Banyak Kasus, Jokowi Didesak Batalkan Pengangkatan Ahok Sebagai Komut Pertamina - Telusur

Banyak Kasus, Jokowi Didesak Batalkan Pengangkatan Ahok Sebagai Komut Pertamina


telusur.co.id - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok resmi  ditunjuk menjadi  Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) sesuai permintaan Presiden Joko Widodo kepada Menteri BUMN Erick Thohir.  Namun, sebelum resmi menjadi pejabat penting perusahaan pelat merah itu, maka sesuai Pasal 27 UU BUMN Nomor 19 tahun 2003, pengangkatan Ahok harus disahkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina. 

Begitu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam keterangannya, Senin (5/11/19).

Menurut Marwan, berdasarkan pertimbangan aspek-aspek legal konstitusional, sosial politik, finansial ekonomi, dan berbagai kepentingan strategis nasional, Jokowi diminta  agar  Jokowi segera membatalkan rencana pengangkatan Ahok. 

"Dibanding bersikap memaksakan kehendak, pemerintah diminta konsisten menegakkan hukum dan keadilan, menjalankan undang-undang, prinsip-prinsip demokrasi, serta martabat dan harga diri bangsa," ujar Marwan.

Marwan menjelaskan,  secara legal konsitusional, Pertamina adalah perusahaan yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 untuk mengelola sektor migas dan energi nasional bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. 

Karenanya, manajemen pengelola BUMN, termasuk komisaris, harus dipilih sesuai kriteria dan kualifikasi yang dipersyaratkan UU BUMN Nomor 19/2003. 

"Pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat menggiring Presiden Jokowi diproses sesuai Pasal 7 UUD 1945 tentang pemakzulan," tegas Marwan memperingatkan.

Dikatakan Marwan, dalam Pasal 28 UU BUMN Nomor 19/2003 antara lain mensyaratkan komisaris BUMN harus memenuhi kriteria integritas, dedikasi dan pemahaman bidang bisnis BUMN. 

"Faktanya, selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta integritas Ahok sangat bermasalah, terutama karena tersangkut sejumlah kasus dugaan korupsi," bebernya.

"Ahok juga tidak layak memimpin BUMN karena telah melanggar prinsip-prinsip good governance, sebab telah menjalankan berbagai program off-budget dalam berbagai proyek Pemprov DKI Jakarta."

Ia juga menilai,  pengalaman dan pemahaman yang dimiliki Ahok sangat tidak memadai untuk menajalankan fungsi sebagai pimpinan di BUMN strategis seperti Pertamina.

Bagi Marwan, dengan memberi jabatan komisaris kepada Ahok, maka pemerintahan Jokowi telah memberi perlakuan istimewa kepada Ahok. Artinya, tegas dia,  pemerintah telah melanggar Pasal 1 dan Pasal 27 UUD 1945.
 
Ia membeberkan, kasus-kasus  pelanggaran yang diduga dilakukan Ahok, ada yang sudah dilaporkan kepada KPK pada 17 Juli 2017 silam.

Ia menjelaskan, kasus Rumah Sakit (RS) Sumber Waras diduga melanggar Pasal 20 Ayat 1 UU BPK No.15/2004; Pasal 13 UU Pengadaan Tanah No.2/2012; UU Keuangan Negara No.17/2003; PP Pengelolaan Barang Negara/Daerah No.27/2014, Perpres Pengadaan Tanah No.71/2012; dan Permendagri Pengelolaan Milik Daerah No.17/2007. 

Menurut BPK, tutur Marwan, dugaan kasus korupsi ini berpotensi merugikan negara Rp 191 miliar. Bahkan kerugian negara tersebut bertambah Rp 400 miliar karena KM hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sedangkan sisanya telah digelapkan. 

Marwan juga menjelaksan mengenai kasus lahan taman BMW. Tanah BMW, beber Marwan, diklaim Agung Podomoro (AP) yang akan diserahkan pada Pemda DKI Jakarta sebagai kewajiban, bukanlah milik AP. 

"Lahan berstatus bodong, tidak ada satu dokumen yang secara hukum sah kalau lahan BMW menjadi milik Pemda DKI. Terjadi pemalsuan tandatangan dalam proses pemilikan lahan oleh AP," imbuhnya.

"Pemda DKI telah membuat sertifikat sebagian lahan BMW dengan melanggar hukum, dan telah berperan menjalankan tugas yang harusnya dilakukan oleh AP. Terjadi manipulasi pembuatan sertifikat atas sebagian lahan. Hal ini melanggar PP No.24/1997 dan PMNA No.3/1997, karena tanah yang sedang sengketa tidak bisa disertifikatkan. Berpotensi merugikan Pemda DKI puluhan miliar rupiah."

Tak sampai disitu, Marwan juga menyoroti Kasus Reklamasi Teluk Jakarta. Kasus ini diduga Ahok melanggar Pasal 12 UU No.20/2001 tentang Tipikor; Pasal 22 UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; melanggar UU No.1/2014 berupa perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir; PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;  Kepres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dicabut melalui PP No. 54/2008; melanggar UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 

Menurut Marwan,  KPK pernah menyebut bahwa proyek reklamasi dapat merugikan negara puluhan hingga triliun rupiah. 

"Namun,  Agus dan KPK double standard. Meskipun fakta-fakta persidangan terhadap M. Sanusi dan Ariesman Wijaya telah membuktikan keterlibatan Ahok, Sunny dan Aguan, ternyata KPK tidak melanjutkan proses hukum ketiga terduga kruptor tersebut! KPK telah takluk pada tekanan para pendukung Ahok dan oknum-oknum penguasa & taipan," paparnya.


Berdasarkan dugaan pelanggaran di atas, Marwan menekankan,  pemerintah dan DPR semestinya mendorong dan menjamin terlaksananya proses hukum dan pengadilan terhadap Ahok. 

"Ahok bukan warga negara istimewa di hadapan hukum untuk dibebaskan dari jerat hukum atas berbagai kasus dugaan korupsi. Apalagi malah dipromosi menjadi pimpinan BUMN dengan alasan seperti disampaikan oleh Presiden bahwa Ahok telah teruji dan pekerja keras," demikian Marwan.[Fh]


Tinggalkan Komentar