Gubernur Khofifah Tandatangani MoU Pidana Kerja Sosial dengan Kajati Jatim, Dorong Pergeseran Paradigma Pemidanaan - Telusur

Gubernur Khofifah Tandatangani MoU Pidana Kerja Sosial dengan Kajati Jatim, Dorong Pergeseran Paradigma Pemidanaan

Pemerintah Provinsi Jawa Timur menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur di Aula Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Senin (15/12). Foto: Istimewa.

telusur.co.id -Pemerintah Provinsi Jawa Timur menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur terkait penerapan pidana kerja sosial. Penandatanganan ini dilakukan dalam pembukaan Bimbingan Teknis (Bimtek) Capacity Building Penggerak Restorative Justice Adhyaksa yang digelar di Aula Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Senin (15/12).

MoU tersebut ditandatangani langsung oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Agus Sahat Sampa Tua Lumban Gaol. Kesepakatan ini menjadi langkah strategis dalam mendukung implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya dalam penerapan pidana kerja sosial.

Gubernur Khofifah menegaskan bahwa penandatanganan MoU ini bukan sekadar simbol kerja sama antarlembaga, melainkan fondasi penting dalam membangun sistem pemidanaan yang lebih manusiawi, produktif, dan berdampak langsung bagi masyarakat.
“Kita memastikan sanksi yang dijatuhkan tidak berhenti pada penghukuman, melainkan menjadi sarana pemulihan sosial, pembelajaran, serta reintegrasi pelaku ke dalam komunitasnya,” ujarnya.

Menurut Khofifah, kegiatan ini menjadi wujud sinergi lintas sektor dalam menyambut pemberlakuan KUHP baru. Momentum tersebut sekaligus memperkuat kapasitas para penggerak restorative justice di Jawa Timur guna membangun tatanan penegakan hukum yang lebih humanis, progresif, dan berkeadilan.
“Hal ini menegaskan pergeseran paradigma pemidanaan dari penghukuman dan pembalasan (retributif) menuju korektif, rehabilitatif, dan restoratif,” jelasnya.

Namun demikian, Khofifah menekankan bahwa keberhasilan pendekatan pidana kerja sosial tidak hanya ditentukan oleh aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, melainkan juga membutuhkan peran aktif masyarakat. Aparatur pemerintahan desa dinilai memiliki posisi strategis karena memahami secara mendalam lanskap sosial di wilayahnya masing-masing.

Ia menjelaskan bahwa ke depan kepala desa mulai disiapkan sebagai peacemaker, didukung paralegal dari berbagai organisasi kemasyarakatan yang telah bersinergi dengan program besar Kejaksaan Agung RI, khususnya melalui Rumah Restorative Justice di desa dan kelurahan.
“Bagaimana Undang-Undang KUHP memberi referensi menyiapkan program pidana kerja sosial, dan fasilitas bimtek terus bergulir karena jumlah desa dan kelurahan di Jatim sebanyak 8.494 dan rumah restorative justice hampir 1.800 desa. Kita semua masih punya tugas meluaskan supaya layanan lebih merata di Jatim,” tuturnya.

Lebih lanjut, Khofifah menyebut bahwa pidana kerja sosial dapat diarahkan pada sektor-sektor produktif, salah satunya melalui pengelolaan perhutanan sosial dan perluasan lahan pertanian, termasuk perkebunan tebu. Ia menuturkan bahwa kontribusi produksi gula konsumsi Jawa Timur terhadap nasional mencapai 51,8 persen.
“Presiden Prabowo Subianto menugaskan Jatim membuka lahan tanam baru sebesar 70 ribu hektare, dan saat ini baru selesai sekitar 21 ribu hektare,” katanya.

Berdasarkan hasil diskusi dengan Menteri Pertanian, target perluasan lahan tersebut diharapkan dapat tercapai pada Maret mendatang. Khofifah menilai, dukungan dari pidana kerja sosial akan sangat produktif sekaligus sejalan dengan program strategis nasional.
“Insya Allah dapat meningkatkan produktivitas yang bisa dilakukan para bupati dan wali kota di Jatim. Tentu kami juga berterima kasih kepada Kajari dan Kajati yang membangun sinergi luar biasa sehingga acara ini bisa terlaksana,” pungkasnya.

Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung RI Prof Asep Nana Mulyana menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, mulai dari gubernur hingga bupati dan wali kota. Ia menyebut pendekatan kolaboratif hexahelix menjadi kunci keberhasilan penerapan pidana kerja sosial, khususnya di Jawa Timur.
“Kami menyebutnya kolaborasi hexahelix. Inilah kenapa penting sekali peran dan dukungan dari Pemprov maupun Pemda. Karena banyak bentuk-bentuk yang bisa dikembangkan nantinya,” ungkapnya.
“Nantinya juga bisa memberikan dampak timbal balik. Pemda mendapat manfaat, warga binaan dan masyarakat secara umum juga mendapatkan manfaatnya,” imbuhnya.

Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Agus Sahat Sampa Tua Lumban Gaol menegaskan bahwa pidana kerja sosial bukan sekadar agenda, melainkan membutuhkan sinergi seluruh pemangku kepentingan.
“Kolaborasi ini menjadi guyub nyata membangun penegakan hukum yang tegas dan berkelanjutan, dan Pemerintah Provinsi Jatim menunjukkan komitmen mendukung pidana kerja sosial, termasuk bersama kampus Unair dan Jamkrindo,” ujarnya.

Pelaksana Tugas Direktur Utama Jamkrindo Abdul Bari menambahkan bahwa kolaborasi antara kejaksaan dan pemerintah daerah mencerminkan komitmen bersama dalam membangun tata kelola yang lebih baik, memperluas pemberdayaan masyarakat, serta menciptakan ekosistem usaha yang sehat dan akuntabel.
“Keseriusan kita menata kelola meningkatkan pemberdayaan masyarakat sekaligus mendorong ekonomi di Jatim,” ungkapnya.

Dalam kesempatan tersebut juga dilakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) secara serentak antara para bupati dan wali kota dengan kepala kejaksaan negeri se-Jawa Timur. Prosesi ini disaksikan Jampidum Kejagung RI, Gubernur Jawa Timur, dan Kajati Jatim, serta ditandai dengan penyerahan cenderamata dan buku berjudul Desain Ideal Hasil Implementasi Social Service Order dari Jampidum Kejagung RI kepada Gubernur Jawa Timur.


Tinggalkan Komentar