Missi Diplomatik Republik Indonesia di Mesir - Telusur

Missi Diplomatik Republik Indonesia di Mesir


Telusur.co.id - Oleh A R. Baswedan

Anggota Missi Diplomatik RI ke Timur Tengah

MATAHARI musim semi menyambut kami ketika pesawat melandas di lapangan terbang Kairo, 10 April 1947. Airport terasa sibuk. Kami berempat:Haji Agus Salim, Dr. Mr. Nazir St. Pamuntjak, M. Rasjidi (kemudian dikenal sebagai Prof.Dr. H.M. Rasjidi), dan saya, turun.

Dengan menjinjing aktentas sederhana yang kuncinya sering macet, dan berbekal secarik kertas kumal keluaran Kementerian Luar Negeri dengan tulisan: “Surat Keterangan Dianggap sebagai Paspor”, kami meninggalkan pesawat menuju ruang imigrasi. Berdesak di antara sekian banyak penumpang yang berpakaian rapi, saya cuma mengenakan pakaian biasa –itu seragam perjuangan yang terkenal: stelan kain khaki dan sepatu sandal lusuh.

Pegawai imigrasi, tinggi besar dengan kumis melintang, mengamati “paspor” kami. Roman mukanya agak berkerinyut, dan Haji Agus Salim cepat memberi keterangan bahwa kami adalah anggota delegasi “Mission Diplomatique dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia,” begitu kata beliau. Petugas itu mengangkat bahu. Rupanya ia tidak pernah belajar ilmu bumi tentang Indonesia. Matanya masih menyimak suara itu. _“Are you Moslem?”_, mendadak dia bertanya. _“Yes!”_, jawab kami serentak. Jawaban yang spontan seperti  paduan suara, sehingga kami berempat saling berpandangan sambil tertawa. Petugas itu mungkin telah melihat nama-nama yang tertera di surat itu bernafaskan Islam. _“Well, then, ahlan wa sahlan. Welcome!”_, ucapnya. Tanpa banyak cingcong, tanpa melihat surat-surat lagi atau periksa memeriksa tas, kami dipersilakan lewat. Beberapa menit kemudian muncul di ruang tunggu Sekretaris Jenderal Liga Arab, Azzam Pasha, dan beberapa mahasiswa Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa itu belum ada yang kami kenal, hanya satu yang sudah saya ketahui sejak di Semarang dulu, namanya Abdoelkadir Kherid (kelak bekerja sebagai staf Kedutaan Besar Republik Indonesia, KBRI, di Aljazair).

Tamu yang Menggemparkan

RASANYA seperti sebuah mimpi, ketika pesawat melandas di lapangan terbang Kairo, ketika wajah petugas menjadi cerah setelah tahu bahwa kami Muslimin, ketika Azzam Pasha menyambut dengan segala keramahan. Terasa sekali hangatnya persaudaraan itu. Dan saya jadi teringat awal perjalanan ini, perjalanan yang semula tak pernah dibayangkan dapat terjadi, ketika Mohammad Abdul Mun’im muncul di lapangan terbang Maguwo (sekarang Adi Sutjipto) Yogyakarta.

Lapangan terbang Maguwo yang biasanya sepi, hari itu dikejutkan oleh mendaratnya sebuah Dakota Commercial Airlines dari Singapura. Di antara penumpangnya, turunlah seorang lelaki kulit putih dengan kopiah tarbus merah, bersamanya seorang wanita kulit putih. Dan tak lama kemudian mereka sudah terlihat di Malioboro.

Berita ini tentu saja menggemparkan. Para wartawan sibuk mencari informasi. Ternyata lelaki bertarbus merah itu bermaksud menghadap Presiden Sukarno. Kabar ini pun segera disampaikan ke Istana. Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Menteri Penerangan Mohammad Natsir sedang berada di Jakarta. Saya, yang saat itu menjabat Menteri Muda Penerangan, sedang di Surakarta; sehingga Sekretaris Negara Mr. Abdul Gaffar Pringgodigdo kemudian menelepon saya di rumah meminta supaya segera datang ke Yogyakarta mengurusi “tamu yang menggemparkan” itu.

Tamu itu adalah seorang Mesir yang bernama Mohammad Abdul Mun’im, Konsul Jenderal Mesir di Bombay (sekarang Mumbay), India, yang datang mewakili negerinya dengan membawa pesan-pesan dari Liga Arab. Sebagai seorang diplomat, pada mulanya ia tidak bersedia menerangkan maksud kunjungannya kepada wartawan. Tetapi hal itu sudah dapat diterka, karena sekitar November 1946 tersiar berita bahwa Liga Arab di Kairo memutuskan untuk menganjurkan anggota-anggotanya agar mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Abdul Mun’im meninggalkan Bombay  menuju Singapura dengan harapan mendapatkan visa masuk Indonesia, tetapi perwakilan Belanda di sana menolaknya. Untung ia bertemu dengan Miss Ktut Tantri, itu wanita kulit putih yang tampak datang bersamanya. Kita tentu mengenal nama wanita ini, yang menjadi pembantu pejuang-pejuang kita, terutama di Jawa Timur, dengan pidato-pidatonya di corong radio bersama Bung Tomo. Ktut Tantri dengan mati-matian berusaha sehingga berhasil mencarter sebuah pesawat terbang yang membawa mereka menerobos blokade Belanda, langsung menuju Yogyakarta.

Kedatangan utusan Liga Arab itu sudah tentu menggembirakan kalangan politik di Yogyakarta khususnya, dan juga di seluruh Indonesia, karena pada saat itu situasi politik antara RI dan Belanda agak memburuk dan kita diliputi rasa pesimis terhadap keikhlasan pihak Belanda. Perasaan itu jelas terlihat, meskipun baru sebulan sebelumnya sidang pleno Komite Nasional Indonesia di Malang meratifikasi persetujuan Linggarjati. Belanda ternyata memberikan interpretasi sendiri atas persetujuan itu, sehingga situasi menjadi lebih buruk lagi, ditambah pula dengan penyerbuan ke Mojokerto. Akibatnya, Bung Sjahrir terpaksa mondar-mandir Yogya-Jakarta, dan menunda keputusan tentang undangan Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, untuk menghadiri _Inter-Asian Relations Conference_ di New Delhi.

Begitulah suasana waktu itu, sehingga sangatlah mengharukan ketika hari Sabtu, 15 Maret 1947, pukul 10:00 pagi, Abdul Mun’im menghadap Presiden Sukarno menyampaikan pesan-pesan dari Liga Arab. Pada hari itu, yang bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Mesir yang ke-23, utusan Liga Arab itu menyampaikan kepada Presiden, keputusan Sidang Dewan Liga Arab pada tanggal 18 November 1946 yang berisi anjuran agar negara-negara anggotanya mengakui Republik Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat, berdasarkan ikatan keagamaan, persaudaraan, serta kekeluargaan. Oleh Presiden Sukarno, dalam menutup sambutannya dikatakan bahwa antara negara-negara Arab dan Indonesia sudah lama terjalin hubungan yang kekal, “karena di antara kita timbal balik terdapat pertalian agama.”

Utusan Liga Arab ini terus menjadi pembicaraan, karena pidato-pidatonya di Masjid Besar Yogyakarta maupun dalam pertemuan-pertemuan dengan para tokoh di Kepatihan dan dalam konferensi pers. Juga permintaannya untuk bertemu dengan wargna negara Indonesia keturunan Arab, dikabulkan oleh Pemeritah. Dalam pertemuan itu, ia melahirkan rasa gembiranya bahwa warga negara Indonesia keturunan Arab itu telah ikut ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Abdul Mun’im, utusan yang lembut tetapi tegas itu kemudian mendesak agar RI mengirim delegasi ke Mesir, sekaligus ikut menghadiri _Inter-Asian Relations Conference_ di New Delhi.

Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun kemudian memutuskan untuk menerima undangan dari Perdana Menteri India, Nehru, juga mengirim delegasi ke Mesir. Meskipun keberangkatannya ke New Delhi berarti tertundanya beberapa pelaksanaan persetujuan Linggarjati, tetapi ia berpendapat bahwa kepergian ke New Delhi itu akan membawa manfaat. Dikemukakan oleh Sjahrir, betapa pentingnya kedudukan pemerintah India kelak terhadap perjuangan Indonesia. Selain itu, konferensi di New Delhi ini akan memberi kesempatan pula untuk mengatur hubungan negara-negara tetangga seperti Birma, Thailand, Tiongkok, dan lain-lain. 

Dan berangkatlah delegasi yang bersejarah ini. Dipimpin oleh Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), A.R. Baswedan (Menteri Muda Penerangan), M. Rasjidi (Sekretaris Jenderal Kementerian Agama), dan Dr. Nazir St. Pamoentjak.

Sangat Dimanjakan

DARI airport kami langsung menuju ke Hotel Continental. Di mobil salah seorang mahasiswa kita berbisik kepada saya: “Apa Pak Baswedan tidak punya pakaian lain? Masak anggota delegasi kok pakaiannya stelan kain khaki!”. Saya jawab bahwa saya tidak begitu siap dalam soal pakaian. “Wah sulit ini, Pak,” katanya. “Tukang buka pintumobil di Hotel Continental, seragamnya wol!”. Betul juga, sebab sesampai di hotel terlihat semua penghuni hotel itu tampak berpakaian lengkap. Tetapi saya tetap berjalan segagah mungkin, karena toh “mode” stelan kain khaki tidak ada di ruang itu, sehingga bisa saja dianggap sebagai mode yang justeru paling baru!

Setelah tiga hari, baru saya berani turun makan di lobby hotel, setelah dibelikan pakaian yang cukup pantas untuk dikenakan oleh seorang anggota delegasi diplomatik.

Hari berikutnya, koran terbesar di Kairo, _Al-Ahram_, memuat foro delegasi RI, dan mulailah bermunculan tamu-tamu yang ingin berkenalan dengan delegasi kita. Cukup repot juga. Saya sendiri pada saat itu ditugaskan oleh Haji Agus Salim, yang menjadi Ketua Delegasi, untuk menerjemahkan sebuah buku tentang tata cara bagi para diplomat. Buku itu karya seorang diplomat kawakan Mesir yang berkunjung ke hotel. Maklumlah, kami masih tergolong “orang udik” dalam hal etiket diplomasi. Padahal saya sudah tidak sabar lagi ingin memuaskan dorongan jiwa wartawan, tetapi Haji Agus Salim melarang saya meninggalkan hotel untuk “keluyuran” mencari berita.

Sebagai bekas wartawan yang menjabat Menteri Muda Penerangan, saya berpendapat bahwa waktu yang ada tidak boleh disia-siakan dengan mendekam di hotel. Akhirnya saya menyelinap pergi, dan dengan diantar teman-teman mahasiswa Indonesia, saya mulai “ngeluyur” mengunjungi tokoh-tokoh pers, para sastrawan, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Hal ini terbukti kemudian sangat penting untuk menyebarkan informasi tentang Indonesia dan untuk mencari tanggapan masyarakat terhadap kedatangan delegasi kita. Acara “keliling” itu tidak begitu sulit, karena sebagian dari tokoh-tokoh itu sudah lama saya kenal lewat tulisan-tulisan mereka dalam koran atau majalah Mesir yang bisa didapat di Indonesia.

Tentu saja, Bapak Ketua Delegasi, Haji Agus Salim, marah besar kepada saya. Tetapi, ketika saya laporkan hasil-hasil “keluyuran” itu, beliau diam saja. Wajahnya tidak berubah, meskipun saya tahu pasti bahwa hatinya senang. Sekian tahun bertetangga dengan beliau, sejak zaman Belanda, membuat saya cukup “mafhum” akan “gaya”-nya. Begitulah Bapak kita yang eksentrik itu.

Salah satu dari sekian banyak yang saya kunjungi adalah pemimpin redaksi Al-Ahram. Dari dia banyak saya dapatkan informasi penting mengenai tanggapan masyarakat terhadap kunjungan kita. Menurut sang pemimpin redaksi, yang biasanya baru masuk kantor sekitar pukul 12 malam, delegasi kita sangat dimanjakan oleh pemerintah Mesit. Sebab, begitu kata dia, situasi politik dalam negeri Mesir masih centang perenang. Ada masalah oposisi, ada problem Palestina yang sedang gawat-gawatnya, ditambah kemelut hubungan diplomatik dengan Perancis gara-gara pemerintah Mesir memberi bantuan kepada pemberontak Maroko. Tetapi toh dalam suasana semacam itu, pemerintah Mesir memperhatikan delegasi Indonesia, meskipun kami mesti menunggu lama sebelum urusan pengakuan kedaulatan selesai.

Betul juga keterangan dari pemimpin redaksi Al-Ahram itu, karena delegasi masih harus bersabar untuk bertemu dengan anggota-anggota Liga Arab, Perdana Menteri Nokrashi Pasha, dan tentu saja dengan Raja Farouk yang memegang kunci masalah pengakuan terhadap RI.

Tata cara diplomatik Mesir yang sangat formal itu, juga merupakan handicap. Sebab meskipun pada prinsipnya soal pengakuan itu sudah tidak menjadi problem, tetapi prosedur-prosedur formal harus tetap dilalui. Dalam hal ini delegasi kita sangat berhutang budi kepada Abdul Mun’im yang mengatur semua kontak dengan pihak-pihak resmi, yang dalam tindakan dan semangatnya seakan-akan ia salah seorang dari anggota delegasi.

Karang Persaudaraan Islam

SIAPA pun yang pernah bertemu dengan Haji Agus Salim dan bercakap dengan beliau, pasti mengagumi intelek yang brilian ini, julukan yang diterimanya sejak ia mulai muncul di medan pergerakan politik Indonesia. Kekaguman ini bukan cuma dimiliki kawan-kawannya, tetapi juga oleh lawan-lawannya. Meskipun bukan sarjana, namun kecerdasan dan ketangkasannya berbicara serta berdebat, dan bakat begitu juga kemampuannya menguasai bahasa asing –termasuk bahasa Arab— sangat mengagumkan. Begitu pula kesan dari orang-orang Mesir yang bertemu dengan beliau, padahal orang Mesir dikenal sebagai tukang ngobrol, ahli debat dan bersilat lidah. Asyik betul memiliki Ketua Delegasi semacam Haji Agus Salim ini. 

_Mission Diplomatique_ ini –nama yang diberikan Haji Agus Salim kepada delegasi kita— mengadakan jumpa pers tidak lama sesudah tiba di Kairo.

Sebelum acara itu dimulai, dibagikanlah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah ditulis dalam bahasa Inggeris, kepada yang hadir. Sebagai Ketua Delegasi, Haji Agus Salim membeberkan sejarah dan perjuangan RI sejak zaman Belanda.

Kondisi politik Mesir pada saat itu menyebabkan delegasi RI terpaksa menunggu sampai kira-kira tiga bulan sebelum semua pekerjaan selesai. Waktu yang lama itu saya manfaatkan untuk lebih mengenali masyarakat Mesir, dan memperkenalkan Indonesia kepada mereka. Hampir setiap hari, disertai dengan teman-teman mahasiswa, saya keliling kota dengan trem kota. Banyak hal yang mengungkapkan bahwa masyarakat awam, bahkan para intelektualnya, kurang mengetahui Indonesia. Orang-orang Mesir umumnya, mereka hanya tahu tentang bangsa-bangsa Timur Jauh seperti India dan Cina. Sebagian kecil kelompok intelektual mengetahui tentang jajahan Belanda, juga para mahasiswa Mesir yang kenal dengan orang Indonesia yang bersekolah di sana. Sedang para haji –yang karena pernah pergi ke Makkah— menjadi tahu tentang Jawa.

Suatu malam kami diundang menghadiri pesta penobatan raja di gedung _Qasr Azza’faran_. Pesta itu diselenggarakan oleh PM Nokrashi Pasha dan dihadiri seluruh korps diplomatik. Seperti biasa ketika akan pulang, melalui pengeras suara mobil yang mengantar dipanggil ke depan pintu. Waktu sampai giliran delegasi Indonesia, berserulah si petugas: _“Delegation of China!”_. Karuan saja Haji Agus Salim naik pitam.  _“Ya Syaikh! Indonesia. Musy China!”_ (Hai Tuan. Indonesia. Bukan Cina!). Apa mau dikata. Rupanya baju teluk belanga dan kopiah hitam kami dikira pakaian dan songkok Cina!

Sekali waktu delegasi Indonesia mengadakan perjamuan untuk Syaikh Al-Azhar. Perjamuan itu diselenggarakan di salah satu restoran di Kairo, dan ketika acara berakhir, para pelayan lantas berkumpul sambil menyerukan: _“Litahyal Hindi!”_ (Hidup India!). 

Dengan diantar Abdul Mun’im, delegasi RI menghadap Raja Farouk di Istana Qasr Abidin. Dengan ramah ia menerima kami dan menyatakan bahwa “karena karang persaudaraan Islamlah, terutama, kami membantu dan mendorong Liga Arab untuk mendukung perjuangan bangsa Indoesia dan mengakui kedaulatan negara itu.” Ia mengemukakan pula bahwa dirinya akan selalu mendukung perjuangan kemerdekaan, apalagi jika rakyatnya beragama Islam seperti yang dilakukannya terhadap Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Begitu juga, Mesir terus memperjuangkan nasib rakyat Palestina.

Beberapa saat sebelum saya meninggalkan Mesir, terjadilah hal yang cukup penting, yang membuktikan ucapan Raja Farouk di atas, yaitu pemberian suaka politik kepada pejuang Maroko, Amir Abdulkarim Al Khattabi yang bergelar Pahlawan Rifkabilen.

Pertemuan dengan Raja Farouk mengesankan sekali. Ingin saya kemukakan bahwa lepas dari masalah kehidupan pribadinya yang banyak dikecam, Farouk termasuk yang paling berjasa dalam masalah pengakuan kedaulatan. Meskipun kita tidak boleh melupakan jasa tokoh-tokoh Mesir lainnya seperti Sekjen Liga Arab Azzam Pasha, Dr. Salahuddin Bey, begitu pula Nahasy Pasha yang menjabat sebagai pimpinan partai oposisi Wafd. Dukungan dari kelompok oposisi ini sangat menguntungkan, karena itu tidak akan timbul masalah di Parlemen maupun Kabinet dalam mengambil keputusan tentang tentang pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia.

Yang agak menyulitkan dalam acara menghadap raja adalah soal pakaian. Anggota-anggota delegasi RI tidak memiliki pakaian resmi jas panjang, tetapi Haji Agus Salim dapat mengenakan pakaian Teluk Belanga. Rasjidi siap memakai blangkon-surjan. Akhirnya dicoba mencari persewaan jas panjang dari kostum milik rombongan sandiwara, tetapi ukuran badan saya dan Dr. Pamuntjak terlalu kecil untuk jas-jas yang ada sehingga akhirnya diberikan dispensasi kepada kami untuk menghadap dengan jas basa. Kepala rumah tangga istana hanya bisa geleng-geleng kepala.

Kabinet Sjahrir Jatuh

TINGGAL selama tiga bulan di Mesir bukan hal yang mudah. Ingatan akan keluarga di rumah, makanan yang kadang-kadang kurang cocok, dan waktu yang terasa kosong, membuat orang mudah menjadi bosan. Masyarakat pun sudah mulai kehilangan interes kepada delegasi. Oleh karena  itu saya mencoba untuk “keluyuran” lagi ke kantor-kantor harian dan majalah sekadar untuk mengobrol.

Suatu hari Abdul Mun’im datang ke hotel sambil senyum-senyum. “Memang orang Indonesia ada-ada saja,” katanya. Ternyata ada berita kecil di majalah _Rose el Yusuf_, suatu majalah politik yang terkemuka di Kairo tentang masalah wanita di Mesir yang sedikit membicarakan delegasi RI.

Memang, sehari sebelumnya saya mampir ke kantor redaksi majalah Rose el Yusuf. 

Redaktur majalah ini bertanya dengan nada senda gurau tentang apakah di Indonesia ada trem listrik, bioskop, dan lain-lain. Menyambung gurauannya, saya katakan saja bahwa di Indonesia tidak ada bioskop dan sebagainya, tetapi Indonesia memiliki sesuatu yang tidak dipunyai Mesir. “Apa itu/” tanyanya. Saya jawab, “Menteri Sosial yang wanita.” Dia bertanya lagi, agak kaget, “Wanita jadi menteri?”. Sang redaktur seakan-akan tidak percaya. “Memang betul,” begitu jawab saya, dan kemudian saya ceritakan tentang Maria Ulfah (kemudian dikenal sebagai Ny. Maria Ulfah Soebadio) yang menjadi Menteri Sosial. Dia terheran-heran.

Itulah sebab musabab munculnya berita tentang Indonesia di majalah tersebut yang pasti mempunyai effek besar  terhadap pandangan kalangan politik Mesir terhadap Indonesia, mengingat kedudukan majalah itu di sana.

Selain disergap rasa bosan, Delegasi juga amat gelisah, karena menurut monitoring yang dilakukan oleh Saudara Salim Al-Rasyidi (kelak Dr. Salim Al-Rasyidi, dosen di Universitas Islam Bandung) yang kita tugaskan untuk setiap hari memonitoring siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dalam bahasa Arab, situasi di Tanah Air menjadi amat genting berhubung bahwa Komisi Jenderal Belanda menyampaikan Nota Ultimatif yang harus dijawab oleh RI dalam waktu 14 hari. 

Nota Ultimatif itu berisi lima pasal yang antara lain membentuk bersama suatu Pemerintah Peralihan (interim) dan menyelenggarakan bersama ketertiban dan keamanan di seluruh Indonesia (gendarmerie bersama). Sedang pengakuan resmi atas kedaulatan RI dari pihak Pemerintah Mesir belum terlaksana.

Ultimatum Belanda itu oleh Pemerintah Sjahrir dijawab pada tanggal 8 Juni (dua hari sebelum penandatanganan Perjanjian Persahabatan Mesir-Indonesia) yang antara lain “setuju” membentuk Pemerintahan Peralihan yang mempunyai kewajiban mempersiapkan penyerahan kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda kepada Pemerintah Federal Nasional, dengan selama masa peralihan itu kedudukan de facto Republik tidak dikurangi.

Jawaban atas ultimatum Belanda itu telah menyebabkan jatuhnya Kabinet Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947.

Situasi gawat di Tanah Air tadi terutama seruan dari Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk bersiap-siap menghadapi ancaman Belanda, itulah yang menyebabkan Ketua Delegasi Pak Salim memutuskan segera setelah terlaksana penandatanganan Perjanjian Persahabatan Mesir-Indonesia, saya sebagai anggota delegasi (yang menjabat Menteri Muda Penerangan) perlu segera kembali ke Tanah Air. Sebab selama delegasi di Mesir tidak dapat berkorespondensi dengan Pemerintah RI di Yogyakarta maupun di Jakarta, karena korespondensi itu melalui pos yang tentu diketahui pihak Belanda. 

Sebaliknya pihak Belanda di Belanda maupun Gubernur Jenderal van Mook di Batavia pasti mendapat informasi cukup mendetail tentang segala tindakan delegasi yang dilaporkan oleh duta besarnya di Kairo. Maka tiada jalan lain delegasi memutuskan perlu segera pulangnya saya ke Tanah Air untuk menyampaikan naskah perjanjian terutama laporan lengkap tentang situasi dan semangat di Mesir (baca: Liga Arab) yang mendukung perjuangan Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya, sebagaimana yang dialami oleh delegasi selama lebih kurang tiga bulan di Kairo yang baru akan jelas bagi Presiden maupun Pemerintah RI jika dijelaskan dengan lisan sejelas-jelasnya agar dengan begitu semangat bertahan dari pihak Republik terhadap ultimatum Belanda tidak berkurang, karena seluruh Timur Tengah pasti membela RI menghadapi ancaman Belanda. Maka seminggu kemudian (karena menanti adanya kapal terbang) yaitu pada tanggal 18 Juni, bertolaklah saya meninggalkan Kairo menuju Singapura.

Protes Duta Besar Belanda Ditolak

SAMPAI sekarang saya tidak bisa melupakan hari itu, tanggal 10 Juni 1947. Kami semua diantar Abdul Mun’im menuju gedung Kementerian Luar Negeri Mesir sekitar pukul 9 pagi, untuk menghadiri upacara penandatanganan Perjanjian Persahabatan Mesir-Indonesia. Memang sehari sebelumnya sudah disiarkan di koran-koran bahwa Kabinet Mesir telah memutuskan untuk menyetujui ditandatanganinya perjanjian persahabatan dan kerja sama antara Mesir dengan Indonesia di bidang sosial ekonomi.

Berita itu tentu saja mengejutkan Duta Besar Belanda di Mesir, tetapi sangat menggembirakan masyarakat Indonesia di Mesir, antara lain Saudara Zein Hasan (Ketua Perhimpunan Kemerdekaan Indonesia) dan kawan-kawannya, dan dua bersaudara Hasan dan Ali Baktir yang lewat karangan-karangan dan sajak-sajaknya yang dimuat di koran-koran Kairo, terus menerus melakukan usaha memperkenalkan Indonesia serta mendorong Liga Arab untuk mendukung perjuangan Indonesia.

Pukul 9 pagi, kami sudah siap di ruang tunggu Kementerian Luar Negeri Mesir. Jabatan Menteri Luar Negeri (Menlu) Mesir pada saat itu dirangkap oleh PM Nokrashi Pasha. Sesudah setengah jam menunggu, kami melihat Duta Besar Belanda keluar dari kamar kerja PM Nokrashi dengan wajah kecut, dan langkah tergesa-gesa. Kami kemudian langsung dipersilakan masuk.

PM Nokrashi  Pasha meminta maaf karena telah membiarkan delegasi menunggu lama di luar. Menurut dia, Duta Besar Belanda itu langsung saja “menyerbu” masuk ke ruang kerja untuk mengajukan protes sehubungan dengan akan ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir. Duta Besar Belanda mengingatkan Mesir tentang hubungan ekonomi Mesir dan Belanda, serta janji dukungan Belanda terhadap Mesir dalam masalah Palestina di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Perdana Menteri kemudian menjawab: “Menyesal sekali kami harus menolak protes Tuan, sebab Mesir selaku negara berdaulat, dan sebagai negara yang berdasarkan Islam, tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini adalah tradisi bangsa Mesir, dan tidak bisa diabaikan.”

Begitulah jawabannya, sehingga Duta Besar Belanda meninggalkan ruangan dengan kecewa. 

Naskah Perjanjian itu pun kemudian ditandatangani oleh PM Nokrashi selaku Menlu Mesir, dan Haji Agus Salim selaku Menteri Muda Luar Negeri RI, disaksikan Dr. Nazir Sutan Pamuntjak, Saudara Rasjidi, Abdul Mun’im, Sekjen Kemlu Mesir Dr. Kamil, dan saya sendiri.

Tidak dapat dibayangkan perasaan saya ketika menyaksikan upacara itu, tak terlukiskan dalam kalimat karena tidak akan pernah dapat sebanding dengan rasa yang menggelora. Lega dan syukur kepada Allah _subhanahu wa ta’ala_ karena Republik Indonesia pada akhirnya mendapat pengakuan _de jure_ dari dunia internasional. 

Tasbih dari Pahlawan Rifkabilen

ADA yang tidak boleh dilupakan, yaitu tentang seorang wartawan ulung dan seorang pahlawan kemerdekaan di pengasingan. 

Wartawan itu adalah M. Ali Attahir, seorang Palestina yang terkenal karena surat kabarnya yang bernama Assyura (Pembela Bangsa-bangsa Terjajah). Jauh sebelum naskah Perjanjian ditandatangani, sampai bertahun-tahun sesudahnya, ia selalu membantu perjuangan kita. Saudara  Rasjidi dapat menceritakan bantuan yang diberikan M. Ali Attahir ketika KBRI mengalami kesulitan semasa Belanda menggempur Republik dan menangkap Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, sejumlah menteri, dan pemuka Republik. Bantuan moral dan materialnya menunjukkan keyakinannya pada kesucian perjuangan bangsa Indonesia. Semoga Allah membalas semua jasanya.

Yang satu lagi adalah seorang pahlawan kemerdekaan di pengasingan, Amir Abdulkarim Al-Khattabi yang diberi suaka oleh Pemerintah Mesir. Menurut ceritanya, pada saat dia sedang dibawa ke Perancis dari Pulau Rignon untuk ditahan lebih lanjut, kapal yang membawanya stop sebentar di Portsaid, dan Walikota Portsaid atas permintaan Raja Farouk mengajaknya berkeliling kota. Akan tetapi, di balik acara keliling kota itu telah disiapkan oleh pejuang-pejuang Maroko dengan bantuan Mesir “penculikan” pahlawan Rifkabilen itu. Dengan “penculikan” itu, Amir Abdulkarim dapat dibebaskan dan dibawa ke Mesir. Pemerintah Mesir kemudian memberi suaka politik kepadanya. 

Peristiwa ini sangat menggemparkan dunia, khususnya Timur Tengah, sehingga Perancis kemudian menarik Duta Besarnya dari Kairo, padahal hubungan diplomatik Mesir dengan Perancis bukan main eratnya. Raja Farouk tidak mempedulikan hal itu, karena: “Sebagai Muslim, saya tidak bisa menolak permohonan orang yang meminta perlindungan. Apalagi jika dia seorang pejuang Islam yang gigih.”

Melalui cara yang berbelit-belit, dengan sedikit mengelabui petugas, akhirnya saya dapat menemui Amir Abdulkarim di tempat persembunyiannya. Suatu pertemuan yang mengesankan, penuh dengan hal-hal baru dan pengalaman-pengalaman yang dapat bermanfaat untuk perjuangan di Indonesia.

Ketika saya pamit, ia menyerahkan _haiyah_, seuntai tasbih, kepada saya. “Anakku, saya tidak punya apa-apa. Hanya tasbih ini yang selalu aku gunakan untuk menghitung kata-kata pujian dan permohonan kepada Allah selama 21 tahun aku di pengasingan Pulau Rignon. Dan kini, aku merdeka. Bawalah tasbih ini. Insya Allah, Tuhan akan menolongmu. Bukan tasbih ini yang menolong, akan tetapi kata-kata pujian dan doa (yang ditulisnya di buku notes saya) yang dihitung terus oleh tasbih ini, yang menyebabkan Allah menolongmu.”

Pada saat itu, saya tidak begitu memandang penting masalah tasbih dari pahlawan Rifkabilen ini. Baru kemudian hari saya mengerti makna kata-katanya. 

Perjanjian sudah ditandatangani. Semua merasa gembira dan bersyukur. Semua yang berurusan dengan Perjanjian itu, mulai dari para anggota Liga Arab, wartawan-wartawan Kairo, kaum intelektual di sana, begitu juga kalangan politik, memberikan dukungannya. 

Menarik untuk dianalisis, dukungan itu. Sebab kaum oposisi Partai Wafd pun memberikan dukungan hebat.

Satu hal yang dapat dikatakan tentang latar belakang bantuan dan dukungan itu, seperti diucapkan oleh Abdul Mun’im ketika ia berpidato di Istana Kepreidenan Yogya, tiga bulan sebelumnya, ikatan Islam inilah yang mendorong timbulnya dukungan kepada perjuangan bangsa Indonesia. Jiwa Islam mendidik kita untuk selalu menentang semua bentuk penjajahan yang pada dasarnya adalah perbudakan.

Seperti tertulis di awal karangan ini, terasa sekali hangatnya persaudaraan itu.

Mengaku Agen Rahasia

PESAWAT BOAC meninggalkan Kairo. Waktu itu tanggal 18 Juni 1947. Salah seorang penumpangnya adalah saya yang berangkat sendirian menuju Singapura.

Saat itu Haji Agus Salim, dengan gaya seorang jenderal, bicara: “Baswedan, bagi saya tidaklah penting apakah Saudara sampai di Tanah Air atau tidak. Yang penting dokumen-dokumen itu sampai di Indonesia dengan selamat!” 

Dokumen-dokumen yang saya bawa antara lain dari Raja Mesir, Farouk, dan dari Mufti Besar Palestina, Amin Al-Husaini.

Saya kemudian pamit dari beliau. Hanya satu yang kurang dari cara saya berpamitan, yaitu saya tidak memberi hormat (saluut) secara militer untuk melengkapi perintahnya yang seakan-akan diberikan oleh seorang komandan di medan pertempuran.

Sebulan sebelum beliau wafat, saya masih sempat ketemu dia di rumah putrinya, Yoyet, di Jalan Sagan,Yogyakarta. Dia masih saja keras kepala, mau menang sendiri, dan pintar bukan main. Masih persis seperti Haji Agus Salim yang saya kenal sejak zaman Belanda. Saya katakan waktu itu: “_Oude Heer_ memang kejam ketika memberi perintah saya pulang dari Mesir dengan dokumen perjanjian. Tega betul.” Dia cuma menjawab dengan senyum. Itulah tetangga, teman, dan guru saya dalam masalah-masalah politik. Semoga Allah membasahi terus makamnya dengan rahmat tak putus-putusnya.

Kesulitan demi kesulitan menimpa ketika saya berangkat ke Singapura. Pesawat terbang yang saya tumpangi mampir-mampir di Bahrain, Karachi, Calcuta, Rangon, baru akhirnya sampai di Singapura. Padahal tidak satu pun negeri-negeri itu memiliki perwakilan Indonesia. Bahkan nama Indonesia pun tidak dikenal. Saya terpaksa menggertak dengan mengaku agen rahasia undangan PM  Nehru, ketika tempat duduk saya akan dicatut untuk orang lain di Calcuta. Kapal terbang yang saya tumpangi dua kali diganti, dari kapal terbang air ke kapal terbang biasa.

Akhirnya sampai juga di Singapura. Tak seorang pun menjemput di airport, sedang uang sudah betul-betul menipis. Almarhum Mr. Oetojo yang waktu itu menjadi Sekjen Kementerian Luar Negeri RI, tidak tahu menahu tentang kedatangan saya, dan tidak pula menolong saya yang kekurangan uang untuk pulang. Ditambah lagi dengan berita bahwa Kabinet Sjahrir sudah demisioner.

Untunglah masalah ini diketahui oleh seorang dermawan yang terkenal di Singapura, Ibrahim Assegaf (almarhum) dan seorang teman bernama Ali Talib Yamani. Mereka kemudian membantu saya karena simpatinya kepada perjuangan Indonesia. Terutama Saudara Ali Talib Yamani inilah yang mengusahakan sehingga saya mendapat tiket kapal terbang setelah sekian hari tertahan di Singapura, sebab perwakilan Belanda di Singapura tidak mau memberikan visa.

Dengan berbagai akal, akhirnya pada tanggal 13 Juli 1947, pesawat KLM yang saya tumpangi tinggal landas menuju Jakarta.

Airport Kemayoran tanpak menegangkan. Penjagaan ketat, karena adanya ultimatum dari van Mook. Polisi Militer (dahulu Militer Polisi, MP) berkeliaran di mana-mana. Saya hanya bisa berdoa kepada Allah, memohon agar dapat lolos dari pemeriksaaan. Baru di saat itu saya teringat akan tasbih pemberian Amir Abdulkarim dan doa-doa yang diajarkannya.

Jari-jari tangan kanan menggenggam tasbih itu dan tangan kiri memegang aktentas catatan penting, sementara Naskah Perjanjian masih tetap di dalam sepatu! Aktentas itu masih aktentas lama yang saya bawa ke Kairo dengan kunci yang juga masih sering macet.

Entah bagaimana, aktentas, juga koper saya, lolos dari pemeriksaan. Petugas itu seperti sedang buta ketika saya lewat di depannya. Koper dan aktentas langsung saya sambar, untuk kemudian bergegas mencari taksi menuju kediaman Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifuddin.

“Alhamdulillah, aman!”, begitu kata saya sambil menaruh diri di jok mobil Austin yang meninggalkan Kemayoran.

Presiden Sukarno Terheran-heran

PAGI-PAGI tanggal 19 Juli 1947, saya terbang ke Yogyakarta bersama Perdana Menteri Amir Sjarifuddin untuk melaporkan kunjungan delegasi ke Mesir dan hasil-hasil yang dicapai, kepada sidang kabinet. 

Presiden Sukarno merasa heran sekali melihat semua dokumen masih tetap utuh dalam sampul yang dilak (dilem). Hal itu hanya mungkin terjadi jika tidak terkena pemeriksaan, padahal airport Kemayoran sedang dijaga ketat oleh Polisi Militer. “Bagaimana kok bisa begitu, Saudara Baswedan?” tanya Bung Karno. Saya jawab singkat saja: “Untung.”

Bersama dengan jawaban singkat itu ingatan saya melayang ke sebuah rumah kecil di luar kota Kairo. Kepada seorang pahlawan kemerdekaan di pengasingan yang bernama Amir Abdulkarim.

Siang itu juga saya langsung kembali ke rumah di Sala, dan bertemu keluarga. Begitu menggembirakan reuni keluarga itu, apalagi melihat putri yang baru saja dilahirkan beberapa hari sebelumnya. Bayi itu saya beri nama Luqyana yang berarti “Pertemuan Kita”.

Beberapa tahun yang lalu, kepada seorang pejabat tinggi di pemerintahan Orde Baru saya usulkan agar kepada orang-orang di Mesir yang berjasa dalam masalah Perjanjian Persahabatan, selagi mereka masih hidup, diberikan penghargaan. Paling sedikit pemerintah kita mengirim undangan agar mereka hadir pada upacara peringatan 17 Agustus di Istana Negara. Usul itu diterima baik. Akan tetapi, sesudah sekian tahun, setelah orang-orang yang berjasa itu menjadi almarhum, usul itu tidak juga dilaksanakan.

Sumber: Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim, _Seratus Tahun Haji Agus Salim_, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1984, halaman 140-151.


Tinggalkan Komentar