telusur.co.id - Dalam Register Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT telah diajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (onrechtmatige overdracht daad). Para Pihak yang berperkara adalah Penggugat yang terdiri atas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, A. Usep Suyatma, SR, Wiwin Indiartis, dan Niklas Dilingeralias Habel Lilinger, dan kawan-kawan, serta Tergugat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.
Dasar Gugatan (Fundamentum Petendi)
Pada tanggal 24 Juli 2023 Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara mengajukan Surat Permohonan Pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat melalui Surat Nomor 019/PPMAN/VII/2023. Namun, Surat Pemohonan tersebut tidak ditanggapi dalam waktu 90 hari sehingga menjadi obyek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara, karena dianggap telah membuat putusan penolakan (negative stelsel). Dalam surat permohonan tersebut yang dijadikan dasar gugatan adalah sebagai berikut:
Bahwa UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan), membagi 3 (tiga) cara memperoleh kewenangan antara lain: (1) Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang; (2) Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi; (3) Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
Bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD Tahun 1945, DPR RI dan Presiden RI memiliki wewenang membentuk undang-undang. Dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Dalam Pasal 20 ayat (1) dinyatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”
Bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD Tahun 1945, dihubungkan dengan cara memperoleh kewenangan DPR RI dan Presiden RI berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan, maka disimpulkan bahwa kewenangan DPR RI dan Presiden RI membentuk undang-undang adalah kewenangan atributif.
Bahwa Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Bahwa sebagai tindak lanjut operasional pengakuan dan penghormatan masyarakat adat Pasal 18 B ayat (2) UUD Tahun 1945, DPR RI dan Presiden RI telah beberapa kali menetapkan Draft RUU Tentang Masyarakat Adat, dalam prolegnas, antara lain sebagai berikut:
Prolegnas Periode 2005-2009, dengan judul “RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat”, dengan Nomor Urut 101; RUU tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat dan Tradisinya, dengan no urut 273, berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 01/DPR-RI/III/2004-2005 Tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009.
Prolegnas Periode 2009-2014, dengan judul “RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat” dengan Nomor Urut 161.
Pada tahun 2013, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas 2014, dengan Nomor Urut 26.
Pada tahun 2017, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas, dengan Nomor Urut 45.
Prolegnas Periode 2020-2024, dengan judul “RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, dengan Nomor Urut 160.
Pada tahun 2020, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas, dengan Nomor Urut 22.
Bahwa meskipun telah beberapa kali RUU Tentang Masyarakat Hukum Adat dengan beberapa kali perubahan nama yang ditetapkan dalam prolegnas maupun prolegnas prioritas, tetapi sampai dengan saat ini belum disahkan, sehingga tindakan administrasi pemerintahan yang tidak melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam rangka mengakui dan menghormati masyarakat adat tersebut dapat dikualifikasi sebagai Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) karena tidak melakukan tindakan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat – penundaan berlarut.
Petitum
Para Penggugat memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo, menjatuhkan putusan dengan amar, sebagai berikut:
Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
Menyatakan batal atau tidak sah Tindakan Administrasi Pemerintahan Tergugat I dan Tergugat II yang tidak menindaklanjuti Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, perihal: Permohonan Pembentukan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat;
Mewajibkan Tergugat I dan Tergugat II untuk melakukan Tindakan Administrasi Pemerintahan berupa menindaklanjuti Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, perihal: Permohonan Pembentukan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat;
Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.
Setelah mempelajari Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, perihal: Permohonan Pembentukan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, Gugatan Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT, dan dinamika proses persidangan yang sudah memasuki tahap pembuktian, Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia menyatakan dukungan kepada Para Penggugat dan mengambil posisi sebagai Sahabat Pengadilan (Amicus Curae) yang mengimbau agar Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia segera membentuk Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dijadikan landasan konsitusional, yaitu:
Pasal 5 ayat (1) dan 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang memberikan atribusi kekuasaan eksekutif dan legislatif serta preskripsi kewenangan dalam membentuk Undang-Undang.
Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Di samping itu, Negara Republik Indonesia juga telah meratifikasi beberapa instrumen hukum internasional yang disahkan melalui undang-undang, sebagai landasan yuridis melalui taraf sinkronisasi horizontal, yaitu:
Negara Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR pada 28 Oktober 2005 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang disertai dengan Deklarasi terhadap Pasal 1 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)
Sebagai Sahabat Pengadilan (Amicus Curae), kami, Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia, mendukung Para Penggugat sebagai Pencari Keadilan agar Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT agar mengabulkan Gugatan Para Penggugat untuk memberikan kepastian hukum kepada Masyarakat Hukum Adat sebagai subyek yang harus diakui, dihormati, dan dilindungi eksistensinya demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Prinsip-Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Demikian dukungan dari Sahabat Pengadilan (Amicus Curae) ini disampaikan oleh para dosen dan peneliti yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia.
Adapun para Guru Besar dan Dosen AMICUS CURIAE yaitu :
Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum Dr. Rina Yulianti, SH., MH.
Ketua Bidang Advokasi,
Yamin, S.S.,S.H.,M.Hum.,M.H.,CLA,C.Med
Lampiran : Dukungan Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia:
tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia.
Prof. Dr. Dominikus Rato, SH., M.Si.
Prof Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum.
Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, SH., MH
Dr. Rina Yulianti, SH , MH.
Yamin, S.S.,S.H.,M.Hum.,M.H.
Emanuel Raja Damaitu, S.H., M.H.
Dr.Ruliah, SH , M.H.
Prof.Dr.Sri Warjiyati,S.H.,M.H
Prof. Dr. Mohammad Jamin, SH, M.Hum.,C.M.C.
Nur Aida, SH,.MH,.MSi.
Prof. Dr. M. Syamsuddin, SH., M. Hum
Dr. Marthen B. Salinding, SH, MH
Prof. Dr. Roberth KR Hammar
Dr. George Frans wanma
Prof. Dr. M. Syamsudin
Dr. Ummu Salamah, SH MA
Prof. Dr. Yayan Sopyan, SH, MA, MH
Dr. Hermansyah,SH., MH.
Dr. Safrin Salam, S.H. M.H
Dr. Nurul Miqat, SH,. M.Kn.
Dr Amri P Sihotang, SS, SH, M.Hum
Ismawati, M.H.
Dr. Ismail Rumadan, SH., MH.
Dr. Purnawan D. Negara, SH., MH.
Dr. Afnaini, S.H., M.Si.
Diane Prihastuti, S.H., M.H.
Dr. Maskawati, S.H., M.H.
Dr. Hj. Erleni, S.H., M.H.
Dr. Caritas Woro Murdiati R., S.H., M.H.
Dr. Cornelis Tangkere, S.H.,M.H.
Drs. R. Yando Zakaria.
Irma Fatmawati SH., M.Hum.
Dr. Maria Theresia Geme, SH.MH.
Dr. Kunthi Tridewiyanti, SH.MA
Dr. Julianto Jover Jotam Kalalo, S.H., M.H.
Rizayusmanda, SH.,MH.
Prof.Asmah
Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M. Hum.
Dr. Ir. Sri Endang Sukarsih, MP
Sahril Fadli, S.H.I.,S.H.,M.H.
Muhamad Abas, S.H., M.H.
Prof. Dr. Yayan Sopyan, S.H.,M.A.,M.H.
Dr. Simona Bustami, S.H.,M.H.
Dr. Ning Adiasih, S.H.,M.H.
Dr. Luh Rina Aprilinani, S.H.,M.H.
Wibisono, Oedoyo, S.H.,M.H.