telusur.co.id - Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily pembatalan haji tahun 2020 yang diumumkan Menteri Agama RI pada tanggal 2 Juni 2020 yang lalu telah menyalahi prosedur.
Pertama, dari segi prosedur. Menteri Agama RI dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI pada tanggal 11 Mei 2020 telah berkomitmen untuk menggelar rapat sebelum diputuskan apakah penyelenggaraan haji akan diteruskan atau dibatalkan.
Kesimpulan Rapat Kerja itu, menurut UU MPR, DPR, DPD, DPRD, sifatnya mengikat dan wajib dilaksanakan oleh Pemerintah sebagaimana pasal 98 ayat (6) dan (7).
Dalam Pasal 46 & 47 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, pembiayaan haji harus mendapatkan persetujuan dari DPR RI. Apa yang disampaikan Menteri Agama dalam pengumumannya pun menyebut soal dana jamaah haji 2020.
"Jadi, atas dua UU tersebut, kami di Komisi VIII menilai apa yang dilakukan Menteri Agama RI jelas menyalahi prosedur pengambilan keputusan tentang haji. Seharusnya, Menteri Agama menghargai dan menghormati peran dan fungsi masing-masing institusi negara," kritiknya, Sabtu.
Kedua, pada level substansi, pada prinsipnya kebijakan haji itu harus mengedepankan prinsip istitha’ah (kemampuan dalam menjalankan haji) yang menjadi syarat utama bagi kewajiban menjalankan haji haji bagi setiap muslim. Istitha’ah itu juga menyangkut keselamatan jiwa.
Dalam konteks istitha’ah ini, kekhawatiran penyebaran Covid 19 termasuk di Arab Saudi harus menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan tentang haji ini. Selain itu, prinsip dar’ul mafasid muqadum ala jalbil mashalih.
Mencegah kerusakan harus diutamakan daripada mendapatkan kemashlahatan, harus dijadikan pijakan Pemerintah untuk melindungi warga negara dalam rangka memenuhi prinsip menjaga keselamatan diri (hifdzun Nafs).
"Jadi, sesungguhnya kebijakan penundaan haji tahun 2020 ini sudah tepat," tandasnya. [ham]