Rangkap Jabatan di Kabinet Langgar UU dan Semangat Pemerintahan Demokratis - Telusur

Rangkap Jabatan di Kabinet Langgar UU dan Semangat Pemerintahan Demokratis


Oleh: Muslim Arbi

RANGKAP jabatan dalam pemerintahan di larang dalam UU no 39 tahun 2008. Dalam iklim demokrasi untuk menata pemerintahan yang demokratis merangkap jabatan antara ketua Umum Parpol dan sekaligus adalah menteri dalam jabatan pemerintahan diperlukan kesungguhan hati dan semangat tidak mencampuradukan antara kepentingan negara dan pemerintahan di satu pihak dan kepentingan politik dan politis di pihak lain. 

Rangkap jabatan menciderai semangat reformasi dan semangat demokrasi dalam hal check and balance. Dan ini harus dihentikan.

Pada periode pertama pemerintahan Jokowi 2014-2019; di kabinet ada yang konsekwen tidak rangkap Jabatan. Seperti Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, langsung mundur dari ketua Umum Partai Hanura selanjutnya dipimpin oleh Oesman Sapta Odang (OSO). Wiranto saat itu sebagai Menkopolhukam

Tidak demikian halnya dengan Partai Golkar di bawah pimpinan Airlangga Hartarto pada periode (2014-2019) sekaligus sebagai menteri perindustrian. Jabatan rangkap sebagai Ketua Umum Partai dan Menteri di kabinet berlanjut pada periode ke 2 Jokowi. Kini Airlangga selain ketua Umum Golkar juga sebagai Menko Perekonomian.

Selain Airlangga, ada Ketua Umum Gerindra Prabowo Subinanto dan Suharso Monoarfa Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dan Suharso Menteri Bappenas.

Jika dilihat dari konsistensi antara kepentingan politik dan pemetintahan, mestinya ketua umum Partai yang telah duduk di kabinet itu mesti memilih dan memilah. Antara pengabdian kepada bangsa dan negara di satu pihak saat berada di kabinet, dan muatan-muatan kepentingan politik sebagai Ketua Umum Partai.

Rangkap jabatan ini tidak sehat dalam iklim demokrasi dan konsitusi. Semestinya seseorang yang telah masuk dalam kabinet di pemerintahan, da segera melepaskan jabatan-jabatan politis yang disandang sebelumnya. Jika tidak sulit dipisahkan antara posisi sebagai Mentri atau Ketua Partai. 

Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan harus memberi opsi pada menteri-menteri di kabinetnya. Kalau di pemerintahan, mesti lepaskan jabatan politisnya sebagai ketua umum l. Jika tidak, publik anggap ketua Umum Partai yang duduk di Kebinet itu semacam "piaraan" untuk kepentingan tertentu pada saat tertentu. 

Untuk semangat Demokrasi dalam pemerintahan dan tidak mencampuradukkan antara kepentingan dalam pemerintahan maka lahirlah UU no 39 tahun 2008. Undang undang itu melarang rangkap jabatan. 

Bukankah dalam pengabdian kepada bangsa dan negara mesti ditempuh dengan rangkap jabatan? Jabatan politis sebagai ketua Umum Partai adalah pengabdian lain kepada Bangsa dan Negara sebagai politisi. Jabatan di kabinet (pemerintahan) adalah bentuk pengabdian kepada negara. Dua hal ini tidak bisa dicampuraduk. 

Ketidakkonsitenan Jokowi membiarkan jabatan rangkap di pemerintahan dapat dianggap sebagai tindakan langgar Undang undang. Dan dianggap memiliki kepentingan politis dalam pemerintahan nya. Dan ini dianggap mematikan demokrasi. 

 

Penulis adalah pengamat sosial politik


Tinggalkan Komentar