telusur.co.id - Hak kesehatan setiap warga negara harus dipenuhi secara iklusif, melalui kebijakan publik yang dirumuskan berbasis pengetahuan dan kesadaran akan masalah sosial.

"Pengintegrasian perspektif pro-Gedsi (Gender Equality, Disability and Social Inclusion) ke dalam kebijakan kesehatan nasional merupakan langkah penting sebagai upaya meningkatkan pelayanan kesehatan secara inklusif bagi seluruh warga negara," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Pengintegrasian Perspektif Pro Gedsi ke Dalam Kebijakan Nasional Kesehatan, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (24/7).

Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, S.H., LL.M. (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan drg. Kriswidiati, M.Kes (Direktur RS Panti Wilasa Citarum YAKKUM, Semarang), Zumrotin K Susilo (Dewan Pengawas Yayasan Kesehatan Perempuan), dan Ayu Oktariani (Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia) sebagai narasumber.

Selain itu hadir pula Irma Suryani, S.E., M.M. (Anggota Komisi IX DPR RI) sebagai penanggap.

Perspektif pro-Gedsi, ujar Lestari, diharapkan mampu mewujudkan kebijakan berbasis kesetaraan gender, disabilitas dan sistem sosial, dalam sistem pelayanan kesehatan nasional.

Perspektif itu, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, memberikan kerangka berpikir kepada para pemangku kebijakan publik agar memperhatikan masyarakat yang kerap termarjinalkan dalam kehidupan sosial.

Apalagi, menurut Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, sejumlah kendala pelayanan kesehatan diidentifikasi Kementerian Kesehatan RI yang tertuang pada cetak biru Strategi Transformasi Digital Kesehatan.

Kendala pelayanan tersebut, ungkap Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, antara lain terjadi pada layanan primer dan sekunder; layanan farmasi dan alat kesehatan; layanan pembiayaan kesehatan; layanan manajemen internal kesehatan; serta layanan bioteknologi.

Direktur RS Panti Wilasa Citarum YAKKUM, Kriswidiati mengungkapkan, pihaknya sudah merealisasikan sejumlah layanan kesehatan yang inklusif di rumah sakit yang dikelolanya.

Upaya menghadirkan layanan kesehatan inklusif itu, jelas Kriswidiati, dilakukan dengan merancang tata kelola yang meliputi visi dan misi, penegasan standar operasional rumah sakit, evaluasi hingga monitoring, yang bertujuan menghadirkan layanan bagi penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.

Visi dan misi untuk menghadirkan layanan yang inklusif itu, jelas Kriswidiati, harus dijabarkan dalam bentuk produk layanan dan fasilitas yang mendukung layanan kesehatan yang inklusif.

Sebagai contoh, tambah dia, sejak di lokasi parkir manajemen rumah sakit sudah memberi bantuan pada pasien-pasien disabilitas yang akan berobat, di selasar ada fasilitas bagi penyandang disabilitas agar mudah menuju tempat periksa dan sejumlah kemudahan lainnya.

Semua layanan tersebut, tegas Kriswidiati, juga harus dimonitor secara berkala dalam rangka terus menyempurnakan layanan inklusif yang diberikan.

Krisiwidiati juga mengakui, pihaknya butuh dukungan banyak pihak dalam mengupayakan layanan kesehatan yang inklusif, agar layanan bagi masyarakat yang rentan dapat terus dilakukan.

Dewan Pengawas Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin K Susilo mengungkapkan isu perkawinan anak, stunting dan kematian ibu karena proses reproduksi, merupakan masalah yang harus diatasi segera.

Masyarakat yang mengalami hal tersebut, jelas Zumrotin, sangat membutuhkan layanan kesehatan yang inklusif.

Dalam mendorong layanan kesehatan yang inklusif bagi masyarakat, dia menyarankan, agar mengandeng partai politik bekerja sama dalam mewujudkan layanan tersebut.

Dia mengaku pernah bekerja sama dengan partai politik untuk memperjuangkan sejumlah isu kesehatan untuk diatasi dan cukup berhasil.

Namun, jelasnya, ketika dukungan politik mengendur, upaya untuk mewujudkan pencegahan terkait perkawinan anak, penanggulangan stunting, dan pencegahan akibat reproduksi, jadi sulit kembali.

Zumrotin sangat berharap, pemerintah daerah mampu melanjutkan kebijakan-kebijakan baik terdahulu yang mengupayakan layanan kesehatan ibu dan anak yang memadai, seperti mencegah  stunting dan perkawinan anak.

Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif
Indonesia, Ayu Oktariani mengungkapkan, secara umum hingga hari ini jumlah penderita HIV baru memperlihatkan kecenderungan meningkat.

Meski secara jumlah lebih banyak laki-laki yang terkena HIV, ujar Ayu, kerentanan terbesar akibat HIV justru terjadi pada perempuan karena faktor biologis dan sosial.

Anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang terkena HIV, jelas Ayu, bila tidak segera mendapatkan intervensi akan lahir sebagai anak yang HIV.

Menurut Ayu, HIV itu sejatinya lebih sulit menular jika dibandingkan dengan penyakit paru-paru atau SARS. Namun, tambah dia, penderita HIV sangat terbebani karena stigma yang diterimanya.

Diakui Ayu, test HIV saat ini sudah tersedia di sejumlah fasilitas kesehatan di Indonesia dan mudah diakses.

Namun, tegas dia, pengobatan HIV menjadi tidak mudah karena stigma dan diskriminasi yang begitu kuat sehingga menjadi penghalang bagi penderita untuk berobat.

"Hidup dengan HIV itu tidak enak, jadi sebaiknya dicegah. Namun, bila sudah terkena HIV, jangan sampai jatuh sakit," ujarnya.

Ayu menyayangkan, kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri dalam upaya mencegah HIV masih rendah.

Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani menegaskan, pada UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sudah mewajibkan Puskesmas memiliki alat USG lengkap dengan dokter dan perawat yang mampu mengoperasikannya, sebagai bagian dari upaya meningkatkan layanan kesehatan.

Demikian juga, tambah dia, terkait dengan layanan kesehatan yang inklusif bagi masyarakat.

Irma menyayangkan, Kementerian Kesehatan baru pada tahap sosialisasi kepada masyarakat agar memeriksakan kesehatan secara rutin di Puskesmas dan menjalankan pola hidup sehat.

Hingga saat ini, ungkap Irma, apa yang diamanatkan undang-undang tersebut belum ditindaklanjuti dengan aturan turunan yang merupakan petunjuk pelaksanaan yang lebih detail di lapangan.

Irma juga meyayangkan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah di sejumlah daerah, sehingga upaya menyosialisasikan pola hidup sehat dalam keseharian tidak maksimal.

Selain itu, jelas dia, masih ada kepala daerah yang enggan membayarkan iuran BPJS Kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu di daerahnya. Sehingga akses warga tidak mampu menjadi terbatas untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Wartawan Senior, Saur Hutabarat berpendapat pemahaman masyarakat terkait kesehatan reproduksi adalah hak perempuan harus terus ditingkatkan, dalam upaya mencegah terjadinya perkawinan anak yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi perempuan dan kesehatan anak yang dilahirkannya.

Menurut Saur, sosialisasi masif terkait kesehatan reproduksi adalah hak perempuan harus segera dilakukan.

Selain itu, tambah Saur, stigma dan diskriminasi terhadap kelompok rentan seperti penderita HIV dan kelompok disabilitas juga harus diimbangi dengan peningkatan layanan kesehatan yang inklusif, seperti praktik yang diterapkan di RS Panti Wilasa Citarum, Semarang.

Buruknya pengetahuan pemangku kebijakan, menurut Saur, dapat menimbulkan ketidakadilan gender dalam penerapan layanan kesehatan di sejumlah daerah.

Menurut Saur, pengetahuan para calon kepala daerah terkait layanan kesehatan yang inklusif harus dipastikan, agar tidak terjadi lagi penghapusan layanan kesehatan yang baik.