telusur.co.id - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Borobudur, Faisal Santiago mengingatkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perbaikan Kedua UU No. 30 Tahun 2002, khususnya mengenai Operasi Tangkap Tahun (OTT). 

Jika tidak mengacuh pada UU KPK, maka berpotensi tidak sah secara administrasi dan bermasalah karena dalam melakukan penyadapan, penangkapan dan penggeledahan tanpa seizin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Tak itu saja, apa yang dilakukan oleh penyidik KPK juga rawan digugat dan di praperadilan kan. "Kalau dari segi administrasi bermasalah. Kalau dia (pihak yang dirugikan) mau, ya mengajukan praperadilan. Tapi masalahnya semangat pemberantasan tindak pidana korupsi lain cerita," sambungnya.

Menurutnya,  status alat bukti yang diperoleh tanpa melalui prosedur sesuai UU,  menurut hukum acaranya itu tidak sah.

Lebih jauh, diapun mempertanyakan OTT terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politisi PDI-Perjuangan. Ada yang menyatakan operasi ini tidak sah karena masih merujuk pada Undang-undang (UU) yang lama Nomor 30 Tahun 2002. Padahal  UU  Nomor 19 tahun 2019 tentang Perbaikan Kedua UU No. 30 Tahun 2002 sudah berlaku.

Seperti diketahui,  KPK  melakukan OTT terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan (WS) dan pihak yang ikut tertangkap dan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus jual beli jabatan Pergantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR periode 2019-2024 yang menjerat Harun Masiku dan Saeful Bahri sebagai penyuap serta Agustiani Tio Fridelina yang menerima suap. 

Sementara itu, mantan Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung, Chairul Imam menyatakan KPK tidak bisa menggunakan UU yang lama nomor 30 tahun 2002 dalam melakukan OTT, karena UU Nomor 19 tahun 2019 sudah diundangkan dan harus menjadi dasar prosedur saat melakukan penyelidikan hingga penyidikan seperti penyadapan dan penangkapan serta penggeledahan. 

Lebih lanjut menurut Chairul, OTT KPK terhadap WS dan sejumlah pihak yang ditetapkan tersangka, sudah harus menggunakan UU KPK yang baru hasil revisi. Karena surat perintah penyidikan (Sprindik) ditandatangani oleh pimpinan KPK di era Agus Rahardjo Cs pada 20 Desember setelah UU KPK hasil revisi telah resmi diundangkan. 

"Ya nggak bisa dong, orang UU yang baru sudah ada, kenapa pakai UU yang lama. Kalau dia (pimpinan KPK) menandatangani itu (Sprindik), mestinya  sudah memakai atau menggunakan UU yang baru hasil revisi," kata Chairul di Jakarta saat dihubungi, Selasa (14/1).

Diketahui, KPK sudah sejak lama mengintai WS dalam penyelidikan sejak Agustus 2019 lalu, pada saat peralihan dari UU lama Nomor 30 Tahun 2002 ke UU Nomor 19 tahun 2019. Hal tersebut berdasarkan yang disampaikan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa penyelidikan terhadap kasus yang menjerat WS sudah berjalan pada saat dia masih menjabat. 

"Kalau memang itu sudah target lama, itu masalah administrasi aja, karena peralihan dari UU lama ke UU KPK yang baru. Dan secara administrasi alat bukti tidak sah, tapi tergantung nanti bagaimana pengadilan, dan hakim mempunyai kekuatannya adalah hukum bisa menggali," tegasnya. [ham]

Laporan Firardi