Oleh: Azis Syamsuddin
SECARA umum, kegiatan ekspor-impor limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), tidak hanya melanggar aturan hukum nasional dan hukum internasional.
Terkait larangan terhadap kegiatan ekspor-impor limbah B3, Pemerintah secara tegas sudah mengaturnya melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UU Pengelolaan Sampah).
Dalam UU Pengelolaan Sampah, Indonesia memiliki ketentuan yang secara jelas melarang perbuatan “memasukkan sampah ke dalam wilayah Indonesia,” (Pasal 29 Ayat (1) huruf a) dan/atau “mengimpor sampah” (Pasal 29 ayat (1) huruf b). dan mengancam pelanggarnya dengan sanksi pidana (pasal 31).
Terdapat kelemahan yang cukup mendasar dari UU Pengelolaan Sampah ini. yaitu, belum ada definisi yang secara rinci mengatur apa yang dimaksud dengan “sampah” yang dilarang importasinya. Padahal, di tengah meningkatnya lompatan kemajuan industri saat ini, definisi menjadi satu hal yang penting untuk dikemukakan sebagai dasar untuk membangun kesepahaman.
UU Pengelolaan Sampah hanya memberi definisi sampah secara umum sebagai “sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat” (Pasal 1 ayat 1),” serta definisi sampah spesifik, yaitu “sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus (Pasal 1 ayat 2). Selebihnya, tidak ada klasifikasi, kategorisasi dan rincian terkait bahan-bahan yang dimaksud berbahaya tersebut. Bahkan definisi “sampah” dalam UU Pengelolaan Sampah juga tidak membedakan sampah yang ditujukan untuk didaur ulang dengan sampah yang ditujukan untuk pembuangan akhir. Hal ini tentu saja menyulitkan bagi Indonesia ketika ketentuan ini berhubungan dengan kebolehan impor limbah dalam UU Perdagangan.
Masalah kegiatan ekspor-impor limbah B3 tersebut sudah di atur secara tegas dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melarang setiap orang untuk “memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah NKRI ke media lingkungan hidup NKRI” (Pasal 69 ayat (1) huruf c). Hanya saja tidak ada delegasi untuk pengaturan lebih lanjut ketentuan ini.
PP No. 101 Tahun 2014, yang memuat lampiran cukup rinci terkait “limbah B3.” Akan tetapi, PP ini tidak memuat penjabaran lebih rinci mengenai larangan impor limbah B3. Perincian dalam lampiran PP tersebut (Lampiran I) sesungguhnya dibuat dalam kaitannya dengan kewajiban hukum bagi “setiap orang yang menghasilkan Limbah B3” untuk “melakukan pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkannya” (PP No. 101 Tahun 2014, Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4). Dengan demikian, sepanjang terkait dengan larangan impor limbah berbahaya, dapat diasumsikan bahwa pengaturan lebih lanjut merujuk ke peraturan di bidang perdagangan (Undang-Undang No. 7 Tahun 2014).
Dalam hukum Internasional, kegiatan ekspor-impor sampah melanggar ketentuan Konvensi Basel (Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal) yang diadopsi pada tahun 1989 tentang pengendalian perdagangan global limbah berbahaya, khususnya, merespon modus pembuangan akhir limbah berbahaya oleh negara maju ke negara berkembang atau miskin pada tahun 1980-an.
Objek yang diatur dalam Konvensi Basel adalah “limbah berbahaya” serta “limbah lainnya” yang mengalami perpindahan lintas batas negara, sebagaimana namanya. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1993, berikut amandemen konvensi yang melarang perpindahan lintas batas limbah berbahaya dari negara maju ke negara berkembang.
Sistem peraturan di Indonesia tidak secara simultan mengikuti spesifikasi perkembangan dari konvensi ini. Terlebih setelah Konvensi Basel pada April-Mei 2019 lalu, dimana beberapa jenis limbah plastik dimutakhirkan definisi dan kategorisasinya. [***]
*Penulis adalah Wakil Ketua DPR RI bidang Korpolkam