Haidar Alwi: Paham Radikal Bermula dari Sikap Intoleran - Telusur

Haidar Alwi: Paham Radikal Bermula dari Sikap Intoleran

Pegiat anti radikalisme, Haidar Alwi.

telusur.co.id - Radikalisme mulai tumbuh subur di Indonesia sejak tahun 1981. Tumbuhnya paham radikalisme di Indonesia ditandai dengan menganggap golongan tertentu lebih baik, lebih benar dan menganggap golongan lain tidak baik sehingga harus diperangi.

Begitu disampaikan Pegiat Anti Radikalisme, Haidar Alwi, saat berbicara dalam diskusi Jurnalis Merah Putih bertajuk 'Menolak Lengah, Siluman Teroris Nyata' di bilangan Jakarta Selatan, Kamis (14/11/19).

Menurut Haidar, sikap-sikap seperti ini yang berpotensi menghancurkan kebangsaan, dan berpotensi menghancurkan negara Indonesia.

Haidar mengungkapkan, kondisi Indonesia pada awal tahun 1981 mirip dengan kondisi pada masa khalifah keempat yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Seorang Khawarij bernama Abdurrahman Ibnu Muljam yang disebutnya sebagai sosok muslim yang taat, penghapal Al-Qur'an, bahkan rutin melakukan puasa dan sholat malam. Namun, karena pemahaman agamanya yang menolak perbedaan, merasa lebih baik dari orang lain, maka Ibnu Muljam menjadi seorang yang radikal.

“Abdurrahman Ibnu Muljam ini, dia merasa paling benar beragama, dia merasa paling diterima oleh Tuhan,” terang Haedar.

Dalam konteks Indonesia, kata Haidar, berkembangnya paham radikal ini bermula dengan sikap intoleran yang tidak bisa menerima perbedaan.

"Dari sikap yang tidak menerima adanya perbedaan itu kemudian memunculkan sikap permusuhan dan pada gilirannya menjadi radikal. Realisasinya kemudian dilanjutkan dengan tindakan nyata atau disebut dengan tindak terorisme," ungkap Haidar.

“Mereka menganggap orang yang tidak sepaham dengan golongannya adalah kafir, mereka menganggap golongannya yang paling benar,” tambahnya.

Karena kegelisahan itulah, kata Haedar, dirinya merasa terpanggil untuk bersama-sama mencegah meluasnya paham radikal dengan membentuk Presidium Masyarakat Adat Nusantara. Ia berikhtiar membentuk wadah tersebut dan diimplementasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

“Presidium Masyarakat Adat Nusantara ini tujuannya, kita kembali ke adat kita. Tidak dengan gampang memakai adat-adat lain seperti cadar. Selain itu, bagaimana menangkal paham-paham radikal berkembang di masyarakat,” katanya.

Selain Haidar Alwi, diskusi ini juga dihadiri oleh Mantan kepala BAIS Soleman Ponto dan Ketua Presidium Forum Alumni Pelajar Islam Indonesia (FA-PII) Fami Fachrudin. [Fhr]


Tinggalkan Komentar