Oleh : Dr. Mirza Nasution, SH., M.Hum.*
PRESIDENTIAL THRESHOLD atau nilai ambang batas dalam pencalonan presiden dan wakil presiden bukan hal yang baru dalam praktek pemilu di Indonesia. Pertama kali dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Ketentuan inilah yang kemudian mencetuskan persyaratan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) bagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang selanjutnya digunakan sebagai acuan presidential threshold untuk pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004.
Muatan materi presidential threshold dalam pasal ini kemudian diubah menjadi lebih tinggi persentasenya dengan UU No. 42 Tahun 2008 pasal 9 yang memiliki persamaan bunyi dengan perubahan terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2017 Pasal 222 yang mensyaratkan bahwa : Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. selanjutnya digunakan sebagai acuan presidential threshold untul pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2009, 2014, 2019 dan pada tahun 2024 jika tidak ada perubahan.
Namun dalam perkembangannya, pasal tentang presidential threshold ini sering terjadi perdebatan di kalangan masyarakat khususnya berkaitan dengan anggapan bahwa Presidential threshold ini inkonstitusional dan diskriminasi terhadap hak konstitusi setiap orang untuk menjadi presiden dan wakil presiden sebagaimana di atur dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945, sehingga telah berulang - ulang diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Perlu diingat bahwa, secara konstitusi pada pasal 6 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang” dan pasal 6A ayat (2) “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Dengan demikian UUD 1945 telah mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut terkait persyaratan menjadi presiden, dan pengaturan presidential threshold yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2017 Pasal 222 adalah konstitusional karena merupakan penjabaran lebih lanjut terkait persyaratan untuk menjadi presiden sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD 1945 tersebut.
Hadirnya UU No. 17 Tahun 2017 Pasal 222, jika dilihat dari sisi politik hukumnya, terdapat urgensi atau beberapa alasan mendalam terkait argumentasi kebijakan dilahirkannya pengaturan tentang ambang batas tersebut. Diantaranya:
1. Presidential threshold telah menjadi sebuah rangka bangun sistem ketatanegaraan dalam hal pemilu presiden dan wakil presiden di Indonesia dalam beberapa periode. Sehingga jika Presidential threshold dihapuskan maka akan meruntuhkan rangka bangun sistem ketatanegaraan yang telah dibangun selama ini. Artinya saat ini dengan adanya ambang batas 20% tersebut merupakan syarat pencalonan paslon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik dan melarang pencalonan secara independen. Jika ambang batas ini dihapuskan maka tidak menutup kemungkinan banyak pencalonan presiden jalur independen. Sehingga semua sistem pemilu yang telah dibangun saat ini harus direkontruksi atau dibangun ulang, baik dari sisi peraturan tentang pemilu, dari sisi keamanan negara ketika pemilu dan lainnya. Tentu ini menimbulkan banyak dampak negatif dari semua bidang kehidupan masyarakat, mulai dari sisi keamanan negara, ekonomi, sosial politik dan sebagainya.
2. Presidential threshold merupakan salah satu langkah dalam menguatkan sistem presidensial. Presidential threshold diartikan sebagai pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat) yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan presiden dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik. Sistem pemerintahan presidensiil didasarkan pada kehendak untuk menjamin suatu kekuasaan pemerintahan dibawah Presiden sebagai kepala kekuasaan eksekutif atau pun kepala pemerintahan.yang kuat dan stabil, sehingga penyelenggaraan kekuasaan berjalan efektif, artinya dalam menjalankan kekuasaannya presiden tidak mudah dijatuhkan (impeachment) dalam masa jabatannya. Sebab, apabila presiden terpilih ternyata tidak didukung oleh partai politik yang memperoleh kursi mayoritas di DPR, tentu dapat dipastikan akan menyulitkan Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan.
3. Presidential threshold menjaga stabilitas politik negara.
4. Presidential threshold memastikan bahwa hubungan presiden dan parlementer bersinergi dan berhubungan dengan baik sehingga penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan efektif.
5. Presidential threshold merupakan langkah efektif dalam penyederhanaan multi partai secara alami.
6. Presidential threshold dalam praktek pemilu serentak memberikan kemudahan dan efisiensi anggaran yang lebih murah dalam pelaksanaan pemilu.
Sebenarnya perdebatan mengenai presidential threshold yang dianggap inkonstitusional telah beberapa kali dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi melalui keseluruhan Putusannya mulai dari putusan No. 16/PUU-V/2007 dan terakhir saat ini Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 menolak semua gugatan tersebut dan menyatakan bahwa kebijakan presidential threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan merupakan kebijakan yang diamanatkan oleh UUD yang bersifat terbuka.
Sebagaimana dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, maka putusan mahkamah kontitusi bersifat final dan mengikat, Sehingga perdebatan yang tepat adalah bukan lagi untuk menghapus presidential threshold karena inkonstitusional, melainkan perdebatan terkait besaran nilai persentasi dari presidential threshold tersebut, dan mahkamah konstitusi dalam putusannya bahwa besaran nilai persentase tersebut merupakan legal opened policy yaitu kewenangan tersebut kembali kepada pembentuk undang undang untuk merevisi besaran persentase dari presidential threshold.
*) Penulis adalah Ahli Hukum Tata Negara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.