Taubat Ekologis: Etika Baru dalam Mengelola Kerja dan Kehidupan - Telusur

Taubat Ekologis: Etika Baru dalam Mengelola Kerja dan Kehidupan


Telusur.co.idOleh : Muhammad Wahyu Ariyanto, S.Pd., M.S.M.

Manusia kerap merasa telah berdamai dengan alam, padahal yang terjadi sering kali adalah dominasi yang dibungkus keteraturan. Alam diatur, dicatat, dimanfaatkan, lalu ditinggalkan jejak kerusakan yang tak selalu kasat mata. Di balik ruang kerja yang rapi, sistem yang tertib, dan prosedur yang berjalan, tersimpan pertanyaan mendasar: sejauh mana cara kita mengelola kerja turut menjaga keseimbangan kehidupan?

Taubat ekologis lahir dari kesadaran bahwa kerusakan lingkungan bukan semata akibat tindakan besar, melainkan juga akumulasi dari rutinitas yang dianggap wajar. Kebiasaan mencetak, menyimpan, menyalakan, dan mengonsumsi tanpa refleksi menjelma menjadi pola yang berulang. Dalam konteks ini, taubat bukan sekadar penyesalan moral, melainkan keberanian untuk meninjau ulang cara manusia mengatur dunianya sendiri.

Mengelola kerja sejatinya adalah mengelola relasi: relasi manusia dengan waktu, dengan sumber daya, dan dengan alam. Ketika relasi itu dibangun di atas prinsip eksploitasi dan efisiensi semu, maka keteraturan berubah menjadi alat pembenaran. Sebaliknya, ketika pengelolaan dilandasi kesadaran etis, keteraturan menjelma sebagai bentuk tanggung jawab.

Taubat ekologis mengajak kita memahami bahwa setiap sistem menyimpan nilai. Pilihan untuk menyederhanakan proses, mengurangi jejak konsumsi, dan memanfaatkan teknologi secara bijak bukan hanya keputusan teknis, tetapi pernyataan etis. Di sana, efisiensi menemukan makna barunya: bukan sekadar mempercepat kerja, melainkan menjaga keseimbangan.

Dalam perspektif filosofis, kerja tidak pernah netral. Ia selalu mencerminkan cara manusia memandang dunia. Jika alam dipahami hanya sebagai objek, maka sistem kerja akan terus memproduksi kerusakan, meski dalam bentuk yang tertata. Namun jika alam dipandang sebagai mitra kehidupan, maka tata kelola pun bergerak menuju kehati-hatian dan keberlanjutan.

Taubat ekologis juga menuntut kesabaran. Ia tidak lahir dari perubahan instan, tetapi dari kesediaan untuk konsisten dalam pilihan-pilihan kecil. Dari kesadaran mematikan yang tak perlu menyala, menyimpan yang tak perlu dicetak, dan mengelola yang tak perlu dihamburkan. Dalam kesederhanaan itulah etika menemukan wujud nyatanya.

Pada akhirnya, taubat ekologis adalah proses memanusiakan kembali kerja. Ia mengembalikan tata kelola pada tujuan hakikinya: menjaga keteraturan tanpa merusak, mengatur tanpa menguasai, dan melayani tanpa menghabiskan. Dari ruang kerja yang hening dan reflektif, manusia belajar bahwa memperbaiki hubungan dengan alam dimulai dari cara ia mengelola hidup sehari-hari.

*Penulis adalah Dosen di Prodi Pendidikan Administrasi Perkantoran, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Negeri Surabaya (PAP FEB UNESA).


Tinggalkan Komentar