Tarif Cukai Hasil Tembakau Naik, Mengapa Konsumsi Rokok Tetap Tinggi? - Telusur

Tarif Cukai Hasil Tembakau Naik, Mengapa Konsumsi Rokok Tetap Tinggi?


Telusur.co.id -Penulis: Vira Andirozse Ahsa,  Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.

Pemerintah setiap tahun secara rutin menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk menekan konsumsi rokok sekaligus menaikkan penerimaan negara. Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah memiliki beberapa pertimbangan dalam menaikkan tarif CHT, yaitu dampaknya terhadap tenaga kerja, pencapaian target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7% yang sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Selain itu, tingginya konsumsi rokok yang menjadi pengeluaran rumah tangga terbesar kedua setelah beras, serta upaya pengendalian konsumsi dan produksi rokok turut menjadi pertimbangan dalam kebijakan ini.

Data menunjukkan bahwa penggunaan rokok di Indonesia justru meningkat, meskipun pemerintah telah menetapkan kenaikan tarif CHT tahun 2023 dan 2024 melalui PMK Nomor 191/PMK.010/2022. Angka prevalensi konsumsi tembakau pada kelompok usia 15 tahun ke atas meningkat dari 34,5% pada tahun 2022 menjadi 36,5% pada tahun 2023. Kenaikan konsumsi rokok ini menimbulkan pertanyaan: mengapa konsumsi rokok tetap meningkat meskipun tarif CHT sudah dinaikkan?

Dari kenaikan tarif CHT tentunya berpengaruh pada daya saing antara industri rokok, terutama bagi perusahaan rokok skala kecil yang kerap kali tidak mampu menyesuaikan diri dengan kebijakan ini. Banyak perusahaan rokok berskala kecil yang kesulitan mempertahankan kelangsungan operasionalnya akibat ketidakmampuan mengimbangi kenaikan tarif tersebut. Akibatnya, banyak pabrik rokok yang terpaksa tutup, yang berujung pada gelombang pemutusan Di sisi lain, para pelaku usaha juga berusaha mencari alternatif agar produk mereka dapat tetap dibeli oleh masyarakat. Salah satu langkah yang dilakukan adalah mengalihkan produksi tembakau ke golongan II atau III, yang dikenai tarif cukai lebih rendah dan memiliki skala biaya produksi yang lebih murah. Dengan demikian, produk rokok mereka akan tetap dibeli oleh masyarakat.

Di Indonesia, rokok bukan sekedar produk konsumsi, tetapi telah menjadi bagian dari budaya dan gaya hidup masyarakat Indonesia yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan sehari-hari banyak orang. Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap rokok sulit untuk dikendalikan. Ironisnya, rokok lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Mereka akan mengusahakan untuk mengkonsumsi rokok dibandingkan makanan pokok. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024, rokok menjadi pengeluaran rumah tangga terbesar kedua, sebesar 11,56% di perkotaan dan 10,90% di pedesaan. Sementara itu, beras yang pada posisi pertama dalam konsumsi rumah tangga, yaitu sebesar 21,84% di perkotaan dan 25,39% di pedesaan. Ironisnya, pengeluaran untuk konsumsi rokok ini lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk konsumsi protein seperti daging atau telur.

Walaupun tarif cukai hasil tembakau yang naik secara rutin tiap tahunnya dan membuat harga rokok naik, masyarakat akan tetap mengkonsumsi rokok dengan mencari alternatif lain, seperti berpindah ke rokok yang lebih murah ataupun mengurangi pengeluaran untuk keperluan lain. 

Salah satu tantangan terbesar dalam pengendalian konsumsi rokok adalah beredarnya rokok ilegal. Rokok ilegal menjadi pilihan bagi sebagian konsumen karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan rokok legal yang dilengkapi dengan pita cukai. Seiring meningkatnya tarif CHT, pintu bagi peredaran rokok ilegal semakin terbuka. Momentum ini dimanfaatkan oleh produsen dan distributor rokok ilegal untuk menarik konsumen yang merasa terbebani dengan harga rokok legal. Akibatnya, perokok sering berpindah dari rokok legal ke rokok ilegal, yang tidak hanya menghambat tujuan kebijakan cukai untuk menekan angka konsumsi rokok, tetapi juga mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Potensi pendapatan yang seharusnya diperoleh melalui cukai menjadi hilang karena peredaran rokok ilegal.

Rendahnya kesadaran masyarakat juga turut memperparah situasi ini. Walaupun pemerintah sudah mengedukasi masyarakat untuk tidak membeli rokok ilegal yang tidak memiliki pita cukai, masyarakat akan tetap mengabaikannya. Bagi sebagian masyarakat, tidak penting apakah tokoh yang dikonsumsinya itu legal atau tidak, yang penting adalah mereka dapat mengkonsumsi rokok dengan harga yang lebih terjangkau. Oleh karena itu, pemerintah tidak dapat hanya fokus terhadap edukasi ke masyarakat saja, tetapi juga harus melakukan pengawasan dan penindakan kepada produsen serta distributor rokok ilegal tersebut untuk menyelesaikan masalah ini dari akarnya.

Pengendalian terhadap peredaran rokok ilegal ini memerlukan langkah yang tepat dan efektif, salah satunya dapat dilakukan dengan meningkatkan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal. Lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal di Indonesia menjadi masalah yang rumit, terutama di daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh pengawasan. Karena masih banyaknya tekanan dari luar, seperti intimidasi dari masyarakat yang mendorong peredaran rokok ilegal, maka petugas pengawas juga harus memiliki pengetahuan dan soft skills yang kuat, seperti ketegasan dan komunikasi yang efektif, saat melakukan pengawasan.

Selain itu, penegakan hukum melalui regulasi harus diperkuat dengan penerapan sanksi yang tegas sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar”.Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pengawasan dan penindakan terhadap peredaran rokok ilegal, diperlukan adanya koordinasi yang signifikan antara masyarakat, penegak hukum, dan lembaga pemerintah lainnya. Dengan adanya tindakan tersebut diharapkan jumlah rokok ilegal dapat berkurang, sehingga diharapkan dengan adanya kenaikan tarif CHT tidak hanya dapat menekan prevalensi merokok, tetapi juga menjaga kesehatan masyarakat dan melindungi industri tembakau legal dan dapat berkontribusi pada perekonomian nasional.
 


Tinggalkan Komentar