SMRC: 47% Publik Menilai Kurang Pantas Perilaku Jokowi pada PDI Perjuangan - Telusur

SMRC: 47% Publik Menilai Kurang Pantas Perilaku Jokowi pada PDI Perjuangan

Surnas SMRC periode 29 Oktober - 5 November 2023 “Pantas atau Tidak: Jokowi Kader PDIP, Tidak Jelas Mendukung Calon Presiden PDIP?”

telusur.co.id - 47 persen publik menilai kurang atau tidak pantas Jokowi sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang telah diusung menjadi walikota, gubernur, dan presiden, namun sekarang tidak jelas memberi dukungan pada Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan. Yang menyatakan sikap itu pantas hanya 30 persen dan tidak jawab 23 persen.
 
Demikian hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 29 Oktober - 5 November 2023. Hasil survei ini dipresentasikan Prof. Saiful Mujani dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Meninggalkan PDIP di Mata Publik” yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 23 November 2023.
 
Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/sy4vBi7jh0Q
 
Dalam survei tersebut, responden diberi penjelasan bahwa Jokowi adalah kader PDI Perjuangan dan didukung menjadi walikota, gubernur, dan presiden, namun sekarang dia tidak jelas memberi dukungan pada Ganjar sebagai calon presiden yang diusung PDI Perjuangan. 

Apakah sikap Jokowi terhadap PDI Perjuangan itu pantas, kurang pantas, atau tidak pantas sama sekali? Ada 30 persen yang menilai hal tersebut pantas, 39 persen menyatakan itu kurang pantas, dan 8 persen menganggap itu tidak pantas sama sekali. Masih ada 23 persen yang tidak menjawab.
 
Menurut Saiful, data ini menunjukkan dukungan moral dari masyarakat tidak kuat atau cenderung negatif terhadap sikap Jokowi yang tidak secara eksplisit berupaya memperjuangkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang telah secara resmi diputuskan oleh partainya sendiri. 

Bahkan dalam deklarasi pencalonan Ganjar tersebut, Jokowi hadir. Jokowi juga pernah secara verbal menyatakan menitipkan Ganjar untuk dimenangkan. Namun, menurut Saiful, seharusnya tindakan dan ucapan itu tidak disertai dengan Gibran maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo.
 
Survei ini juga memotret sikap publik terhadap tindakan politik Gibran. Dalam pertanyaan penelitian disampaikan bahwa Gibran Rakabuming Raka adalah kader PDI Perjuangan. Dia menjadi walikota karena dicalonkan oleh PDI Perjuangan. Tapi kemudian dia maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, tidak mendukung Ganjar sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan. 

Apakah sikap Gibran terhadap PDI Perjuangan itu pantas, kurang pantas, atau tidak pantas sama sekali? Ada 27 persen yang menyatakan pantas, 40 persen menganggap itu kurang pantas, dan 10 persen menjawab hal itu tidak pantas sama sekali. Sementara 23 persen tidak menjawab atau tidak tahu.
 
Secara umum, lebih banyak yang menyatakan sikap Jokowi dan Gibran terhadap PDI Perjuangan, di mana Jokowi tidak jelas memberi dukungan pada Ganjar atau Gibran yang maju sebagai Cawapres Prabowo, kurang pantas dilakukan.  
 
Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. 

Sampel sebanyak 2400 responden dipilih secara acak (stratified multistage random sampling) dari populasi tersebut.  Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1939 atau 81%. Sebanyak 1939 responden ini yang dianalisis. 

Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 2,3% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Waktu wawancara lapangan 29 Oktober - 5 November 2023.
 
Lebih jauh Saiful menjelaskan bahwa,sebagian perilaku politik tidak hanya berkaitan dengan boleh dan tidak boleh. Namun juga terkait dengan patut dan tidak patut atau pantas atau tidak pantas dan wajar atau tidak wajar. Biasanya politikus menghitung tentang kepantasan tersebut. Karena itu, apakah suatu tindakan itu pantas atau tidak pantas menjadi sesuatu yang penting diketahui oleh politisi.
 
Saiful menyampaikan bahwa, Joko Widodo adalah seorang politikus yang berkarir dari bawah sampai ke puncak jabatan politik.  Jabatan politik melalui pemilihan rakyat (elected official) yang paling rendah adalah bupati atau walikota. Dan jabatan tertinggi adalah presiden. Jokowi masuk sebagai elected official dari posisi terendah (walikota) sampai yang tertinggi (presiden) yang didukung oleh PDI Perjuangan.
 
“Karena itu, dari ujung ke ujung, Jokowi adalah PDI Perjuangan banget,” ujar Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.
 
Dan kebetulan dalam rentang waktu yang panjang itu, pemimpin PDI Perjuangan adalah Megawati Soekarnoputri. Saiful melihat perilaku dan sikap Megawati tidak banyak yang berubah dalam menyikapi pelbagai isu.
 
Menurut Saiful, perilaku Jokowi sebagai kader PDI Perjuangan yang tidak punya sikap yang definitif terhadap calon presiden dari partainya sendiri adalah sesuatu yang unik.
 
“Bahkan semakin hari semakin banyak yang yakin bahwa Jokowi tidak mendukung Ganjar, kader partainya sendiri, sebaliknya, justru dia terlihat lebih mendukung lawan atau kompetitornya selama dua kali pemilihan presiden. Itu unik. Di dunia, mungkin hal seperti itu hanya terjadi di Indonesia. Setidaknya saya belum tahu ada fenomena seperti ini terjadi di tempat lain,” kata Saiful.
 
Saiful mengatakan bahwa langkah politik Jokowi mendukung Prabowo, bukan mendukung Ganjar yang diputuskan oleh partainya menjadi calon presiden, itu seperti Obama mendukung Donald Trump di ujung kekuasaannya. Menurut dia, itu sebuah langkah politik yang tak terbayangkan bagi masyarakat politik di Amerika Serikat. Namun di Indonesia hal itu terjadi.
 
“Tidak kebayang bagaimana seorang Obama yang sudah dua periode menjadi presiden, kemudian partainya memutuskan calon presiden berikutnya adalah Hillary Clinton. Namun Obama tidak mendukung Hillary, malah mendukung Donald Trump. Itu tak terbayang dalam politik Amerika. Namun di Indonesia hal seperti itu terjadi,” papar Prof Saiful.
 
Lebih jauh Saiful menyatakan, walaupun Jokowi tidak pernah menyatakan secara langsung pilihan politiknya. Namun dia merestui anaknya menjadi calon wakil presiden Prabowo yang merupakan lawan dari calon presiden yang diusung oleh PDI Perjuangan.
 
“Kalau mau bicara positif, itu unik. Kalau mau pakai istilah yang lebih kritis, hal itu menyimpang dari pakem-pakem perilaku politik elit,” tegasnya.
 
Di Indonesia, lanjut Saiful, pindah politik itu biasa, namun tidak dalam kasus seperti yang terjadi pada Jokowi, di mana pelakunya sedang berada di puncak kekuasaan seorang presiden. Saiful menyatakan sejauh ini belum ada jawaban yang meyakinkan kenapa hal tersebut terjadi.
 
Hal yang sama terjadi pada kasus Gibran Rakabuming Raka. Gibran menjadi Walikota Solo melalui dukungan PDI Perjuangan melalui proses yang istimewa. Saiful menceritakan bahwa Sebelumnya Gibran maju, PDI Perjuangan Solo sudah memiliki nama lain untuk menjadi calon Walikota. Namun Jokowi datang meminta agar PDI Perjuangan memajukan Gibran. 

Melalui hak prerogatif Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, Gibran akhirnya diputuskan menjadi calon walikota. Ini, menurut Saiful, menunjukkan PDI Perjuangan memberi keistimewaan pada Gibran. Namun kemudian Gibran maju sebagai calon wakil presiden Prabowo dan tidak membantu calon presiden yang ditetapkan partainya sendiri. (ari)


Tinggalkan Komentar