telusur.co.id -Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus memperluas cara mereka dalam mengukur partisipasi pemilih lewat Indeks Partisipasi Pemilu (IPP). IPP memberi pandangan yang lebih utuh mengenai proses keterlibatan masyarakat.
Dosen STIE LAN, Faza Dhora Nailufar menilai, selama ini, pengukuran partisipasi hanya melihat jumlah pemilih yang hadir di TPS. Model lama itu dianggap tidak cukup menggambarkan keseluruhan proses partisipasi.
“Partisipasi itu rangkaian panjang dari proses, bukan hanya hasil akhir,” kata Faza dalam diskusi dengan KPU, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Senin (8/12/2025) malam.
Ia menjelaskan, proses partisipasi tidak hanya terlihat dari kedatangan di TPS. Ia menyebut bahwa inovasi sosialisasi di daerah juga merupakan bentuk partisipasi.
Ia menilai bahwa faktor geografis turut memengaruhi capaian suatu daerah. Dan, daerah terpencil memiliki tantangan berbeda dari kota besar. Karena itu, penilaian partisipasi tidak bisa memakai satu sudut pandang saja.
Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Erik Kurniawan, menilai demokrasi prosedural Indonesia masih berjalan cukup baik. Ia menemukan bahwa pendaftaran pemilih mendapat nilai tinggi dalam IPP.
Ia menyebut bahwa tingkat partisipasi Pilkada 2024 mencapai sekitar 71 persen. Adapuntantangan utama justru muncul pada sisi substansi demokrasi.
“Aspek resiliensi demokrasi menjadi tantangan utama. Secara prosedural kita terjaga, tapi secara substansial menghadapi ujian,” ujarnya dalam kesempatan serupa.
Anggota INFID, Masykurudin Hafidz menekankan, indikator yang lebih luas memberi gambaran yang lebih akurat. Ia menilai bahwa keterlibatan anak muda masih bersifat permukaan. Ia menjelaskan bahwa informasi yang diterima pemilih muda belum cukup dalam.
Masykurudin menunjukkan bahwa banyak tahapan pemilu bergantung pada lembaga lain. Ia memberi contoh bahwa pemutakhiran data pemilih bergantung pada kementerian terkait.
“Kalau ingin memperbaiki kualitas pemilu, prosesnya tidak cukup dilihat sebagai urusan teknokratis. Demokrasi sekarang melibatkan banyak pihak dengan peran yang sama penting,” katanya.
Ia menyebut bahwa kampanye dikendalikan oleh partai politik dan pasangan calon. Ia menilai bahwa distribusi logistik melibatkan aparat keamanan dan pemerintah daerah. Ia menyimpulkan bahwa peran aktor non-penyelenggara pemilu semakin besar.
Ia menekankan bahwa perbaikan pemilu tidak bisa berhenti pada perubahan teknokratis. Ia mengajak semua pihak untuk melihat bahwa proses demokrasi melibatkan banyak aktor.[Nug]
Laporan: Dhanis Iswara



