telusur.co.id - Oleh : Singky Soewadji
Di negeri ini, nasib hutan memang tergantung siapa yang punya kuasa. Dan Hutan Talang, yang selama puluhan tahun diurus oleh korporasi asing bernama Caltex (yang kemudian berubah menjadi Chevron), akhirnya tahu rasanya jadi anak yatim begitu diserahkan ke negara.
Dulu dijaga dengan protokol ketat, sekarang dibelah jalan aspal, dipenuhi pedagang kaki lima, dan dicemari sampah plastik.
Ironis? Tentu!
Mengejutkan? Tidak juga! Karena, ketika hutan bukan lagi tempat hidup bagi makhluk liar, tapi jadi jalur pintas menuju kota atau lokasi dagang, maka segala hal bisa dibenarkan atas nama pembangunan.
Hutan Talang di Duri, Riau, dulunya adalah kawasan yang tenang dan penuh kehidupan liar. Selama hampir satu abad, kawasan ini berada di bawah pengelolaan Caltex, yang kemudian menjadi Chevron. Sebagai perusahaan migas besar, Chevron memang punya kepentingan menjaga hutan itu agar tidak diganggu, bukan karena cinta lingkungan, tapi karena stabilitas operasi mereka.
Tapi setidaknya, selama mereka di sana, hutan tetap hutan. Gajah masih bisa melintas dengan bebas, monyet dan burung tetap punya tempat tinggal, dan kita masih bisa membanggakan punya satu sudut alam yang lestari di tengah ladang minyak.
Namun semua berubah ketika hutan itu pulang kampung, alias dikembalikan ke negara. Alih-alih dijaga lebih baik oleh pemerintah, Hutan Talang malah dibelah jalan raya. Iya, benar-benar dibelah, bukan hanya dipotong sedikit.
Pemerintah Kabupaten Bengkalis membangun Jalan Lingkar Barat Duri yang secara harfiah menyayat hutan itu jadi dua bagian. Katanya, ini demi akses dan pertumbuhan ekonomi. Tapi siapa yang tumbuh ? Gajahnya jelas tidak.
Yang tumbuh justru pedagang kaki lima yang sekarang mangkal di pinggir jalan aspal dalam kawasan hutan. Lengkap dengan warung, terpal, dan tentu saja, sampah plastik yang berserakan seenaknya.
Kalau kita ke sana sekarang, kita akan melihat jalan raya mulus yang melintas di tengah hutan. Di kanan-kiri jalan, ada PKL menjajakan gorengan, es teh manis, dan segala rupa. Di bawah meja dagang itu, berserakan bungkus makanan, botol plastik, dan sedotan. Dan di antara semua itu, ada suara monyet dari kejauhan, atau jejak gajah yang bingung karena jalur migrasinya kini tertutup aspal. Hutan Talang yang dulu jadi tempat hidup, kini berubah jadi tempat lalu-lalang manusia dan mobil. Lucu ya, kita bilang cinta lingkungan, tapi tega mengusir penghuni aslinya demi kelancaran akses.
Pertanyaannya, ke mana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)? Bukankah mereka yang seharusnya jadi pelindung terakhir kawasan ini? Atau jangan-jangan mereka juga setuju proyek ini, asal ada dokumen AMDAL dan stempel yang bisa diurus?
Di Indonesia, yang penting dokumennya beres, persoalan hutan dibabat atau satwa punah bisa dibicarakan nanti. Begitu banyak proyek yang lolos bukan karena masuk akal secara ekologis, tapi karena bisa diketik rapi dan dipresentasikan sebagai proyek strategis untuk rakyat.
Padahal, kalau mau jujur, siapa yang sebenarnya butuh jalan ini? Apakah tidak ada alternatif jalur lain di luar hutan? Apakah lahan Duri sudah benar-benar habis? Atau ini soal efisiensi anggaran, karena membangun di kawasan hutan lebih murah daripada harus membebaskan lahan milik warga? Kalau ini soal efisiensi, maka kita sedang menyaksikan tragedi yang menyedihkan, nyawa ekosistem ditukar dengan biaya konstruksi yang lebih murah.
Yang lebih menyakitkan, suara-suara protes dari warga dan pegiat lingkungan seperti tenggelam. Ada yang sudah menyuarakan keresahan soal sampah plastik di dalam hutan, soal PKL yang seenaknya buka lapak di kawasan konservasi, bahkan soal ancaman nyata terhadap populasi gajah sumatera yang kini jalurnya terputus. Tapi kritik itu kalah oleh narasi pembangunan. Pejabat lokal lebih suka menyebut ini sebagai langkah menuju kemajuan, tanpa peduli bahwa kemajuan itu justru mengorbankan sesuatu yang tak tergantikan.
Sementara itu, gajah-gajah di Hutan Talang kini kebingungan. Mereka tidak bisa lagi berjalan dari satu blok ke blok lain seperti dulu. Kalau nekad menyeberang jalan, bisa saja tertabrak mobil. Kalau melipir ke kampung warga, malah dianggap hama. Akhirnya, gajah yang seharusnya kita lindungi malah dipaksa memilih antara mati perlahan atau mengganggu manusia dan diburu.
Ini bukan cerita baru. Banyak hutan di Indonesia mengalami nasib serupa. Begitu tidak ada lagi kepentingan korporasi atau kekayaan alam yang bisa dieksploitasi, kawasan hutan dianggap tak punya nilai.
Padahal, nilai sebenarnya justru ada pada fungsinya sebagai rumah bagi ekosistem. Tapi ya, siapa yang peduli soal fungsi ekologis kalau tidak bisa dimonetisasi? Yang penting bisa dibangun. Bisa dipotong pita. Bisa masuk berita.
Yang lebih menyedihkan, publik pun semakin apatis. Kita hanya bisa mengeluh sebentar di media sosial, mungkin bikin satu-dua konten viral, lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Sementara hutan terus menyusut. Satwa liar kehilangan rumah. Sampah plastik terus menumpuk. Dan kita terus memuja pembangunan tanpa bertanya, pembangunan untuk siapa?
Hutan Talang hanyalah salah satu contoh dari banyak ironi pembangunan di negeri ini. Dulu dijaga oleh perusahaan asing, kini dirusak oleh pemerintah sendiri. Dulu hutan, sekarang jadi jalur ekonomi. Dan kita, seakan tak punya daya, hanya bisa menyaksikan semuanya terjadi, sambil berharap masih ada sepetak hutan tersisa untuk dikenang.
Kalau Chevron saja bisa menjaga hutan selama hampir 100 tahun, kenapa kita, bangsa yang mengaku mencintai tanah air, justru merusaknya dalam waktu kurang dari satu dekade?
Mungkin karena kita lebih mencintai aspal ketimbang akar. Lebih bangga pada jalan baru ketimbang jalur gajah. Dan lebih sibuk mencari proyek daripada melindungi kehidupan.
Sayangnya, gajah tidak bisa kirim surat protes. Monyet tidak bisa bikin petisi online. Hutan tidak bisa teriak minta tolong. Maka, ketika semua suara alam dibungkam oleh deru mesin proyek, hanya nurani manusialah yang bisa bicara, itu pun kalau masih punya.
Peduli!
Sekali lagi Peduli!
Kau Peduli, Aku Lestari, salam Lestari!
*Penulis adalah Pengamat Satwa Liar dan Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI).




