telusur.co.id -Saat ini adalah momentum terbaik bagi Presiden Prabowo Subianto untuk mendorong dan menggerakkan kembali reformasi hukum dan peradilan dalam arti menata kembali sistem hukum dan peradilan agar benar-benar adil, transparan, akuntabel, dan meningkatkan perlindungan hak asasi manusia, sebagi response terhadap berbagai isu ketidakpuasan rakyat terhadap penanganan praktik korupsi dan markanya penyalahgunaan jabatan di lemabaga penegak hukum.
Dalam kaitan itu, salah satu isu yang terus bergulir adalah mengenai rencana Pembentukan Komite Reformasi Polri oleh Presiden seperti yang dilansir berbagai media cetak dan elektronik. Isu ini mencuat setelah para tokoh dari Gerakan Nurani Bangsa (GNB) bertemua Presiden di Kompleks Istana Kepresidenan pada hari Kamis tanggal 11 September 2025 lalu.
Menanggapi rencana pembentukan Komite Reformasi Polri tersebut, Hermansyah Direktur Eksekutif Lembaga Eksaminasi Hukum Indonesia mengemukakan “pada prinsipnya gagasan untuk membentuk Komite Reformasi Polri itu cukup tepat dan positif, apabila dilakukan tidak hanya semata-mata sebagai response Presiden terhadap tuntutan dari berbagai pihak, tetapi juga harus berbasis pada data dan fakta yang bersumber dari hasil evaluasi menyeluruh, dan hasil penelitian/kajian mengenai lembaga Polri dan reformasi Polri yang tersebar diberbagai lembaga”.
Selain itu, pembentukan Komite Reformasi Polri itu harus sesuai dengan kerangka dan kebijakan reformasi hukum dan peradilan. Artinya Komite Reformasi Polri itu tidak boleh berada diluar kerangka dan kebijakan reformasi hukum dan peradilan yang ada, ujar mantan Staf Ahli Komisi Yudisial tersebut.
Senada dengan itu St. Laksanto Utomo, Dekan dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya mengatakan “pembentukan Komite Reformasi Kepolisian itu memang harus memperhatikan hasil penelitian/kajian terutama mengenai konsep reformasi kepolisian yang suadah ada dan tersebar di berbagai lembaga seperti: Perguruan Tinggi, Kompolnas, BPHN, NGO, dan Lembaga Kajian yang relevan. Jadi perlu mengkombinasikan antara tuntutan yang ada sekarang dengan hasil penelitian/kajian terkait. Ini penting untuk memastikan rencana pembentukan Komite Reformasi Polri itu berada kerangka sistem kebijakan reformasi hukum dan peradilan”.
Lebih lanjut Laksanto berpendapat dalam konteks reformasi hukum dan peradilan di negara ini sudah banyak lembaga yang dibentuk pasca reformasi 1998 dan program yang dilakukannya, tapi realitasnya hasil yang dicapai masih jauh dari yang diharapkan. Padahal setiap tahun uang negara sudah keluar untuk membiayai lembaga dan programnya tersebut. Kondisi ini patut menjadi catatan kita, agar dalam membentuk lembaga apapun namanya harus jelas argumentasi yuridis, argumentasi sosiologis, dan argumentasi filosofisnya.
Apalagi jika mengacu pada teori Friedman yang mencakup 3 subsistem hukum yaitu legal structure, legal substance dan legal culture, maka dalam kaitanya dengan rencana reformasi Polri, haruslah jelas dan terang dulu apa sebenarnya yang menjadi fokusnya, apa yang menjadi prioritasnya, dan apa hal utama hendak direformasi di institusi Polri itu ?
Terlepas dari alasan apapun, rencana Presiden untuk membentuk Komite Reformasi Polri patut kita apresiasi, apabila kebijakan tersebut menjadi solusi terbaik, efektif dan efisien. Yang terpenting bagi rakyat adalah kehadiran Komite Reformasi Polri itu sungguh-sungguh membawa perubahan signifikan bagi institusi dan insan Polri, sehingga Polri benar-benar menjadi institusi dan insan yang benar-benar tulus melayani, mengayomi, dan melindungi rakyat tanpa terkecuali. Kita berharap anggota Komite Reformasi Polri yang hendak dibentuk oleh Presiden adalah figur-figur berintegritas, kompeten, dan berani, yang berasal dari unsur perguruan tinggi, unsur praktisi hukum/mantan praktisi hukum, dan unsur masyarakat sipil. (Fie)