Menunda Pemungutan Suara Karena Virus Korona - Telusur

Menunda Pemungutan Suara Karena Virus Korona


Telusur.co.id - Oleh: Dr. H. Joni. SH. MH. Pengamat Hukum dan Sosial Dosen Sekolah Tunggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit

HARI HARI ini secara umum bangsa Indonesia masih dihantui kekhawatiran merebaknya virus korona. Bahkan di Jakarta diberlakukan PSBB secara total, ketika penyebaran virus ini Kembali mengganas. Lahir kluster kluster baru dari sumber yang sebelumnya tiak diperkirakan. Misalnya dari keluarga tenaga kesehatan, bahkan dari para dokter. Ini tentu sangat memprihatinkan.

Kaitannya dengan hajat Pilkada, ada pemikiran di kawasan zona meerah untuk pelaksanaan puncak yaitu pemungutan suara pada medio Desember yang akan datang ditunda. Lontaran berupa pilihan ini sudah disampaikan pihak terkait semenjak bulan Juni 2020 silam.  

Sampai sekarang ketika indikasi untuk penyebaran virus korona tak kunjung menunjukkan tanda tanda mereda, opsi untuk melakukan penundaan itu semakin kuat, bahkan mendekati kepastian. Hanya bagaimana teknis untuk hal dimaksud memerlukan kepastian rumusan sehingga pada stu sisi tidak mengganggu jadwal Pilkada, sementara pada sisi lain tetap bisa mencegah mujnculnya kluster baru penyebaran virus korona.

Keadaan Darurat

Klausula untuk penundaan itu diatur dalam peraturan perundang undangan, yang dikaitkan dalam keadaan force majeure (keadaan memaksa). Dasar dari hubungan hukum keadaan memaksa ini sejatinya berada pada ranah hukum perdata. 

Pemahamannya adalah merupakan pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan disebabkan oleh keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Hal ini pula yang menjadi alasan dari debitur untuk mengelak atau tidak memenuhi kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi yang dikemukakan oleh pihak kreditur.

Jadi keadaan memaksa ini didasarkan pada peistiwa yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Kendatipun segala sesuatu haus terukur, maka keadaan memaksa ini meliputi keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak, mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya. Ada pula keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif), yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Risiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak.

Pada kaitannya dengan Pilkada, justru secara umum tidak ada yang dirugikan. Dalam arti tidak ada hubungan hukum yang setara atau sepadan, disebabkan virus korona tiak bisa dipandang sebagai pihak dalam kaitannya dengan dasar hukum penundaan pelaksanaan Pilkada. Namun demikian dalam hal hubungan ekonomi, keadaan memaksa ini tidak dapat didasarkan pada adanya virus korona. Artinya hubungan yang didasarkan pada klausula yang bersifat ekonomis harus tetap dipenuhi, sehingga pihak yang tidak memenuhi prestasi tetap dipandang melakukan wanprestasi.

Kebeadaan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran virus korona sebagai bencana nasional, bersifat relatif dalam arti tidak ada gangguan dalam pemenuhan prestasi yang didasarkan pada hubungan hukum secara ekonomis. Artinya dasar hukum dari  keadaan memaksa tidak dapat dijadikan dasar sebagai force majeure untuk membatalkan kontrak. Namun pada tahap berikutnya, Ketika ada kebijakan pemerintah seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membuat kegiatan usaha menjadi tidak berjalan, permasalahannya menjadi berbeda.

Terkait Pilkada

Bahwa sampai saat ini jadwal Pilkada sudah berlangsung, diantaranya adalah masa pendaftaran dan nantinya disusul masa kampanye. Namun kepastian untuk pemungutan suara, hal yang dinilai paling rawan dipastikan tidak ditunda. Yaitu pada 9  Desember 2020. Secara substansi pelaksanaan Pilkada sangat penting untuk memenuhi hak masyarakat dalam memilih pemimpin daerah definitif. Hal itu sangat dibutuhkan dalam percepatan penanganan korona di daerah. Sementara secara administratif Pemimpin yang Plt (pelaksana tugas) memiliki keterbatasan, padahal dibutuhkan speed dan power penuh dalam menangani virus korona.

Secara administratif pemerintah memberikan seluruh fasilitas dan dukungan penuh kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam penyelenggaraan pemilu pertama di tengah pandemi. Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi kuat dalam menyukseskan Pilkada 2020 yang aman dari virus korona bagi penyelenggara dan pemilih. Untuk itu seluruh potensi dicurahkan untuk suksesnya hajat Pilkada, dan untuk itu dalam penyelenggarannya KPU dan Bawaslu dibantu oleh gugus tugas baik nasional maupun daerah untuk mengontrol penerapan protokol kesehatan berdasarkan zonasi.

Namun dalam perhitungan berikutnya, nampak bahwa pandemi virus korona semakin kuat, dalam arti penyebarannya sulit dikendalikan. Memang ada zona merah, kuning, orange maupun hijau. Pada zona merah yang semakin berkembang, bahkan ada yang membeikan istilah dengan zona hitam. Untuk inilah ada opsi yang secara rasional disampaikan, yaitu menunda pelaksanaan Pilkada di zona merah. Artinya  penyelenggaraan Pilkada 2020 itu bukan harga mati. Bahwa penyelenggara juga tetap harus memperhatikan kondisi setiap daerah khususnya TPS di zona merah korona.
Dengan demikian pilihannya adalah secara konkret memperhatikan kondisi dimana pemunguta suara akan dilakukan. Apakah TPS ini memungkinkan untuk di laksanakan. Apakah di desa ini memungkinkan dilaksanakan. Atau mungkin satu kecamatan, konkretnya diceermati berdasarkan kondisi obyektif. Apakah titik tujunya TPS, apakah tidak terlalu kecil, inilah masalahnya.

Sekaitan dengan hal ini, KPU tidak bisa memaksakan suatu daerah apabila daerah itu memang tidak memungkinkan melaksanakan Pilkada. Munculnya  kekhawatiran itu memang sangat wajar, tentu kalau terjadi di 1 TPS di 2 TPS atau beberapa tempat memang tidak memungkinkan. Opsinya KPU tidak bisa mamaksakan untuk melaksanakan pemungutan suara atau kegiatan tahapan lain, mulai dari kampanye dan sebagainya sehingga prioritas utama sebagaimana yang telah disepakati.

Didasari oleh kepentingan yang lebih  mendesak, pemerintah memang harus percaya diri untuk memberikan jaminan dalam pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi virus korona. Kepentingan yang lebih besar, yaitu keselamatan rakyat adalah segalanya. Oleh karena itu opsi penundaan menjadi pilihan rasional. Hanya masalahnya adalah bahwa penilaian atas suatu Kawasan itu termasuk zona merah, hijau atau biru, akan menyulitkian jika diukur per-TPS. Harusnya diukur berdasarkan patokan administrative Kabupaten/Kota.

Oleh karena iktu jika memang pada satu kawasan Kabupaten/Kota temasuk dalam zona merah, meskipun sebagian dari wilayah dari Kabupaten/Kota yang besangkutan berada pada zona biru, pemungutan suara tetap harus ditunda. Hal ini untuk mencegah sengkarut administratif akibat tidak bersamaannya pelaksanaan pemungutan suara pada satu komando KPU. Penundaan pemungutan suara satu Kabupaten/Kota merupakan pilihan yang paling rasional, jika dibandingkan dengan pelaksanaan per kawasan, apa lagi  per-TPS yang akan menimbulkan permasalahan baik pada pengawasan, maupun koordinasi dari hasil pemungutan suara.


Tinggalkan Komentar