Dikukuhkan Doktor Honoris Causa, Surya Paloh Ajak Teguhkan Politik Kebangsaan - Telusur

Dikukuhkan Doktor Honoris Causa, Surya Paloh Ajak Teguhkan Politik Kebangsaan

Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh Mendapatkan Pengukuhan Doktor Honoris Causa (H.C) Pada Fakultas FISIP Universitas Brawijaya (Foto : IST)

telusur.co.id - Ketua Umum Partai NasDem,  Surya Paloh mendapatkan pengukuhan sebagai Doktor Honoris Causa (H.C) pada Fakultas FISIP  Universitas Brawijaya

"Sebuah kehormatan bagi diri saya pribadi berada di tengah Civitas Academica Universitas Brawijaya Malang. Sebuah kehormatan yang tak terhingga untuk menerima penghargaan gelar Doctor Honoris Causa dari salah satu kampus ternama di Tanah Air ini. Kampus yang namanya mengingatkan kita pada kebesaran salah satu kerajaan di Nusantara: Majapahit, " ujar Surya Paloh dalam pidatonya setekah dikukuhkan, " senin (25/7/2022).

Dalam pidato pengukuhan ini, Surya Paloh mengangkat tema sekaligus ajakan berupa upaya meneguhkan kembali Politik Kebangsaan. 

"Sebuah tema yang mungkin terdengar klasik namun tetap harus dikumandangkan. Sebuah pekerjaan yang terus-menerus kita jalankan dan menjadi kontektual untuk disuarakan terlebih menjelang pesta demokrasi 2024 nanti, " paparnya. 

Surya mengajak semua pihak siapapun kita, apapun pilihan profesi kita, marilah upayakan semua perilaku dan orientasi demi terbangunnya kebaikan bersama dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara. "Karena inilah sesungguhnya yang disebut politik itu, " tegasnya. 

 

Banyak kalangan sambungnya, menyebut tahun 2022 ini sebagai “tahun politik”. Seolah tahun-tahun sebelumnya tidak berisi dialektika dan keputusan politik. Padahal, setiap harinya kita berpolitik. Keberadaan lembaga-lembaga politik dalam kehidupan bernegara pastilah meniscayakan adanya kehidupan politik. Namun, kita mafhum bahwa sebutan ini merujuk pada momentum Pemilu 2024 mendatang. Situasi dan interaksi para elit partai semakin dinamis, berbagai spekulasi politik pun terus bergulir. Setiap partai politik bersiap diri, mengambil ancang-ancang, memanaskan mesin politik masing-masing, mengukur kekuatan diri dan lawan, sekaligus saling menjajagi dan memetakan kekuatan-kekuatan yang ada. 

!Sebuah pemandangan yang lazim dalam kehidupan politik di Tanah Air menjelang digelarnya pesta demokrasi lima tahunan, " ungkapnya. 

Lanjutnya, bagaimanapun, pemilu adalah mekanisme bawaan yang inheren dalam demokrasi. Pemilu adalah mekanisme yang telah disepakati bersama sebagai upaya melakukan pergiliran kekuasaan agar ia tidak menjadi monopoli satu pihak atau satu kelompok politik semata. Ia juga menjadi ruang agar koreksi selalu terjadi sehingga penggunaan kekuasaan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Inilah esensi demokrasi yang sejak era modern lahir telah menjadi antitesis dari sistem kekuasaan yang sebelumnya dimiliki kelompok politik atau golongan tertentu. Ia menjadi mekanisme yang dibangun sedemikian rupa sehingga pergantian kekuasaan tidak terjadi melalui jalan pewarisan atau jalan perebutan yang disertai kekerasan. Walhasil, demokrasi adalah jalan pergantian pemegang kekuasaan yang mensyaratkan adanya kedewasaan sikap dan rasionalitas nalar dari para pelakunya.

 

Di sisi lain, kekuasaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari politik. Ia bahkan menjadi ekspresi dominan dari politik. Saking identiknya, politik selalu terasosiasikan sebagai segala sesuatu terkait kekuasaan. Kenyataan ini juga tidak bisa kita salahkan. 

"Dalam upaya memanifestasikan idealitas yang dimiliki oleh setiap kelompok politik, kekuasaan memang menjadi keniscayaan. Sebab tanpa kekuasaan, mustahil kiranya sebuah program politik bisa direalisasikan. 

Lewat politiklah tawaran-tawaran gagasan dan pemikiran dalam sebuah konteks kehidupan bersama, tersalurkan. Ibarat tubuh manusia, kehendak untuk mencapai sebuah tujuan dipersyarati dengan kuasanya raga berjalan dan jiwa yang sadar. Walhasil, kekuasaan adalah keniscayaan dalam politik, " tegasnya. 

Surya menambahkan, cerita tentang kekuasaan ini memang kerap melahirkan berbagai ekses dan residu. Yang paling lekat adalah konflik dan perselisihan. Dalam sejarahnya, kekuasaan memang tidak bisa dipisahkan dari siasat, intrik, muslihat, bahkan tak jarang pertumpahan darah. Terlebih dalam karakteristik kekuasaan yang masih cenderung despotik. Demokrasi dipilih untuk memoderasi hal tersebut. Dalam demokrasi, sistem kekuasaan diatur sedemikian rupa sehingga terjadi perimbangan dan sirkulasi kekuasaan. Peralihan kekuasaan pun diatur sedemikian rupa sehingga terjadi secara berkala dan diselenggarakan secara terbuka sehingga memungkinkan bagi setiap pihak memiliki kesempatan yang sama. Namun demikian, dalam sistem yang demikian pun masih kerap terjadi kondisi yang dinilai tidak fair dan perilaku yang menyeleweng.

Kondisi yang tidak fair merujuk pada adanya pelbagai ketentuan yang membuat pihak-pihak tertentu tetap tidak bisa terlibat dalam kompetisi demokrasi. Tentu, yang dimaksud ketentuan di sini adalah ketentuan yang menyalahi prinsip demokrasi itu sendiri. Namun, yang demikian ini adalah relatif adanya. Sebab, adanya ketentuan dalam sebuah kompetisi adalah lumrah adanya. Oleh karena itu, yang biasa dilakukan adalah mencoba menyiasatinya agar kondisi yang dirasa kurang fair ini bisa digeser sedekat mungkin ke kondisi yang lebih fair. Sebagai misal, hak mencalonkan diri sebagai presiden adalah hak seluruh warga negara. Namun, ketentuan yang ada membuatnya ekslusif bagi kalangan tertentu saja. Ketua umum partai, pejabat publik, menteri, kalangan berduit, kepala daerah, dan seterusnya. Dalam hal ini, konvensi adalah salah satu upaya demokratisasi dan moderasi hal tersebut. Ia menjadi cara untuk menyiasati agar kesempatan menjadi lebih terbuka bagi seluas-luasnya kalangan yang merasa mampu menjadi calon pemimpin negeri.

Adapun perilaku yang dipandang menyeleweng dalam kontestasi demokrasi merujuk pada penggunaan segala cara demi tercapainya kemenangan dan kekuasaan. Alih-alih mewujudkan proses peralihan kekuasaan yang fair dan bermartabat, praktik penyelewengan ini hanya akan membuat proses peralihan kekuasaan bernuansa perebutan kekuasaan. Pemilu pun tidak lagi menjadi ruang bagi terlaksananya sirkulasi kekuasaan yang demokratis melainkan ruang adu siasat dan kelicikan berkompetisi. Alih-alih menjadi ruang pendidikan politik, pemilu hanya menjadi ruang perselisihan dan konflik. 

Hingga pada akhirnya, pemilu bukan lagi bagian dari upaya mencari soluasi atas masalah-masalah bangsa akan tetapi malah menjadi problem baru bagi negara (Fie


Tinggalkan Komentar