telusur.co.id -Oleh: Herna Nur Syahwalia, Politeknik Negeri Jakarta.
Di sebuah warung kecil yang berdinding anyaman bambu, saya duduk menanti pesanan makanan sembari memperhatikan seorang anak yang tengah mengelap meja dengan serius. Umurnya mungkin belum genap sepuluh tahun, tetapi terlihat sorot matanya yang lelah karena harus membantu orang tuanya sejak pagi buta.
Maaf, Keberanian Dalam Kerendahan Hati
Ketika seorang pelanggan menjatuhkan sendok dan anak itu buru-buru memungutnya, ia berkata, “Maaf, Kak, nanti saya ganti,” dengan suara pelan namun pasti. Kalimat itu tidak menuntut permaklukan, tapi menyodorkan keikhlasan. Saya terdiam, bukan karena sendoknya, tapi karena cara si anak itu menghadirkan satu kata sederhana yaitu maaf.
Kata itu, yang sering kita anggap remeh atau bahkan gengsi untuk diucapkan, seketika membuat suasana menjadi tenang. Saya merasa betapa besarnya kekuatan kata ini dalam memperbaiki suasana hati. Kata “maaf” adalah jembatan bagi hubungan manusia dibangun dari kerendahan hati dan keberanian mengakui kekurangan.
Di sinilah etika kecil memancarkan cahaya besarnya. Seakan kata tersebut mampu membuka ruang untuk saling memahami dan menghapus jarak yang tak tampak.
Tolong, Pengakuan akan Kebutuhan dan Kebersamaan
Beberapa minggu kemudian, saya kembali ke warung itu. Kali ini, seorang ibu yang membawa anak balitanya tengah bingung mencari tempat duduk. Tanpa pikir panjang, saya menawarkan kursi di sebelah saya.
Ia mengangguk cepat dan berkata, “Tolong ya, boleh anak ibu duduk sebentar? Dia kecapean.” Tidak ada kalimat manis atau hiasan basa-basi. Hanya satu kata tolong, yang justru membuat permintaannya terasa begitu tulus dan ringan diterima.
Menariknya, kata ini kadang dianggap sebagai beban karena diikuti oleh permintaan. Padahal, dalam etika sosial, meminta tolong adalah bentuk kesadaran bahwa manusia tidak hidup sendiri, bahwa kita saling membutuhkan.
Dalam dunia yang serba mandiri ini, “tolong” menjadi pengingat bahwa kita tidak bisa selalu mengandalkan diri sendiri. Kita membutuhkan orang lain, dan saat kita meminta tolong, itu adalah bentuk penghargaan terhadap keberadaan mereka.
Di sinilah letak kekuatannya “tolong” bukan hanya permohonan, tetapi pengakuan atas keberadaan orang lain. Si ibu tidak tahu siapa saya, saya pun tidak tahu nama ibu itu. Tapi satu kata sudah cukup untuk menjembatani dua orang asing. Kata “tolong” menciptakan kedekatan yang terjalin begitu cepat, hanya dengan satu permintaan yang penuh harapan.
Terima kasih, Wujud Penghargaan yang Sederhana tapi Bermakna
Tiga hari berselang, saya berjalan menyusuri pasar dekat rumah untuk membeli donat. Seorang penjual donat yang sering saya datangi menyambut dengan senyum, lalu mengambil beberapa donat dan membungkusnya rapi tanpa saya harus meminta. “Terima kasih ya, Bu,” ucap saya dengan refleks, yang segera dijawab dengan senyum lebar dan kata, “Sama-sama, Ndok. Terima kasih juga sudah langganan.”
Sekilas, percakapan itu terdengar biasa saja. Tapi di situlah keistimewaannya satu kata terima kasih bisa menyalakan api kehangatan antar manusia. Etika tidak melulu soal tata krama tinggi di forum resmi ia hidup dan tumbuh di tengah pasar, di balik senyum penjual, dalam ucapan tulus pelanggan.
Dalam kehidupan yang kian cepat dan sering kali arogan, “terima kasih” adalah penahan laju yang mengingatkan kita pada satu hal yaitu menghargai. Mengucapkan “terima kasih” bukan sekadar formalitas, tapi cara kita menghargai usaha dan kebaikan orang lain. Bahkan dalam dunia yang keras .dan penuh persaingan, menghargai adalah kualitas yang tak ternilai.
Kata “terima kasih” adalah bentuk pengakuan terhadap apa yang telah diberikan, baik itu waktu, tenaga, atau perhatian. Kata ini menunjukkan bahwa kita tidak hanya menerima dengan tangan terbuka, tetapi juga memberi penghormatan kepada yang memberi.
Kekuatan Tiga Kata Ajaib
Yang menarik, tiga kata itu maaf, tolong, dan terima kasih bukan warisan modern atau jargon motivasi media sosial. Ia hadir dari pengalaman paling dasar sebagai manusia. Saya mengingat almarhum Nenek saya yang hampir setiap hari menyisipkan kata “tolong” ketika meminta saya mengambilkan air, walau tubuhnya jauh lebih renta dari saya. Beliau juga tak pernah lelah mengucap “terima kasih” bahkan untuk hal-hal kecil seperti mengantarkan sandal.
Ketika saya tak sengaja memecahkan pot bunga kesayangannya, beliau hanya berkata pelan, “Maaf ya kalau kamu kaget. Nenek juga sedih.” Saya yang seharusnya meminta maaf justru dibingkai oleh pengertian yang menenangkan.
Dari sanalah saya belajar, bahwa etika bukan hanya tentang tahu kapan mengucapkan kata yang tepat, tapi juga tentang merasakannya dalam hati. Tiga kata ini mengajarkan kita tentang pengertian, kerendahan hati, dan kesediaan untuk memberi.
Kata-kata ini, meski terlihat sederhana, justru memiliki dampak yang sangat besar terhadap cara kita menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka menjadi cermin karakter kita. "Maaf" adalah bukti bahwa kita mampu mengakui kesalahan dan memperbaikinya. "Tolong" menunjukkan kerendahan hati dan kesediaan untuk bergantung pada orang lain.
Sedangkan "terima kasih" menandakan bahwa kita tidak merasa lebih tinggi dari orang lain dan selalu menghargai setiap usaha orang lain, sekecil apapun itu. Dalam dunia yang semakin sibuk, kadang kita lupa betapa pentingnya tiga kata ini.
Tiga kata ini lebih dari sekadar ungkapan mereka adalah dasar dari kehidupan yang lebih penuh rasa saling menghargai dan memperhatikan satu sama lain.
Etika di Era Kuatnya Digital
Di dunia digital ini, tiga kata tersebut sering kali terasa hilang. Pesan singkat dan notifikasi media sosial sering kali menggantikan komunikasi langsung yang penuh empati. “Tolong” bisa digantikan dengan permintaan langsung tanpa basa-basi, “terima kasih” sering kali digantikan dengan like atau emoji, dan “maaf” bisa terlupakan karena ada ruang untuk menyembunyikan kesalahan di balik layar.
Namun, kita harus ingat bahwa di balik layar digital, kita tetap berhubungan dengan manusia. Kehidupan sosial kita tidak hanya terbentuk dari data atau algoritma, tetapi juga dari interaksi manusiawi yang jujur dan tulus. Dalam era digital yang serba cepat dan terkadang tanpa empati ini, kata-kata seperti maaf, tolong, dan terima kasih menjadi semakin penting.
Kita harus berusaha menghidupkan kembali ketiganya dalam percakapan sehari-hari, bukan hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia maya. Dengan begitu, kita tidak hanya berkomunikasi melalui teks dan gambar, tetapi juga melalui niat baik yang terasa dalam setiap kata.
Mungkin, di sinilah letak etika sebenarnya bahwa apa yang kita katakan, betapa pun sederhana, bisa membangun atau meruntuhkan hubungan. Dan tiga kata itu, meski sederhana, adalah fondasi dari sebuah kehidupan yang lebih etis dan manusiawi.
Maaf, tolong, dan terima kasih bukan sekadar ungkapan, tetapi napas dari yang kita sebut peradaban. Ia tak akan pernah basi, meski zaman berubah, karena menyentuh inti terdalam dari siapa kita sebagai manusia. Kita mungkin lupa wajah orang yang membantu kita di jalan, tapi kita tidak akan lupa perasaan yang muncul saat seseorang berkata, “terima kasih.”
Kita bisa marah karena sebuah kesalahan, tapi satu kata “maaf” yang tulus bisa meredakan semuanya. Kita bisa merasa tak berdaya, tapi “tolong” yang diucapkan dengan rendah hati adalah bentuk keberanian.
Dalam hiruk-pikuk dunia yang serba cepat ini, mungkin kita tak butuh lebih banyak kata hanya tiga saja, yang diucapkan dengan hati dan dilandasi niat baik. Dan tiga kata itu, meski sederhana, adalah fondasi dari sebuah kehidupan yang lebih etis dan manusiawi.