Komite II DPD RI Nilai Pelaksanaan UU Perdagangan dan UU Pangan Banyak Masalah - Telusur

Komite II DPD RI Nilai Pelaksanaan UU Perdagangan dan UU Pangan Banyak Masalah


telusur.co.id - Komite II DPD RI menilai pelaksanaan Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan masih banyak masalah di daerah. Apalagi di saat pandemik Covid-19 dan new normal, UU tersebut justru berdampak negatif pada para petani dan pendistribusian pangan.

“Permasalahan pertama yang dihimpun atas UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu PSBB mengakibatkan jam operasional pasar tradisional terbatas sehingga merugikan banyak petani yang hasil produksi pangannya tidak tahan lama dan sulit terserap di pasar,” ucap Wakil Ketua Komite II DPD RI Hasan Basri saat RDPU Pembahasan Pengawasan Pelaksanaan atas UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, Jakarta, Senin (29/6).

Senator asal Kalimantan Utara itu menambahkan bahwa keadaan petani juga semakin dipersulit akibat harga pupuk dan bibit yang konstan. Bahkan, harga pupuk dan bibit cenderung meningkat di saat pendapatan petani sedang anjlok. “Ini yang dirasakan oleh petani pada saat ini,” cetusnya.

Hasan Basri juga mengatakan ada sebanyak 34 perusahaan yang memasukkan bawang putih impor ke dalam wilayah Indonesia tanpa dokumen Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Persoalan RIPH ini muncul ketika Kementerian Perdagangan menerbitkan Permendag No. 44 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Impor Produksi Hortikultura yang diundangkan pada 18 Maret 2020.  “Melalui Permendag itu, untuk produksi bawang bombay dan bawang putih yang dikapalkan dari pelabuhan muat paling lambat tanggal 31 Mei 2020,” terangnya.

Terkait dengan pengawasan pelaksanaan atas UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Kebijakan PSBB akibat pandemi Covid-19 yang diberlakukan sangat berpengaruh pada kesiapan daerah dalam upaya penyelenggaraan ketersediaan pangan bahan pokok.

“Distribusi pangan yang terganggu mengakibatkan terjadinya kelangkahan yang pada akhirnya meningkatkan harga-harga komoditas pangan bahan pokok. Selain itu, banyak hasil pertanian tidak dapat dijual ke pasar,” katas Hasan Basri.

Sementara itu, Wakil Ketua Komite II DPD RI Abdullah Puteh menjelaskan Indonesia pernah melakukan swasembada pangan pada zaman Presiden Soeharto. Artinya saat ini, Indonesia yang dikelilingi oleh lautan tetapi garam pun masih harus impor. “Saat ini kita garam saja mesti di impor,” paparnya.

Puteh menambahkan seharusnya pemerintah Indonesia perlu melakukan modernisasi dalam sektor pertanian. “Kita harus memiliki inovasi baru yaitu modernisasi pada sektor pertanian seperti penerapan teknologi,” ujarnya.

Di kesempatan yang sama, Kepala Badan Ketahanan Pangan Agung Hendriadi mengatakan
sistem pangan nasional merupakan tugas berat bersama. Karena 269 juta rakyat Indonesia tidak boleh kelaparan dan harus aman apa yang di makan. “Secara bertahap kedaulatan pangan akan kita garap. Tapi ada komoditas yang tidak bisa kita produksi secara penuh seperti bawang putih,” tuturnya.

Agung juga menyadari ketahanan pangan di masa pandemi Covid-19 dan new normal mengalami masalah. Pasalnya harus mampu menjaga petani tetap produksi. “Maka kita harus memberikan stimulus kepada petani. Sedangkan hambatan distribusi pangan antar provinsi, memang distribusi pangan tidak boleh terhambat. Tapi supir mana yang mau untuk mengantar disaat awal pandemi Covid-19 menyerang Indonesia,” paparnya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag) Suhamto menjelaskan dalam rangka percepatan penambahan pasokan. Kemendag telah melakukan relaksasi impor dengan menerbitkan Permendag No. 27 tahun 2020. “Proses bawang putih dan bawang bombay tidak memerlukan persetujuan impor dan laporan surveyor. Permendag itu berlaku 28 Maret sampai 31 Mei 2020,” lontarnya. [ham]


Tinggalkan Komentar