Fenomena Arus Politik Uang Dalam Wajah Baru Pilkada 2020 - Telusur

Fenomena Arus Politik Uang Dalam Wajah Baru Pilkada 2020


Telusur.co.id - Oleh : Wira Aji Firmansyah

Pesta demokrasi sebentar lagi akan dihelat dengan atmosfer berbeda, tak terkecuali para aktor-aktor politik yang sibuk berdendang dalam medan perang kontestasi.

Terdapat fenomena tentang wajah demokrasi di negara kita yakni tentang bebas memilih sesuai yang di kehendakinya (hati nurani), disisi lain terdapat fenomena yang tak mungkin kita hindari ialah terjadinya money politic dikalangan para pemilih.

Hal semacam inilah yang menjadi penyakit dalam tubuh warga republik ini dimana suara dapat di beli dengan uang tanpa memikirkan apa yang akan terjadi dalam situasi kedepan yakni kebijakan yang akan diambil pemimpin jika money politik tadi bisa mengantarkan pada singgah kekuasaan.

Dalam pembagiannya terdapat berbagai macam strategi yang  di lakukan oleh oknum (Timses, Relawan, Broker) semisal serangan fajar maupun istilah yang cukup familiar ialah “door to dorr”.

Adapun strategi lain yang mungkin terjadi jika politisi ini mempunyai senjata yang besar sebagaimana yang pernah saya alami dimana politisi ini biasannya terjun langsung ke Dapil dan menawarkan apa yang daerah tersebut inginkan semisal “Koe miliho aku, engko opo butuhe warga kene tak cukupi”. Fenomena semacam inilah yang beredar dalam pesta demokrasi, lha wong namannya pesta ya harus rame.

Jika dilihat dari seberapa uang yang diberikan, maka sejatinya tidak mampu untuk menjadi tolak ukur untuk menentukan nasih selama 5 tahun ke depan.

Akan tetapi terdapat dilema dalam diri kita ketika politisi yang kita pilih atas dasar money poltic lupa akan tugasnya sebagai wakil rakyat malah menjadi bomerang sebagaimana dalam pengambilan kebijakan serta implementasinya. Ditarik garis besarnya dalam hal apapun money politic tidak bisa dibenarkan dan secara tegas dilarang dalam Undang-undang.

Masih banyak permasalahan fundamental bagi lembaga penyelenggara maupun pengawas dimana masih banyak kasus yang ditemui dalam hal money politic.

Perlunya edukasi yang menyeluruh yang sampai pada kalangan bawah serta kerja sama antara calon wakil rakyat dan rakyat itu sendiri bahwasanya kegiatan money politic ini berdampak pada kehidupan ke depan.

Untuk memperjelas dimana, dari partai apa serta siapa yang memberi, penulis tidak bisa menyebutkan secara detail tetapi akan menggunakan penyebutan inisial.

Namun yang jelas, fenomena money politik sejauh ini memang telah mengalami pergeseran makna atau definisi dimana sudah beralih menjadi rahasia umum. Dalam arti lain, baik rakyat dan elite politik sama-sama menyadari dan hidup dalam kubangan tersebut. Sebagai negara demokrasi yang terus merengkuh perbaikan peradaban, Indonesia masih rentan dengan arus politik uang.

Secara prosedural, Indonesia telah merintis konsolidasi demokrasi secara baik seiring dengan pelaksanaan tiga pemilu legislatif secara berturut-turut pascareformasi, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dan ratusan pemilukada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Namun jika dilihat dari fakta lapangan, sebenarnya indek demokrasi di Indonesia masih terbilang lemah karena berbagai macam faktor penghambat (internal).

Banyak politisi atau calon kepala daerah yang menjadikan kaum papa sebagai target operasi jual beli suara (vote buying) dengan menawarkan uang atau bentuk-bentuk hadiah yang lain sebagai alat tukar dalam pemilihan.

Sudah menjadi rahasia umum, banyak politisi yang melakukan kampanye pemilu yang bersifat mobilisasi pemilih melalui pendekatan transaksional. Faktor-faktor sosial-ekonomi seperti tingkat pendidikan dan pendapatan memengaruhi maraknya praktik jual beli suara.

Selain itu, studi terkait dengan jual beli suara juga sangat berkaitan dengan sikap toleran warga terhadap praktik semacam itu dan jejaring patron-klien yang menjadi penghubung antara elit dan massa di bawah.

Terdapat catatan yang perlu di perhatikan yakni “Tidak Ada Calon Yang Tidak Menebar Uang” besar nilai dan sebarannya yang tidak sama, maupun teknis cara dan penyampaiannya berbeda-beda. Parameter dalam mendeteksi tingkat kesadaran masyarakat, pada akhirnya menjadi sesuatu yang rumit untuk dijabarkan dengan logis.

Dari fenomena ini dapat menjadi tolak ukur bagaimana seharusnya jadi pemilih yang cerdas dan mempunyai intregritas yang tinggi serta mengetahui seberapa hebat kemampuan kandidat yang kita pilih dengan hati nurani kita jika kelak menjadi wakil rakyat tentunnya dengan taggung jawab yang berada pada visi misi dan relasi kepudilian terhadap rakyatnya.


Tinggalkan Komentar