Telusur.co.id -Ditulis oleh Kurnia Sari dan Davina Aulia, mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.

Seolah tanpa persetujuan, seorang warga negara Indonesia akan secara otomatis menjadi subjek pajak ketika dilahirkan ke dunia. Seiring berjalannya waktu dan terpenuhinya subjektif dan objektif, kewajiban perpajakan pun akan timbul. Namun, bagaimana jika kewajiban tersebut tidak diiringi oleh kesadaran masyarakat? 

Dengan terminologi “memaksa berdasarkan undang-undang” dalam definisi pajak, seharusnya kewajiban perpajakan melekat pada kewajiban warga negara. Sayangnya, terdapat sekelompok masyarakat yang memandang pajak sebagai suatu sentimen negatif.

Lebih parahnya lagi muncul kelompok ‘anti pajak’ yang menolak untuk membayar pajak. Kelompok tersebut memandang pajak sebagai suatu perampokan yang dilakukan oleh negara. 

Hidayah & Anshori (2022) berpendapat bahwa keengganan masyarakat untuk membayar pajak juga dipengaruhi anggapan bahwa pajak memberatkan, sulit dibayar, dan kurangnya pemahaman apa dan bagaimana pajak bekerja, termasuk proses perhitungan dan pelaporannya yang dianggap rumit. Alasan lain mengapa masyarakat memiliki perspektif negatif terhadap pajak adalah karena kurangnya kesadaran akan peran pajak bagi masyarakat itu sendiri. 

Ketika membayar pajak, masyarakat sering menganggap bahwa pembayaran tersebut tidak memberikan manfaat langsung bagi kehidupan, terlebih dengan definisi pajak yang menggunakan terminologi “kontraprestasi tidak langsung”. Padahal, ketika masyarakat dapat menikmati murahnya transportasi umum, subsidi gas LPG, dan subsidi bahan bakar motor, pajak lah yang membiayai program-program tersebut. 

Melalui sistem pemungutan self-assessment, Wajib Pajak dituntut untuk mengerti dan memiliki keahlian untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Tuntutan tersebut dapat tampaknya akan sia-sia apabila tidak diiringi dengan program edukasi perpajakan. Hal ini selaras dengan pendapat Oladipupo & Obazee (2016) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa Wajib Pajak cenderung mengalami stress ketika mencoba patuh dalam membayar dan melaporkan pajak karena kurangnya pengetahuan perpajakan. 

Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menginisiasi program Inklusi Kesadaran Pajak, sebuah program edukasi pajak yang terintegrasi dalam kurikulum nasional. Program tersebut bertujuan untuk membentuk karakter calon Wajib Pajak atau ‘the future taxpayer’ bahwa membayar pajak merupakan kontrak sosial yang dimiliki oleh masyarakat dengan negara (Rizal, 2023). 

Selain itu, dengan diberikannya edukasi pajak di bangku sekolah akan membentuk pola pikir dan persepsi siswa terhadap kewajiban perpajakan yang lebih jauh lagi akan membentuk sikap patuh dalam internal diri mereka. 

Peluang dan Tantangan Edukasi Pajak Melalui Kurikulum Sekolah

Indonesia akan mengalami bonus demografi pada Tahun 2030, yang mana penduduk usia produktif berjumlah lebih banyak. Dengan populasi usia produktif yang besar, edukasi pajak sejak dini dapat mempersiapkan calon Wajib Pajak untuk memahami pentingnya pajak sebagai kewajiban warga negara yang mendukung pembangunan negara.

Studi oleh Oladipupo & Obazee (2016) menunjukkan bahwa pendidikan pajak memiliki dampak positif yang signifikan terhadap kepatuhan pajak, dan bahwa pengetahuan pajak cenderung lebih efektif dalam mendorong kepatuhan pajak dibandingkan dengan pemberlakuan sanksi. 

Di sisi lain, belum meratanya pendidikan di Indonesia menjadi tantangan dalam memberikan edukasi perpajakan. Tanpa akses pendidikan yang merata, kesadaran pajak akan sulit dicapai, terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal. Kualitas tenaga pendidik dan kurikulum yang tepat sangat berperan dalam menyampaikan materi pajak dengan baik. 

Perlu diperhatikan bahwa materi yang diajarkan harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan berpikir anak, sehingga mereka dapat memahami dengan baik dan mampu menerapkan konsep tersebut dalam kehidupan mereka di masa depan. Pendidikan pajak yang diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah harus dirancang agar sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif siswa.

Otoritas pajak harus memiliki kerangka materi edukasi yang matang berdasarkan pada klasifikasi Wajib Pajak yang akan diedukasi sehingga internalisasi tax morale dapat tepat sasaran (Winaldy, 2021). Materi yang masuk dalam program Inklusi Kesadaran Pajak dikelola melalui aplikasi Compliance Risk Management (CRM) untuk mengetahui prioritas dan risiko dari Wajib Pajak atau masyarakat yang membutuhkan sosialisasi dan edukasi perpajakan.

Menilik Implementasi Edukasi Pajak di Negara Malaysia 

Malaysia merupakan negara anggota ASEAN yang mengimplementasikan self-assessment system sebagai bagian dari reformasi perpajakan pada tahun 2004. Penerapan self-assessment sebagai sistem pemungutan pajak mengharuskan Wajib Pajak memahami regulasi perpajakan dan setidaknya memiliki kemampuan untuk menghitung, membayarkan, dan melaporkan kewajiban pajaknya masing-masing. 

Edukasi pajak menjadi perhatian bagi pemerintah Malaysia akibat tingkat voluntary tax compliance yang masih terbilang rendah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masih banyak dari Wajib Pajak negara Malaysia yang belum memahami perpajakan dengan baik (Yusof et al., 2022). Selain itu, tingginya kasus pemeriksaan pajak dan total denda perpajakan yang dikumpulkan oleh Inland Revenue Board of Malaysia (IRBM) juga menjadi salah satu indikator ketidakpatuhan pajak (Mohamad et al., 2023). 

Sejak tahun 2021 pemerintah Malaysia telah menerapkan edukasi pajak pada tingkat sekolah menengah atas (Form 5) melalui mata pelajaran Matematika dengan tema Matematika Terapan. Melalui edukasi pajak yang diterapkan dalam pendidikan formal, siswa akan mendapatkan pengenalan awal terhadap perpajakan yang mencakup peran pajak bagi negara dan perhitungan beban pajak secara mendasar. 

Implementasi edukasi pajak yang diterapkan melalui pendidikan formal di tingkat sekolah menengah di Malaysia merupakan hasil kolaborasi antara IRBM dan Kementerian Pendidikan Malaysia. Hal ini disebabkan implementasi tersebut memerlukan integrasi antara kurikulum pendidikan yang berlaku secara nasional di Malaysia dan materi edukasi pajak. 

Pemerintah Malaysia melihat edukasi pajak sebagai langkah awal untuk memupuk tingkat kepatuhan pajak para siswa yang merupakan future taxpayer di negara tersebut. Adapun implementasi edukasi pajak di tingkat sekolah dianggap memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi untuk menanamkan kesadaran pajak karena mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat (Othman, et al., 2020). 

Selain dari edukasi pajak yang dilakukan secara formal, IRBM juga meluncurkan beberapa program informal yang ditujukan kepada anak-anak usia dini hingga dewasa. Program-program tersebut mencakup Tax Camp, Tax EduZONE, seminar, dan workshop. Selain itu, simulasi peran sebagai fiskus muda juga dapat dirasakan oleh anak-anak melalui KidZania. Edukasi pajak yang dikemas dengan berbagai macam bentuk program tersebut menunjukkan komitmen IRBM untuk mempromosikan voluntary tax compliance sehingga pajak tidak dipandang sebagai suatu aspek yang mengintimidasi bagi warga negaranya. 

Melalui penerapan edukasi pajak di negara Malaysia, terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam mendukung perkembangan edukasi pajak yang dilakukan oleh DJP di Indonesia. 

Pertama, integrasi program edukasi pajak ke dalam kurikulum tingkat sekolah menengah perlu didukung dengan kolaborasi antar lembaga pemerintahan. Pembentukan pemahaman awal generasi muda terhadap perpajakan tidak dapat dilakukan dengan hanya mengandalkan DJP. 

Kedua, DJP perlu menyesuaikan pembentukan program edukasi pajak dengan memperhatikan target generasi yang dituju dan kemudahan akses. Ketiga, implementasi edukasi pajak juga perlu disertai dengan dukungan berupa fasilitas-fasilitas yang mempermudah Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. 

Secara ideal, edukasi perpajakan perlu diterapkan kepada warga negara sejak usia dini hingga dewasa (OECD, 2021). Dengan jumlah generasi Z yang saat ini menjadi mayoritas penduduk Indonesia, pemerintah perlu menyadari peran penting generasi tersebut sebagai calon Wajib Pajak dalam beberapa tahun ke depan. Edukasi pajak perlu dipandang sebagai langkah jangka panjang yang dilakukan secara konsisten oleh pemerintah Indonesia.