telusur.co.id - Para penyintas yang berperan aktif dalam menyosialisasikan berbagai permasalahan kanker, tidak hanya membantu sesama tetapi menjadikan dirinya lebih berarti dalam menjalani kehidupan, di tengah data risiko kanker payudara yang semakin meningkat di dunia.
"Data WHO memperkirakan hingga akhir 2020 terdapat 7,8 juta perempuan hidup didiagnosa menderita kanker payudara dalam 5 tahun terakhir, ini menunjukkan kanker payudara merupakan kanker paling banyak diderita di dunia," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat memberikan sambutan pada diskusi virtual kanker payudara bertema “Bersama Melangkah, Meraih Harapan” yang diselenggarakan Cancer Information and Support Center (CISC) dalam rangka peringatan Bulan Peduli Kanker Payudara pada Oktober, Sabtu (2/10).
Hadir dalam diskusi tersebut Aryanthi Baramuli (Ketua Umum CISC), Sri Suharti (Ketua Harian CISC), dr. Farida Briani Sobri, SpB(K)Onk, (Spesialis bedah onkologi), dan dr. Jeffry Beta Tenggara, Sp.PD-KHOM (Spesialis penyakit dalam hemato onkologi medik).
Bahkan, menurut Lestari, WHO juga mencatat pada 2020, terdapat 2,3 juta perempuan yang terdiagnosis kanker payudara dan terjadi 685 ribu kematian secara global.
Kondisi itu, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, melahirkan komitmen global terkini untuk mengurangi angka kematian akibat kanker payudara global sebesar 2,5% per tahun hingga 2040 dan meningkatkan survival rate para penderita kanker payudara.
Karena, ungkap Rerie, masih berdasarkan catatan WHO, survival rate kanker payudara lima tahun setelah diagnosis melebihi 80% di sebagian besar negara berpenghasilan tinggi. Namun, tambahnya, di negara-negara dengan penghasilan lebih rendah seperti India dan Afrika Selatan survival ratenya masing-masing hanya 66% dan 40%.
Setidaknya, ujar Rerie, terdapat tiga pilar penting untuk meningkatkan survival rate yakni kampanye kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan secara berkala (health promotion), diagnosa tepat waktu untuk pencegahan dini dan pengobatan menyeluruh (timely diagnosis and comprehensive treatment), serta perawatan dan dukungan berkelanjutan (supportive care).
"Selama masa pandemi kita belajar dan berbenah tanpa menghentikan gerakan saling menjaga, mendukung dan menguatkan satu sama lain terutama mengupayakan dukungan pemerintah terhadap ragam kebutuhan penderita dan penyintas kanker," ujar Rerie, yang juga seorang penyintas kanker payudara itu.
Langkah kolaboratif semua pihak dalam mengatasi ancaman kanker payudara, menurut Rerie, merupakan salah satu gambaran besar harapan tentang pentingnya merayakan kehidupan bagi para penderita.
Kampanye dan edukasi masyarakat dan keluarga tentang deteksi dini serta pendekatan medis dalam pengobatan kanker, jelasnya, dapat menjadi bagian dari keseharian para penderita dan penyintas kanker untuk menekan potensi meningkatkan jumlah penderita di masa datang.
Rerie menegaskan, menderita kanker bukanlah akhir dari segalanya. "Hidup ini akan lebih berarti jika pada kesempatan kedua dalam hidup para penyintas bisa bermanfaat bagi sesama," pungkasnya.(Fie)