Oleh : Hariqo Wibawa Satria  (Penulis Buku #SMTmedsos)

 

Telusur.co.id - Saya bukan alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, bukan anggota Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, PERSIS, Al-Washliyah, Al-Irsyad, dan ormas keagamaan manapun. 
 
Saya alumnus lembaga pendidikan yang berdiri tahun 1926, disana diajari agar tidak fanatik pada seseorang juga kelompok. Berkat izin Allah SWT, alumnus pondok saya pernah menjadi Ketua Umum PB NU selama 38 tahun (KH. Idham Chalid dan KH Hasyim Muzadi), Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 10 tahun (KH. Din Syamsuddin), dan  dan Ketua Umum PB HMI empat tahun (Prof. Dr. Nurcholish Madjid). Jumlah tahun itu bisa bertambah.

Dua hari lalu atau Selasa (12 Nov 2019), saya membaca tulisan Mas Kholid Syeirazi (Sekretaris Umum PP Ikatan Sarjana NU), judulnya “UAS DI DIUNDANG JS UGM, DITOLAK REKTORAT, DIBERI KARPET MERAH UII”. Isinya menggelitik saya, utamanya terkait UII Yogyakarta, kampus asal Mahfud MD, M. Busyro Muqoddas, Artidjo Alkostar dan Hamid Basyaib ini.

Mas Kholid Syeirazi (MKS) punya hak tidak suka sama Ustaz Abdul Somad (UAS), MKS juga berhak tidak suka pada Jamaah Salahuddin UGM (JS) dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta karena mengundang UAS. Mustahil banyak organisasi mengundang UAS jika kapasitas UAS biasa-biasa saja. 

MKS menulis “UII itu DNA-nya tidak terlepas dari Masyumi”, di Paragraf ketiga, MKS menulis “Harus jujur diakui, eks-Masyumi (sebagian besar) sampai sekarang tidak ikhlas kehilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta”.

Tidak dijelaskan MKS, Masyumi mana yang dimaksud. Apakah apakah MIAI 1937 zaman Belanda, Masyumi 1943 zaman Jepang, atau Partai Politik Masyumi 7 November 1945, karena ini berbeda. Yang cukup berbahaya dari tulisan MKS yaitu paragraph terakhir. Dibumbui kata “karpet merah”, pembaca jika tidak mawas bisa terjebak pada pemahaman bahwa JS dan UII Yogyakarta mendukung khilafah, kemudian diberi label anti Pancasila, NKRI, dll. 

Ini seperti mengatakan kemerdekaan Indonesia hadiah Jepang, atau ketika seorang Rektor yang alumnus GMNI membatalkan acara seorang ustaz, lalu kita menyimpulkan “ah pantas dia kan GMNI, DNA-nya jelas”. Seakan benar, tapi salah kaprah, simplifikasi. 

Silahkan MKS meneliti seluruh tokoh yang diundang UII Yogya dari tahun 1945 – 2019, lalu cocokkan sanadnya, cek juga kurikulum UII dan kiprah alumninya. Jangan hanya karena UII Yogya mengundang UAS, MKS langsung mendorong pemahaman bahwa UII Yogya menjalankan agenda politik Masyumi. Mengapa MKS tidak berbaik sangka bahwa UII Yogya punya tujuan yang sama dengan dirinya, hanya caranya merangkul bukan terus-terusan memukul. 

Bukankah Gus Baha juga sering pake banget mengisi kajian tematik di Masjid Ulil Albab UII Yogyakarta, kalau itu bagaimana sanadnya Pak MKS?. Apakah Rektorat UII Yogya tidak khawatir mahasiswa jadi NU, Islam Nusantara?, sebesar biji zarahpun saya 1000 persen yakin tak ada pikiran begitu. UII Yogya itu tidak bisa dikasih label ormas apapun. 

Saya melihat beberapa aktivis sering bilang pentingnya kolaborasi dalam meredam propaganda khilafah dan bibit radikalisme. Namun dalam prakteknya, mereka menyerang membabi buta lembaga atau pihak yang punya jam terbang jauh lebih tinggi darinya dalam urusan itu. Mereka menganggap manusia kalau sudah A, akan A terus sampai ia mati. Meminjam istilah Yudi Latif, ada banyak inkonsistensi, antara apa yang diwacanakan (voices) dan pilihan (choices) tindakan.

Terkait Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, piagam Jakarta, HMI perlu saya jelaskan beberapa kronologi:

22 JUNI 1945: Piagam Jakarta yang terkenal dengan tujuh kata itu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, disepakati dan ditandatangi oleh sembilan tokoh: Soekarno, Bung Hatta, AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wachid Hasyim, Mohammad Yamin.

8 JULI 1945: Sekolah Tinggi Islam (UII) berdiri pada 8 Juli 1945 di Jakarta, Ketua Panitia Perencana Pendirian STI: Mohammad Hatta (Ketua Perhimpunan Indonesia/Indische Vereeniging 1926-1931, Alumnus Universitas Erasmus Rotterdam Belanda). Pertanyaan saya ke MKS, apakah Bung Hatta orang Masyumi?. Jelas tidak. 

Pendiri STI lainnya: KH. Wachid Hasyim (PB NU, Ketua Muda Masyumi), KH. Mas Mansoer (Muhammadiyah dan Chuuo Sangi In), Mr Suwandi (Kantor Pengajaran Jakarta), S. Mangoensaskoro (Kantor Pengajaran Jakarta), Dr. Satiman Wirosandjojo (Cendekiawan Solo), Dr. Soekiman Wirjosandjojo (Cendekiawan Yogyakarta), Mohammad Natsir (Masyumi), KH. Farid Maroef (Ulama Yogyakarta), KH. Imam Ghozali (Ulama Solo), KH. Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah dan Shuumubu), dll.

Dosen STI saat itu antara lain: Bung Hatta (Ilmu Ekonomi), H. Agus Salim (Sejarah Agama dan Agama Islam), KH. Mas Mansur (Alquran), H. M. Rasjidi (Pengetahuan Filsafat), Mr. Ali Boediardjo (Kesusilaan), dan Mr. Sutan Takdir Alisyahbana (Bahasa Indonesia) dan banyak lagi. 

17 AGUSTUS 1945: Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, ditandatangi keduanya atas nama bangsa Indonesia.

18 AGUSTUS 1945: Bung Hatta yang juga Ketua Perencana Pendirian STI (UII) memohon kepada Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Teuku M. Hasan, dan Kasman Singodimedjo untuk rapat sebelum sidang resmi PPKI. Rapat memutuskan penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta yaitu: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Posisi KH. Wachid Hasyim tidak di ruangan sidang, melainkan dalam perjalanan ke Jombang. Beliau menghindari konflik dan menganggap jika pun ada keputusan sifatnya sementara, begitu penjelasan Prof. Dr. KH. Yudian Wahyudi (Rektor UIN Sunan Kalijaga). Menurut Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, kepulangan KH. Wachid Hasyim ke Ponpes Tebu Ireng, Jombang untuk berkonsultasi kepada KH. Hasyim Asyari terkait penghapusan Piagam Jakarta. Setelah malamnya shalat tajahud, pada pagi harinya (bisa 18, atau 19 Agustus) KH. Hasyim Asyari mengatakan kepada putranya KH. Wachid Hasyim bahwa ia setuju tujuh kata tersebut dihapuskan. 

Sebelum 18 Agutus 1945, posisi dan pendirian semua tokoh organisasi Islam sama, yaitu menolak penghapusan tujuh kata, namun demi keutuhan Indonesia yang diperjuangkan diatas penderitaan rakyat, mereka ikhlas tujuh kata itu dihapus. 

Seandainya KH. Wachid Hasyim hadir dalam pertemuan dengan Bung Hatta tersebut, saya yakin beliau sangat setuju dengan penghapusan tujuh kata itu, karena rekam jejak beliau untuk kepentingan bersama mengagumkan. Alfatihah untuk seluruh beliau, semoga kita mampu meneladani beliau yang lebih mengedepankan kepentingan Indonesia, ketimbangan menonjolkan golongannya. Apakah tokoh-tokoh islam yang hampir semuanya juga pendiri UII Yogyakarta itu marah dan dendam sama Bung Hatta?, tidak.

10 APRIL 1946: Sekolah Tinggi Islam (UII Yogya sekarang) dibuka di Yogyakarta. Hadir Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta. Upacara pembukaan di Ndalem Pengulon Yogyakarta. Dua tokoh didaulat memberikan kuliah umum yaitu, Bung Hatta dengan judul “Sifat Sekolah Tinggi Islam”, dan oleh KH.R. Hadjid tentang “Ilmu Tauhid”. Jadi STI maupun para tokoh Islam sudah ikhlas dengan penghapusan tujuh kata, buktinya Bung Hatta yang memprakarsai penghapusan tujuh kata didaulat memberikan kuliah umum. STI itu ya di dalamnya tokoh-tokoh (Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan direstui organisasi Islam lainnya yang hampir 185-an jumlahnya masa itu)

5 FEBRUARI 1947: HMI berdiri di STI, diprakarsai Lafran Pane (25 th), adik kandung Sastrawan Sanusi Pane dan Armijn Pane. Ketiganya anak dari Sutan Pangurabaan Pane, seorang wartawan, sastrawan dan penulis novel Tolbok Haleon. 

Lafran ini orang batak, bukan alumnus pesantren, tapi petinju jalanan, seniman. Ia mendirikan HMI agar mahasiswa terlibat aktif mempertahankan Indonesia dari agresi militer Belanda, ia dirikan HMI bukan karena dirinya ingin mengajari mahasiswa tentang Islam, tapi justru karena ia sendiri ingin belajar Islam bareng-bareng dengan teman-temannya. Tujuan pendirian HMI: mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.

Tidak ada dukungan Masyumi dalam pendirian HMI. HMI bahkan didirikan pada jam kuliah di sebuah ruangan kelas, tanpa pengeras suara, penerima tamu, tanpa spanduk, makanan ringan, tari-tarian, sambutan tokoh-tokoh, ini murni inisiatif mahasiswa. Boleh dibandingkan dengan pendirian organisasi mahasiwa lain yang didukung ormas keagamaan besar. Hanya dua syarat masuk HMI sampai sekarang: Islam dan mahasiswa. Islamnya boleh aliran apa saja. Lafran Pane juga menolak dengan sopan ketika HMI dipinang untuk jadi underbouw Masyumi. 

Tidak pernah ada yang berhasil jadi Ketua Umum PB HMI dua periode, kecuali Almarhum Nurcholish Madjid, seorang warga NU. Presiden Soekarno pernah termakan hasutan PKI untuk membubarkan HMI, namun keinginan Soekarno itu ditolak oleh Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (Menteri Agama saat itu yang juga Sekjend PB NU), rencana pembubaran HMI juga diprotes Muhammadiyah, Pelajar Islam Indonesia, GPII dan seluruh ormas islam ketika itu.

Soal afiliasi organisasi mahasiswa, ormas keagamaan dalam berbagai peristiwa politik di Indonesia, ya kurang lebih sama dengan Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014. Ada yang ke A, ada ke B, dua kaki, empat kaki, tidak bisa dilihat benar-benar hitam putih. Bahkan ketika seorang Ketua Umum organisasi mahasiswa, ormas keagamaan menyatakan mendukung seseorang dalam kontestasi politik, itupun sama sekali tidak menjamin 50 persen anggota organisasi itu ikut mendukung. Sejarah membuktikan berkali-kali.

Alhasil. Dalam situasi begini, belum tentu memproduksi konten yang seakan menguntungkan golongan kita, juga menguntungkan kepentingan nasional NKRI. Maslahah ‘ammah harus dikedepankan ketimbang kepentingan pribadi (maslahah khassah/maslafah fardiyyah).

Sekarang kita saling tidak percaya. Curiga bahwa kelompok tertentu nasionalismenya tidak sehebat kelompok kita. Curiga kelompok lain ber-agamanya tidak sebagus kelompok kita. Negara yang warganya sudah saling curiga mudah sekali diadu domba, dikuasai. Terasa gak, kita sudah dikuasai?. Semoga tulisan ini tidak membuat kita lupa pada masalah mendasar bangsa ini; kemiskinan, korupsi dan ketidakadilan sosial, ancaman disintegrasi, dll. 

Saudara MKS melekat padanya ISNU dan Nahdlatul Ulama. Ia adalah Sekretaris Umum PP Ikatan Sarjana NU, sebuah organisasi besar. Politiknya harus tingkat tinggi, mengedepankan tabayyun, memanfaatkan teknologi untuk menelpon lembaga, organisasi lain, sebelum menyalurkan pendapat di ruang publik dengan mengatasnamakan jabatannya di ISNU.

NKRI ini dibangun oleh kerjasama banyak golongan, utamanya golongan Islam, golongan kebangsaan dan golongan kiri, ini fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Jangan sampai ketiga golongan ini terus saling mengecilkan peran,  saling mengubur.

Saya pribadi tetap optimis, selama para pucuk pimpinan ormas keagamaan (agama apapun) punya prinsip “Kok mangecek maagak-agak, pikiakan tiok ka bakato, tapi usah katokan nan tapikia”, maka NKRI pasti selalu damai. Keributan, perdebatan antar Ketum Partai Politik di ruang publik wajar, tapi tidak untuk pimpinan ormas keagamaan. 

Bayangkan jika Ketum atau Sekum PP Muhammadiyah mengkritik terbuka organisasi PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), KWI mengkritik NU, atau sebaliknya

Alhamdulillah sampai hari ini para pimpinan ormas keagamaan (MUI, PGI, KWI, WALUBI, PHDI, MATAKIN, dll) meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara mereka, namun bisa diselesaikan dengan lewat telponan dan musyawarah, tanpa ribut-ribut di media.

Depok, 14 November 2019, *Hariqo Wibawa Satria*, Penulis Buku Seni Mengelola Tim Media Sosial #SMTmedsos

Sumber foto: https://nafirec.com/2012/10/31/foto-foto-museum-uii-yogyakarta/