Lestari Moerdijat: Pendidikan Antikekerasan Seksual di Sekolah Penting untuk Lindungi Anak - Telusur

Lestari Moerdijat: Pendidikan Antikekerasan Seksual di Sekolah Penting untuk Lindungi Anak

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat

telusur.co.id - Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menegaskan pentingnya pendidikan antikekerasan seksual di sekolah sebagai langkah preventif untuk mencegah meningkatnya kasus kekerasan seksual yang menyasar peserta didik.

“Kasus-kasus kekerasan seksual yang kian marak harus menjadi alarm bagi kita semua. Pendidikan antikekerasan harus dikedepankan, baik di sekolah maupun di masyarakat,” ujar Lestari dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk “Pentingnya Pendidikan Antikekerasan Seksual di Sekolah”, Rabu (21/5).

Lestari, yang akrab disapa Rerie, menekankan bahwa edukasi seksualitas harus mencakup aspek religius, biologis, sosial, dan budaya. Edukasi ini penting agar peserta didik memahami hak atas tubuh, menjaga integritas dan martabat diri, serta mampu menghormati batas diri dan orang lain.

Sebagai anggota Komisi X DPR RI, Rerie menilai bahwa pendidikan ini harus diberikan sedini mungkin agar peserta didik memiliki pemahaman dan kewaspadaan terhadap kekerasan seksual.

Ratih Megasari Singkarru, Kapoksi Komisi X DPR RI, menyoroti bahwa kekerasan seksual sering terjadi di lingkungan terdekat anak. Ia menekankan pentingnya literasi tubuh, agar anak-anak mengenali hak atas tubuh mereka dan tahu kapan harus berkata tidak.

“Sekolah harus menjadi ruang aman yang menumbuhkan kesadaran nilai dan ketahanan seksual anak,” tegas Ratih. Menurutnya, kolaborasi multipihak yang kuat sangat penting untuk mewujudkan pendidikan yang antikekerasan.

Rusprita Putri Utami, Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek, menyampaikan bahwa kekerasan seksual merupakan tantangan nyata di dunia pendidikan dan sering kali sulit dibuktikan.

Ia menegaskan, melalui penguatan karakter dan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah serta Satgas Perlindungan Anak di daerah, pemerintah berupaya mempercepat penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.

Maria Ulfah Anshor, Ketua Komnas Perempuan, menyebutkan bahwa landasan hukum untuk mencegah kekerasan seksual sudah ada, namun implementasi dan kesadaran masyarakat masih menjadi tantangan.

Ia menyoroti ketimpangan relasi kuasa dan budaya patriarki sebagai akar kekerasan seksual terhadap anak. “Perlu pendekatan yang sistematis, integratif, dan multisektor, termasuk penguatan peran keluarga,” ujarnya.

Ai Maryani Solihah, Ketua KPAI, menekankan bahwa anak adalah aset bangsa dan perlindungan terhadap mereka harus berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Ia mengusulkan sinkronisasi aturan hukum agar penanganan kekerasan seksual menjadi lebih efektif dan terintegrasi.

Endang Yuliastuti Juwardi, guru SMP Negeri 19 Jakarta Selatan, menyatakan bahwa pendidikan seksual harus segera dilembagakan di sekolah dengan waktu yang cukup. Menurutnya, pemahaman logis tentang tubuh dan batasan interaksi sangat penting untuk mencegah kekerasan.

Ia juga menekankan perlunya pelatihan guru agar siap mendampingi siswa dalam isu-isu sensitif ini.

Wartawan senior Saur Hutabarat mengusulkan pemanfaatan CCTV di sekolah serta keterlibatan penjaga sekolah dan petugas kebersihan sebagai "mata dan telinga" untuk mencegah kekerasan.

“Teknologi dan komunitas bisa menjadi pengawas efektif, asalkan dilibatkan secara benar dan bertanggung jawab,” tutupnya.[]


Tinggalkan Komentar