Oleh: Muhammad Chairul Basyar

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia. Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai 60-61%, menunjukkan betapa krusialnya sektor ini dalam menopang perekonomian. Namun, jika kita bandingkan dengan negara lain yang memiliki kontribusi UMKM yang serupa, seperti China, terlihat adanya kesenjangan yang cukup signifikan dalam hal produktivitas dan kapabilitas. PDB per kapita China mencapai US$ 12.720, sedangkan Indonesia hanya US$ 4.580. Angka ini memunculkan pertanyaan mendasar: apa yang membuat UMKM di China lebih produktif dan maju, meskipun kontribusi mereka terhadap perekonomian nasional setara dengan UMKM di Indonesia?

Salah satu faktor yang membedakan perkembangan UMKM di kedua negara adalah tingkat literasi keuangan. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), literasi keuangan didefinisikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam pengambilan keputusan keuangan untuk mencapai kesejahteraan finansial. Literasi keuangan ini mencakup financial knowledge(pengetahuan keuangan), financial skills (keterampilan keuangan), financial behavior (perilaku keuangan), financial attitude (sikap keuangan), dan kinerja keuangan. Sayangnya, di Indonesia, tingkat literasi keuangan UMKM hanya mencapai 49,68%, sementara di China sudah mencapai 87%. Kesenjangan ini memiliki implikasi yang sangat besar, baik terhadap akses ke layanan keuangan maupun kemampuan UMKM dalam mengambil keputusan yang tepat dalam mengelola keuangan mereka.

Selain literasi keuangan, perbedaan lain yang mencolok antara UMKM di kedua negara adalah inklusi keuangan dan akses kredit. Di China, rasio akses kredit UMKM mencapai 64,9%, sementara di Indonesia, angka ini hanya berada di level 19,6%. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa UMKM di Indonesia masih mengalami keterbatasan dalam mendapatkan modal yang diperlukan untuk berkembang. Padahal, akses terhadap modal sangat penting untuk memperluas bisnis, berinovasi, dan meningkatkan daya saing di pasar domestik maupun global.

China, dalam upayanya menjadi kekuatan manufaktur global, telah berhasil mengintegrasikan sektor UMKM ke dalam strategi ekonomi nasionalnya. Dengan visi Grand Strategic Goal: "A Leading High-end Manufacturing Superpower”, China menjadikan UMKM sebagai pilar utama dalam rencana pembangunan ekonomi menuju 2025. Sebagai bagian dari strategi tersebut, pemerintah China telah meluncurkan berbagai kebijakan yang mendukung pertumbuhan UMKM secara menyeluruh. Beberapa kebijakan penting yang diterapkan di antaranya adalah pemberian pembiayaan berkualitas tinggi, dukungan untuk riset dan pengembangan (R&D), serta integrasi UMKM ke dalam rantai pasok korporasi besar.

China juga fokus pada penguatan paten dan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) bagi UMKM. Pemerintah memberikan kemudahan akses dalam hal pendaftaran dan pendampingan terkait paten, yang memungkinkan UMKM untuk melindungi inovasi mereka dan meningkatkan daya saing. Dengan dukungan kebijakan yang komprehensif ini, China tidak hanya mendorong pertumbuhan UMKM dalam negeri, tetapi juga menciptakan ekosistem yang memungkinkan UMKM untuk bersaing di tingkat global.

Indonesia, di sisi lain, memiliki infrastruktur yang seharusnya dapat mendukung pengembangan UMKM. Lembaga keuangan, badan riset, dan pemerintah sebenarnya sudah berperan dalam berbagai aspek pengembangan UMKM. Namun, yang masih kurang adalah adanya orkestrasi yang terpadu. Berbeda dengan China yang peran pemerintahnya sangat menonjol sebagai akselerator dan pengarah utama dalam pengembangan UMKM, Indonesia belum memiliki mekanisme yang jelas untuk menyelaraskan semua elemen ini. Berbagai kebijakan seringkali terfragmentasi dan tidak terkoordinasi dengan baik, sehingga dampaknya kurang terasa secara menyeluruh.

Orkestrasi adalah kata kunci di sini. Orkestrasi UMKM mengacu pada kemampuan untuk menyinergikan berbagai elemen—pembiayaan, riset, teknologi, regulasi, dan akses pasar—ke dalam satu kerangka kerja yang terkoordinasi. China telah berhasil melakukan hal ini dengan baik, di mana peran negara sebagai orkestrator sangat jelas terlihat. Pemerintah China tidak hanya memberikan kebijakan yang mendukung, tetapi juga menjadi penghubung antara UMKM dengan korporasi besar, lembaga riset, dan lembaga keuangan. Sementara itu, di Indonesia, berbagai elemen ini masih berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya visi yang menyatukan mereka.

Jika Indonesia ingin memajukan sektor UMKM-nya dan meningkatkan daya saing di pasar global, kita perlu belajar dari model orkestrasi yang diterapkan di China. Pemerintah Indonesia harus mengambil peran lebih aktif sebagai pengarah, bukan hanya pengatur regulasi. Pemerintah perlu menginisiasi kerangka kebijakan yang lebih strategis dan terukur, di mana semua stakeholder—baik lembaga keuangan, korporasi besar, maupun lembaga riset—dapat bekerja sama untuk mendorong UMKM ke tingkat yang lebih tinggi.

Salah satu langkah penting yang bisa diambil adalah meningkatkan literasi keuangan pelaku UMKM. Menurut OJK, literasi keuangan yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan perilaku keuangan merupakan fondasi penting bagi pengambilan keputusan yang bijak dalam mengelola keuangan. Dengan literasi keuangan yang lebih baik, UMKM di Indonesia akan lebih mampu memanfaatkan peluang yang ada, termasuk dalam hal pembiayaan dan investasi.

Selain itu, pemerintah perlu memperluas akses kredit bagi UMKM. Data menunjukkan bahwa rasio akses kredit UMKM di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk tingginya risiko kredit yang dianggap melekat pada UMKM dan kurangnya informasi terkait peluang pembiayaan. Untuk itu, pemerintah perlu memperkenalkan mekanisme yang dapat memitigasi risiko ini, misalnya dengan memberikan jaminan kredit atau mendorong kerjasama antara bank dan lembaga keuangan mikro.

Langkah lainnya adalah mendorong kolaborasi antara UMKM dengan korporasi besar. Di China, integrasi UMKM ke dalam rantai pasok korporasi merupakan salah satu kebijakan yang sangat efektif dalam meningkatkan daya saing UMKM. Indonesia dapat meniru kebijakan ini dengan mendorong perusahaan-perusahaan besar, terutama BUMN, untuk melakukan sourcing dari UMKM. Dengan cara ini, UMKM tidak hanya akan mendapatkan akses pasar yang lebih luas, tetapi juga akan belajar untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan mereka sesuai dengan standar industri besar.

Dengan orkestrasi yang lebih baik, Indonesia dapat memaksimalkan potensi UMKM sebagai pilar utama pembangunan ekonomi. Perlu ada sinergi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga keuangan, dan pelaku UMKM itu sendiri. Hanya dengan cara ini, kita bisa mendorong UMKM Indonesia untuk bersaing di tingkat global, sebagaimana yang telah berhasil dilakukan oleh China.

 

Catatan:

Penulis adalah Praktisi Koperasi dan UKM Indonesia, saat ini penulis aktif sebagai CEO IDM Cooperatives, CEO IDM Film Sejahtera (Rumah Produksi Film IDM), dan Pegiat Blockchain Indonesia Untuk Koperasi dan UMKM.