Aktivitas Dunia Digital Hendaknya Dibarengi dengan Pemahaman Etika Bermedsos - Telusur

Aktivitas Dunia Digital Hendaknya Dibarengi dengan Pemahaman Etika Bermedsos


telusur.co.id - Perkembangan teknologi informasi di dunia terus berkembang, karena menawarkan kemudahan dan kepraktisan dalam melakukan berbagai hal, termasuk aktivitas keuangan digital. Di Indonesia sendiri pengguna internet sudah mencapai 202 juta pengguna. 

Di sisi lain, tingginya aktivitas digital juga membuka potensi buruk, seperti penipuan dan pencurian akun. 

Business Coach UMKM & Digital, Rizki Ayu Febriana mengatakan, diperlukan pemahaman masyarakat terkait keamanan digital. Yaitu, kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan tingkat keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.

"Maraknya aktivitas digital yang dilakukan mengharuskan kita untuk peduli pentingnya memproteksi perangkat digital yang kita miliki," kata Rizki Ayu dalam diskusi bertajuk "Aman Bermedia Sosial: Menjadi Pengguna Internet Yang Beradab" secara virtual, Senin (27/6/22). 

Rizki Ayu yang juga Business Coach UMKM & Digital ini menyatakan, selain membantu memudahkan pekerjaan, transformasi digital mulai memunculkan kebiasaan baru. Namun, kebiasaan baru tersebut juga menimbulkan banyaknya kejahatan di dunia digital (cyber crime).

Dia memaparkan, dalam laporan berjudul digital civility index (DCI), microsoft mengumumkan tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020 termasuk negara Indonesia. 

Tingkat kesopanan netizen Indonesia urutan ke-29 dari 32 negara/kawasan partisipasi survei. Karenanya, penting memiliki adab yang baik untuk membangun relasi. 

Sementara itu, Head of Research & Development PT. Meraki Kreasi Bangsa, Muhammad Rizal Saanun, menjelaskan terkait ruang lingkup etika digital. Etika yaitu sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Berlaku meskipun individu sendirian.

Sementara etiket ialah sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Berlaku meskipun individu sendirian.

"Fun fact nya, ternyata netizen Indonesia adalah netizen paling powerful dalam berbagai hal," tutur Rizal. 

Kendati demikian, Rizal mengakui, berbagai sumber dan literatur menempatkan etika netizen Indonesia di ruang digital sangat buruk. Skor DCI Indonesia tercatat sebesar 76 poin pada 2020, naik 8 poin dari tahun sebelumnya.

"Skor DCI Indonesia paling banyak di dorong oleh orang dewasa 83%, naik 16 poin dari tahun lalu, sedangkan kontribusi remaja terhadap skor DCI adalah 68% tidak berubah sejak 2019," kata Rizal. 

Hal ini, lanjut Rizal, dipengaruhi oleh hoaks & penipuan (47%), hate speech (27%), sedangkan diskriminasi turun dua poin menjadi 13%. Berdasarkan data yang dimilikinya, sekitar 61% alasan terjadinya bullying, karena penampilan mereka di internet. Bahkan, 25% karena akademik, 17% disebabkan ras dan 11% karena agama.

"Batasan dalam memahami ruang digital memang diperlukan. Hal ini agar dapat tetap produktif dalam beraktivitas serta mampu mengelola informasi yang didapat menjadi ilmu yang bermanfaat," ucap Rizal. 

Terakhir, Rizal mengingatkan masyarakat akan 5 hal yang pantang dilakukan di media digital. Yakni, memulai konflik, curhat masalah pribadi, mengejek orang lain di media sosial dan menyebut/ tanpa menyebut namanya, berbagi foto/konten tak senonoh, dan Blbersikap terlalu ekstrim. 

Selanjutnya, ada beberapa tips sederhana yang patut diperhatikan oleh pengguna media digital yaitu: sesuaikan dengan kebutuhan, alokasikan waktu dan penggunaan media digital, dan terapkan batasan dalam pengguna media digital 

"Mari kita rayakan teknologi, hormati ilmu pengetahuan, dan tetap beradab dalam ruang digital," ungkap Rizal. 

Narasumber lainnya, Dosen Departemen Sosiologi UGM Fisipol UGM Mustaghfiroh Rahayu menilai, hendaknya nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dijadikan sebagai landasan kecakapan digital. Termasuk sebagai panduan karakter dalam beraktivitas di ruang digital.

Menurut Mustaghfiroh, jati diri di ruang digital tak berbeda dengan di ruang non digital. Karenanya, dibutuhkan pemikiran kritis. 

 "Dampak jika tidak berfikir kritis kita akan mudah beraksi menggunakan emosi secara langsung, stres dan kehabisan energi, mudah dimanipulasi oleh argumen orang-orang, mudah goyah dan tidak stabil," ucapnya. 

"Dunia digital adalah dunia kita sekarang ini. Mari mengisinya dan menjadikannya sebagai ruang yg berbudaya, tempat kita belajar dan berinteraksi, tempat anak-anak kita bertumbuh kembang, sekaligus tempat di mana kita sebagai bangsa, hadir dengan martabat," tutupnya. 

Jika menemukan konten negatif jangan diam, laporkan ke Patrolisiber.id, layanan.kominfo.go.id, turnbackhoax.id, dan cekrekening.id.[Fhr] 


Tinggalkan Komentar