.
Mereka, hanya mendapatkan ucapan belasungkawa. Santunan. Tapi, siapa yang berani memastikan kehidupan keluarga mereka tetap berjalan, karena ditinggalkan kepala keluarga?
Harus diingat, jumlah korban dari pejuang demokrasi ini, nyawa mereka tidak bisa hanya dibandingkan dengan materi. Nyawa mereka lebih berharga di atas segala-galanya.
Mereka bekerja, seperti “robot”. Bukan, delapan jam. Tapi, dari pagi, bertemu pagi. Begitulah, nasib tragis pejuang demokrasi.
Ini ulah siapa? Ini ulah penyelenggara pemilu, kontestan dan elite. Negara, khususnya pemerintah, juga harus bertanggungjawab. Jangan seoalah lupa, pada para pejuang yang di bawah. Jangan hanya, sibuk memperebutkan suara rakyat.
Inilah ujian berdemokrasi kita. Demokrasi seolah seperti gula impor, yang dikerumuni semut. Tidak sadar jika gula itu ditaruh racun. Akibatnya, gula tidak dimakan. Semut-semut pun mati. Dan, wadah tempat gula pun dihanguskan. Lagi-lagi, itulah manis pahitnya berdemokrasi.
Kembali ke soal kardus. Elite-elite partai politik perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh anak buahnya. Ternyata, ada kadernya yang sudah pasti siap menang, tapi tidak siap kalah. Perlu dipertanyakan, bagaimana sistem pendidikan politik yang mereka terima? nilai-nilai demokrasi seperti apa yang mereka perjuangkan dan tanamkan?
Partai politik juga harus bertanggung jawab terkait peristiwa “memalukan” membakar kotak suara tersebut. Partai politik harus memastikan, para kadernya dewasa berpolitik. Termasuk, para simpatisannya.
Jangan sampai, tingkat partisipasi pemilih yang mencapai 80 persen dalam Pemilihan Umum 2019 ini, menurun pada Pemilu berikutnya. Sebaiknya, semua menghargai antusiasme rakyat dalam berdemokrasi. Sangat jelas, antusias ini menjukkan pendewasaan masyarakat dalam berdemokrasi.
Bangsa ini, negeri ini, negeri kita semua. Layak terus tumbuh dan menjadi kuat. Perubahan demi perubahan harus terus berjalan maju. Bukan mundur.
Siapapun yang menjadi pemimpin: kita tetap bersama. Saban hari, kita bersama menatap terbitnya matahari dari ufuk Jayawiyaya, dan tenggelam di Tanah Rencong.
Kepada, Komisi Pemilihan Umum diingatkan bekerja lebih hati-hati agar kesalahan input data penghitungan suara rakyat tidak lagi berlarut. Satu suara yang mereka coblos di bilik suara dan mereka titipkan dikardus kotak suara, merupakan harapan mereka terhadap para pelayannya. Akan perubahan kehidupan mereka.
Beruntung, tidak semua kotak suara dibakar. Jika itu yang terjadi, bagaimana rakyat bisa mempercayai sistem demokrasi yang tengah dibangun ini.
Ada asap, cari titik apinya. Padamkan. Ada kesalahan, perbaiki. Jangan mudah geram. Tak perlu mengambing hitamkan yang lain. Jangan jadi pendendam. Tak perlu membelah cermin, karena tidak terima disalahkan. Diberi masukan. Seburuk apa pun pantulan cermin, itu adalah kenyataan.
Tiba saatnya, kita berdoa semua akan menjadi baik. Kita akan kembali menjadi kita. Bangsa hebat ini, negeri mulia nan berkah ini, kita semua: Jangan pernah menyerah memperbaiki keadaan. Jaga kepercayaan rakyat. Semoga!!!!