Agus (Lenon) Eddy Santoso Sahabat Kiri Yang Islami - Telusur

Agus (Lenon) Eddy Santoso Sahabat Kiri Yang Islami


Oleh Lukman Hakiem
Peminat Sejarah

PAGI merangkak siang. Telepon genggam saya berdering. Saya angkat. Dari ujung sana terdengar suara Agus Eddy Santoso: "Luk, rumah kamu di mana?" Sebelum menjawab, saya balik bertanya: "Ada apa?" "Aku di perjalanan. Mau mampir ke rumahmu."

Saya sebutkan alamat, juga saya kirim lokasi. Tidak sampai satu jam, Agus sudah ada di ruang tamu saya.

"Rumahmu di gang begini, Luk," ujar Agus memulai percakapan. "Kamu mainlah ke rumah aku di Salabintana, Sukabumi. Aku punya gubuk kecil di sana."

"Insya Allah," jawab saya singkat. Janji itu belum saya penuhi, sebab sejak itu Agus lebih banyak di Jakarta, keluar masuk rumah sakit.

Dalam kunjungan itu, Agus menghadiahi saya buku tentang Yayasan H. A. Karim Oey, dan buku tentang tragedi Tanjung Priok.
Saya menghadiahi Agus buku _Pendiri dan Pemimpin Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia_.

Beberapa hari sesudah itu, Agus mengirim pesan: "Luk, aku pengen tahu lebih banyak tentang Prawoto." Agus membaca buku yang saya hadiahkan.

Sepeda dan Kacamata Tebal

SAYA mengenal Agus sebagai mahasiswa Fakuktas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Di Yogya pada awal 1980-an itu sejumlah aktivis HMI mengontrak sebuah rumah cukup besar, dan membentuk sebuah kelompok diskusi diberi nama Lembaga Studi Nusantara.

Ke rumah yang terletak di Jl. Timoho, tidak jauh dari kampus IAIN itulah Agus sering bertandang. Jika ke LSN, maka Agus akan asyik ngobrol dengan Muchtar Effendi Harahap, mahasiswa Fakultas Sosial Politik UGM yang tinggal di situ.

Muchtar yang rajin menerjemahkan tulisan-tulisan ilmuwan asing, terutama ilmuwan mazhab kiri, rupanya memikat hati Agus sehingga mereka sering terlibat dalam obrolan serius.

Saya tidak tahu apakah pikiran Muchtar memengaruhi Agus, yang jelas sampai berpuluh tahun kemudian keduanya terlihat akrab, dan sering terlihat runtang-runtung bersama.

Saya juga tidak ingat, apakah mengenal Agus sebelum atau sesudah dia ikut _basic training_ HMI. Yang pasti, karena saya juga kerap datang ke LSN, maka kami pun saling berkenalan.

Sejak kenal di LSN, Agus mulai rutin datang ke tempat kos saya di sekretariat HMI Korkom IKIP Yogya, Jl. Mrican Gang Sambu 3.

Selama di Yogya, Agus mudah dikenali dengan sepeda tua, dan kacamata tebalnya.
Jika pulang ke Sambu, dan melihat sepeda tersandar di samping rumah, tahulah saya ada Agus datang bertamu. Jika Agus datang, saya harus bersiap menghadapi berbagai pertanyaan yang bakal dia luncurkan.

Untunglah di masa itu saya masih rajin membaca, sehingga relatif bisa meladeni pertanyaan-pertanyaan aktivis pemula yang sangat bersemangat itu.

Quran untuk Tahanan Politik

SESUDAH terbentuk Pengurus Besar HMI hasil Kongres XV di Medan, 1983,  Agus mendapat amanah memperkuat Departemen Penerangan PB HMI.

Agus bersungguh-sungguh mengemban amanah itu. Di masa itu, Departemen Penerangan PB HMI menerbitkan beberap nomor majalah _Suara Himpunan_.

Pengembaraannya di Jakarta, memperluas spektrum pergaulan Agus. Dia aktif di dalam Pijar yang dikoordinir oleh aktivis HMI, Nuku Soleiman. Dia aktif dalam Kelompok Studi Proklamasi yang diampu oleh Djohan Effendi. Dia juga aktif membela rakyat kecil yang tanahnya hendak digusur.

Sesekali bertemu, Agus selalu mendesak saya untuk hadir dalam diskusi di Pijar. "Kamu perlu tahu pikiran yang berkembang di kalangan teman-teman itu," desak Agus. Belasan tahun kemudian, alasan itu pula yang diajukan Agus ketika memasukkan saya ke dalam Group WA.

Maka, satu-dua kali saya pernah hadir dalam diskusi Pijar. Sekali dua kali, saya pernah hadir juga di Kelompok Studi Proklamasi, tentu sebagai pendengar yang budiman.
Ketika rezim Orde Baru menganggap kelompok oposan muda itu semakin membahayakan stabilitas, Nuku Soleman dan kawan-kawan ditangkap, dijebloskan ke penjara Cipinang.

Suatu hari saya bertemu Agus di bus kota. Dia bercerita, teman-teman yang di dalam penjara itu memerlukan bacaan. Dia meminta saya membantu pengadaan bahan bacaan untuk para tahanan politik itu.
Ketika saya masih bertanya-tanya, bacaan macam apa yang bisa diberikan kepada teman-teman di dalam penjara, Agus bicara: "Di Dewan Da'wah kan banyak Quran terjemah. Aku minta satu kodi buat teman-teman di dalam."

Ucapan Agus itu sungguh-sungguh mengejutkan saya. Agus yang dicitrakan sebagai aktivis kiri yang progresif-revolusioner meminta Quran untuk teman-temannya.

Saya hampir melompat dari tempat duduk, ketika Agus menambahkan kalimat: "Dengan membaca Quran, mudah-mudahan iman mereka tambah kuat."

Agus yang dianggap kiri, ternyata Agus yang ingin teman-temannya tetap berada di dalam iman.

Keesokan harinya saya menghadap Dr. Anwar Harjono, pimpinan Dewan Dakwah yang intensif mengikuti situasi politik terkini. Saya diberi satu kodi Quran terjemah yang sore itu juga langsung saya antarkan ke rumah Agus di bilangan Cawang.

Membantu Umat

SUATU hari masuk WA dari Agus. Isinya mengabarkan bahwa Lembaga Zakat Infak Sedekah Muhammadiyah (Lazismu) bekerja sama dengan minimarket mengumpulkan donasi. "Uang kembalian belanjamu, jangan diambil. Donasikan untuk Lazismu." Saya menangkap kesan bersemangat pada pesan Agus itu.

Di lain ketika, Agus mengirim foto Rumah Sakit Terapung "Said Tuhuleley" yang melayani pengobatan masyarakat pantai yang tidak terjangkau oleh Puskesmas. Lagi-lagi saya menangkap semangat membela orang-orang miskin pada postingan Agus.
Suatu hari di percetakan PT. Sinar Media Abadi (SMA) --percetakan milik Dewan Da'wah-- saya melihat beberapa buku yang diterbitkan oleh Agus. Agak ragu, saya konfirmasi hal itu kepada manager PT. SMA, Agus Siswanto. Jawaban Agus, lagi-lagi membuat saya terperangah: "Dari dulu, sejak kami masih di Salemba Tengah, Bang Agus selalu mencetak bukunya di sini."

Waktu saya tanya hal itu kepada Agus, dia menjawab mantap. Menurutnya, percetakan itu milik Dewan Da'wah, artinya milik umat. Dalam bahasa mirip kampanye: "Kalau bukan kita yang membantu umat, siapa lagi?"
Selamat jalan Agus. Sahabat kiriku yang sangat Islami. Syurga menantimu.


Tinggalkan Komentar