Oleh: Suroto*
Daerah-daerah tambang di Indonesia selalu saja menyisakan konflik. Sebut saja misalnya yang baru-baru ini sedang menghangat adalah konflik Tambang Semen di Kendeng, Tambang Quarry di Wadas, dan Tambang Emas di pulau kecil Sangihe.
Konflik di daerah tambang selalu terjadi antara mereka yang setuju dan tidak setuju. Mereka yang setuju biasanya sudah diiming-imingi oleh pengusaha tambang sejumlah penggantian uang.
Sementara yang menolak biasanya karena mereka menyadari bahwa hidup mereka di masa depan akan terancam. Mereka tahu bahwa tanah tempat mereka menggantungkan hidup mereka dengan cara bercocok tanam akan lenyap seketika dan alam yang menghidupi mereka akan segera hancur lebur.
Ketika ada penolakan, biasanya perusahaan tambang tanpa sungkan sungkan melancarkan aktifitas adu domba. Mereka biasanya pertama tama lakukan provokasi kepada anggota keluarga. Datang bawa uang dan pecah belah keluarga keluarga yang ada.
Antar keluarga bentrok kepentingan. Konflik konflik yang terjadi antar keluarga bukan hanya merenggangkan tali kekeluargaan, tapi bisa sampai berujung pada meregangnya nyawa.
Setelah mereka berhasil merayu dan memanipulasi sebagian warga lalu mereka akan segera mencari izin. Biasanya disinilah mulai masalahnya menbesar.
Pejabat pemerintah mengeluarkan izin. Kelayakan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) maupun dampak sosialnya datang belakangan sebagai prasyarat formal semata. Aparat keamanan dikirim untuk memberikan pengamanan dengan dalih investasi adalah tujuan penting negara.
Sebut misalnya, kasus tambang Pabrik Semen Kendeng di Pati, Jawa Tengah. Para petani petani Sedulur Sikep yang menolak tambang mereka menang di Pengadilan dan sudah dinyatakan final (inkracht), namun pabrik semen tetap jalan dan tak pedulikan lagi putusan pengadilan.
Kemudian tambang emas di Sangihe. Pulau kecil yang menurut peraturan tidak boleh ditambang itu separuh lebih luasan pulau itu diberikan izin oleh pemerintah pusat untuk ditambang.
Masyarakat Sangir dengan peradaban kerajaan tuanya terancam. Masyarakat kompak menolak keras. Sudah dua kali alat alat berat tambang itu dicoba dikirim merangsek masuk ke pulau itu dua kali dan selalu digagalkan masyarakat. Sampai saat ini masih terus terjadi ketegangan.
Fakta-fakta lapangan membuktikan bahwa daerah daerah yang ditambang tidak memberikan keuntungan jangka panjang apapun buat masyarakat kecuali kenikmatan sesaat ketika terima uang ganti rugi. Apalagi di daerah yang sulit dijangkau semacam Freeport di Papua. Masyarakat di daerah itu jangankan keuntungan, akses saja tidak punya.
Masyarakat di daerah tambang itu selalu menunjukkan kehidupan yang lebih buruk dari sebelumnya, baik ditinjau dari kualitas hidup maupun lingkunganya. Daerah-daerah bekas galian tambang yang dibiarkan mengangga lebar, bahkan telah banyak merenggut nyawa anak-anak.
Perusahaan tambang dimana mana orientasinya adalah untuk mengejar keuntungan semata. Sebut misalnya penambang emas, perak, nikel batu kapur bahan semen, sampai pasir baik asing maupun swasta nasional. Semuanya berorientasi mengejar keuntungan bagi segelintir pengusaha semata dan ciptakan kesenjangan sosial dan kerusakan dimana mana.
Bung Hatta, ekonom dan pendiri republik ini, telah berikan peringatan keras. Bung Hatta dalam berbagai kesempatan pidato maupun tulisan menegaskan agar ekonomi ujung itu jangan jadi pangkal dan yang pangkal jangan jadi ujung (1951).
Ekonomi ujung itu adalah komoditi esktraktif (hasil tambang). Sedangkan ekonomi pangkal adalah ekonomi domestik: pangan. Ekonomi sebuah negara yang maju itu adalah berorientasi pada bagaimana ciptakan kemandirian pangan. Industrialisasi pangan berbasis keluarga. Bukan dengan mengeruk isi perut bumi.
Surplus dari produk produk pangan yang berkualitas berbasis keluarga itulah yang harusnya menjadi kekuatan eksportasi kita. Bukan komoditi ekstraktif seperti hasil tambang dan perkebunan monokultur semacam Sawit yang harganya selalu dikendalikan oleh pasar oligopoli global dan mafia.
Kembali ke kita, kita mau membangun apa? mau menambang permasalahan atau mengembangkan kehidupan? Semua kembali ke kita.[***]
*) Ketua AKSES INDONESIA