Tuduhan kepada Jampidsus soal Lelang Aset Rampasan Dinilai Salah Alamat - Telusur

Tuduhan kepada Jampidsus soal Lelang Aset Rampasan Dinilai Salah Alamat


telusur.co.id -  Pelaksanaan lelang barang rampasan berupa satu paket saham PT Gunung Bara Utama (PT GBU) dalam perkara PT Jiwasraya itu sepenuhnya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), dalam hal ini Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagai penyelenggara.   

Dengan demikian, tidak ada proses lelang atau pelelangan barang rampasan dilakukan oleh Kejaksaan Agung, dalam hal ini Badan Pemulihan Aset (BPA) yang dulu disebut Pusat Pemulihan Aset (PPA). Bahkan tidak ada campur tangan atau intervensi permintaan dari jajaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung). 

Begitu disampaikan Kepala BPA, Amir Yanto, menanggapi desakan beberapa pihak dan pakar hukum yang mengomentari soal laporan Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) kepada KPK terkait pelaksanaan lelang barang rampasan berupa satu paket saham PT Gunung Bara Utama (GBU).

Amir mengatakan, pelaksanaan lelang sepenuhnya dilakukan oleh DJKN dalam hal ini KPKNL sebagai penyelenggara atas permintaan dari BPA atau PPA Kejagung. 

"Ya lelang dilakukan DJKN, cq KPKNL atas permintaan Kejagung. Jadi KPKNL sebagai pelaksana lelang," kata Amir dalam keterangannya, Selasa (11/2/25). 

Saat ditanya, apakah pihak Kejagung bisa ikut campur dalam pelaksanaan lelang dan menentukan harga limit atas barang rampasan yang akan dilelang, Amir mengatakan bahwa harga dasar lelang berdasarkan hasil penilaian dari KPKNL atau Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). 

Karenanya, pihak Kejagung atau Jampidsus tidak mempunyai kewenangan dan tidak ada kaitannya untuk menentukan harga limit atau harga dasar lelang berupa satu paket saham PT GBU. 

"Pihak DJKN sebagai pelaksana atau operator lelang. Kemudian syarat dan harga limit diberikan oleh kejaksaan kepada KPKNL atau DJKN," ucap Amir. 

Eks Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) ini menegaskan bahwa kejaksaan hanya menetapkan harga limit setelah adanya penilaian dari KPKNL atau KJPP yang melakukan penilaian terhadap aset barang rampasan. Jadi Kejagung tidak bisa menentukan harga limit atau harga dasar lelang. 

"Harga limit yang ditetapkan oleh kejaksaan berdasarkan hasil penilaian oleh Pemerintah (KPKNL) atau oleh KJPP," jelasnya. 

Sebelumnya, Pakar hukum Prof Hibnu Nugroho menyebutkan bahwa pemberitaan soal adanya desakan dari beberapa pihak kepada KPK diduga merupakan serangan balik dan perlawanan koruptor untuk menghambat pemberantasan kasus korupsi besar yang ditangani Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah.

Hal tersebut, menurut Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto ini, sebagai usaha untuk menganggu penyidikan kasus korupsi besar yang merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah, yang kini tengah ditangani Jampidsus Kejagung bersama jajarannya. 

"Ya ini (serangan balik koruptor) sebagai usaha untuk menghambat pemberantasan korupsi oleh Jampidsus Febrie Adriansyah," kata Prof Hibnu dalam keterangan tertulisnya yang dikutip pada Senin (27/1/2025). 

Sebab, lanjut dia, dengan adanya serangan dari pihak tertentu atau ada aktor intelektual dibalik ramainya pemberitaan di media massa dapat menganggu proses penyidikan kasus korupsi dan mempengaruhi fokus dan strategi yang dilakukan Jampidsus Febrie Adriansyah. 

"Sebab dengan serangan yang bertubi- tubi bisa mempengaruhi psikologis Jampidsus," tutur Hibnu yang merupakan Guru Besar Ilmu hukum pidana di bidang tindak pidana korupsi.

Dengan demikian, maka konsentrasi pengusutan kasus korupsi besar akan terpecah, sehingga menganggu kinerja yang dilakukan Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah. Apalagi saat ini Jampidsus ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Satgas Penertiban Kawasan Hutan. 

"Yang akhirnya berpikirnya atau strateginya jadi terbelah," tegasnya. 

Untuk diketahui, Kejagung menilai bahwa laporan KSST ke KPK itu keliru dan salah alamat. Karena pelaksanaan lelang menjadi kewenangan PPA atau yang saat ini disebut BPA. 

"Bahwa adanya proses pelelangan terkait aset PT GBU setelah ada putusan pengadilan MA pada 24 Agustus 2021 itu seluruhnya diserahkan ke PPA, jadi tidak ada pelaksanaan lelang oleh Pak Jampidsus, jadi kalau ada pelaporan ini keliru. Seluruhnya diserahkan kepada PPA dan pelelangannya diserahkan kepada Dirjen (DJKN) di bawah Kementerian Keuangan," ujar Ketut Sumedana yang ketika itu menjabat Kapuspenkum dalam jumpa pers di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (29/5/2024).

Ia menjelaskan proses lelang saham PT GBU. Bahwa proses lelangan PT GBU ini dilakukan penilaian oleh 3 appraisal. Pertama, yaitu terkait aset atau bangunan alat berat yang melekat di PT GBU dengan nilai kurang lebih Rp 9 miliar. Kemudian ada juga perhitungan oleh appraisal yang kedua terkait dengan PT GBU dengan nilai Rp 3,4 triliun. 

"Dari hasil dua tadi dilakukan satu proses pelelangan pertama, tetapi satu pun tidak ada yang menawar, jadi kalau dibilang ada kerugian Rp 9 triliun, di mana kerugian Rp 9 triliunnya? Rp 3,4 triliun yang kita tawarkan tidak ada yang menawar dan membeli sahamnya, ditambah dengan Rp 9 miliar. Dan yang laku cuma yang Rp 9 miliar," papar Ketut.

Karena tidak ada penawaran dalam lelang tersebut, Kejagung membuka proses lelang kedua.

"Karena tidak ada yang menawar, maka dibuka proses pelelangan kedua dengan melakukan foto appraisal. Pada saat lelang kedua ternyata nilainya mengalami fluktuasi karena nilai sahamnya dipengaruhi oleh harga batu bara pada saat itu. Sehingga kita memperoleh nilai Rp 1,9 triliun. Itu pun kita lakukan satu pelelangan dengan jaminan. Kenapa ada dengan jaminan? Karena di dalam PT GBU itu ada piutang. Ada utang dari perusahaan lain, kurang lebih USD 1 juta, kalau dihitung pada saat itu kurang lebih Rp 1,1 triliun," tuturnya. 

Ketut mengatakan pada proses lelang kedua, ada seseorang yang menawar. Orang tersebut ditetapkan menjadi pemenang. Ia melanjutkan alasan proses lelang cepat karena Kejagung mengaku mengejar pemasukan ke kas negara.

"Karena satu orang yang menawar, maka kita tetapkan sebagai pemenang. Kenapa ini cepat kita lakukan satu proses pelelangan? Perlu teman-teman media ketahui. Karena ini untuk segera dimasukkan ke kas negara, untuk membayar para pemegang polis dan trainee," jelasnya.

Ketut mengatakan setelah proses lelang selesai. Uang hasil lelang diserahkan seluruhnya ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Alasan diserahkan ke Kemenkeu untuk menghindari proses hukum karena PT GBU disebut komplikatif.

"Begitu proses pelayanan lelang selesai, semua uang kita serahkan ke Kementerian Keuangan. Proses pembayaran kepada pemegang polis dan premi yang sedang berjalan," jelasnya. 

"Kedua, menghindari proses hukum, karena ini komplikatif PT GBU ini, banyak gugatan, banyak permasalahan. Dan menghindari fluktuasi harga saham pada saat itu sehingga kita segera melakukan satu proses pelayanan biar negara tidak rugi," tegasnya. [Fhr] 


Tinggalkan Komentar