telusur.co.id - Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh menyebut, saat ini kita tengah menghadapi dua persoalan yang bukan saja belum selesai tetapi juga bisa berlanjut dan memberi dampak lebih buruk dalam kehidupan bersama kita. Pertama, persoalan polarisasi sosial dan kebencian yang merupakan dampak dari kontestasi politik yang menggunakan eksploitasi politik identitas di berbagai lapisannya. Kedua, situasi pascapandemi Covid-19 yang tidak hanya telah mendisrupsi beberapa sendi kehidupan sosial dan kesehatan individu namun juga menghadirkan krisis keamanan dan pangan dunia.
Terkait Polarisasi Sosial, menurutnya, menuju momen kontestasi nasional, yakni Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2024, kita dihadapkan pada situasi yang semakin dinamis dari waktu ke waktu. Sebuah instrumen sosial-politik yang ditujukan guna mendapatkan pemimpin dan pemegang kebijakan yang akan membawa arah bangsa dan negara lima tahun ke depan. Pemilihan umum ini merupakan keharusan sebagai wujud dari praktik demokrasi eleekonomi danSemua pihak mufakat bahwa Pemilu adalah satu-satunya instrumen peralihan kekuasaan yang sah dalam sistem negara demokrasi.
"Persoalannya, satu dasawarsa terakhir ini kita melihat hadirnya proses politik yang rawan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada yang terasa kebablasan dalam praktik politik kekuasaan kita. Semua pihak seperti merasa sah melakukan segala cara untuk memenangkan ruang kontestasi itu, " ujar Surya Paloh dalam pidatonya, usai dikukuhkan gelar Doktor Honoris Causa, Senin (25/7/2022).
Padahal, kontestasi semestinya bersandar penuh pada kesadaran untuk meningkatkan kualitas kehidupan republik di mana konstitusi adalah pegangan sekaligus panduannya. Inilah nilai utama yang harus dipegang oleh semua pihak yang terlibat sehingga pemilu menjadi perwujudan upaya memperbaiki kehidupan bersama secara berkelanjutan.
Eksploitasi politik identitas hanya akan menciptakan fragmentasi sosial yang mengancam bahkan merongrong eksistensi dan fondasi negara bangsa ini. Praktik ini sangat manifes dan bahkan sangat ekspresif; ini adalah sebuah situasi zaman yang berkembang sebagai lawan tanding globalisasi yang general untuk mereproduksi simbol-simbol yang paling primitif dalam relasi sosial politik peradaban manusia yaitu relasi keluarga, suku, atau agama.
"Pengalaman dua pilpres terakhir cukup menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kompetisi dalam pemilu bukanlah segalanya. Kompetisi hanyalah wadah bagi kita untuk terus-menerus mencari yang terbaik dan menjadi lebih baik. Kiranya, terlalu mahal pertaruhan yang dilakukan jika hanya untuk berkuasa lima hingga sepuluh tahun, kita mengorbankan sesuatu yang lebih besar, yakni bangunan kebangsaan yang telah berdiri hampir satu abad ini, " tegasnya.
Lanjut Surya Paloh, politik identitas sesungguhnya tidaklah selalu negatif. Dalam sejarahnya, politik identitas lahir dari perjuangan melawan diskriminasi dan ketidakadilan. Dalam sebuah forum nasional di Jakarta, Prof. Yudi Latif menyampaikan bahwa ada tiga bentuk politik identitas. Ada yang good, bad, dan ugly.
Politik identitas disebut baik (good) ketika ia menjadi ciri bagi sebuah partai atau kelompok politik. Setiap kelompok memang akan melahirkan identitasnya masing-masing. Setiap kelompok bahkan harus melahirkan identitasnya. Kelompok politik yang baik adalah kelompok yang mampu membangun identitas diri yang kemudian menjadi pembeda antara ia dengan kelompok yang lain. Namun identitas itu tidak membuatnya bersikap eksklusif atau tidak mau mengenal yang lain. Sebaliknya, mereka tetap mampu bersikap inklusif dan bersedia berinteraksi serta siap mengenal yang berbeda dengannya. Kelompok ini menyadari bahwa manusia adalah agen multi-identitas.
Ada identitas suku, organisasi, agama, politik, hingga identitas kebangsaan. Orang Arab tidak semua beragama Islam. Sebagaimana juga yang India tidak semua beragama Hindu. Sivitas Akademika Universitas Brawijaya tidak semua berasal dari Jawa Timur atau beragama Islam. Demikian juga dengan partai dan kelompok politik lainnya. Semua anggotanya pasti memiliki identitas yang beragam dan tidak tunggal.
"Nah, politik identitas yang buruk atau tidak baik (bad) adalah kebalikan dari yang good tadi. Mereka bersikap ekslusif dan tidak mau mengenal yang lain. Mereka membatasi diri dengan siapa mereka akan berteman atau bekerja sama. Mungkin mereka tidak mengganggu namun cara pandang dan berpikirnya menjadi sempit. Melihat sesuatu selalu dari sudut pandangnya, kurang empati," bebernya.
Yang menjadi masalah adalah politik identitas yang busuk (ugly). Ia bukan hanya buruk atau tetapi juga merusak. Praktik politik semacam ini tidak hanya picik, akan tetapi juga membodohi. Ia berdiri di atas kesadaran bahwa identitasnyalah yang paling unggul dan kelompoknyalah yang paling benar. Maka, identitas lain tidak hanya harus menjadi nomor dua akan tetapi juga harus dikalahkan atau ditiadakan, jika perlu. Paham dan praktik politik semacam ini, selain tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, juga membuat kita lupa seolah manusia adalah makhluk yang hanya memiliki satu identitas belaka. Kerusakan model ini pada gilirannya akan membawa politik identitas menjadi politik kebencian.
Praktik politik semacam ini memang tidak begitu saja muncul dari ruang kosong. Sebagaimana dalam sejarahnya, politik identitas lahir dari situasi politik yang diskriminatif dan dipandang penuh ketidakadilan. Demikian pula di Tanah Air. Mungkin benar bahwa ketimpangan masih menjadi masalah bangsa ini. Kita tentu tidak asing dengan data yang menyebutkan bahwa 60 persen aset nasional negeri ini dikuasai hanya oleh satu persen penduduknya.
"Sebuah kenyataan yang tidak ideal dan tidak perlu dibantah, saya kira. Karena pada kenyataannya, soal ini masih menjadi PR kita bersama. Hanya saja, menjadikan kenyataan ini sebagai dalih bagi penggunaan praktik politik identitas yang ugly, tentu menjadi sebuah kecerobohan, " terangnya.
Terlalu mahal harga yang harus dipertaruhkan jika hanya untuk mendapatkan kemenangan di pemilu kita harus mengorbankan bangunan kebangsaan yang berpuluh tahun kita jaga bersama ini. Terlalu pendek akal kita dan terlalu tinggi nafsu kita, jika untuk memenangkan pemilu kita harus mempertaruhkan persatuan dan kesatuan bangsa ini. Bagi saya pribadi, lebih baik tidak ada pemilu jika itu hanya memberikan konsekuensi pada perpecahan bangsa ini.
Selain itu aspek paska Covid-19, menurutnya tidak hanya menyerang aspek kesehqtan tapi jugq ekonomi, dan sosial. (Fie)