76 Tahun HMI, Menyimak Percakapan Presiden Soekarno dengan Menteri Agama Saifuddin Zuhri - Telusur

76 Tahun HMI, Menyimak Percakapan Presiden Soekarno dengan Menteri Agama Saifuddin Zuhri


Oleh Lukman Hakiem*

Kelakuan PKI

PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI), menurut Menteri Agama Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, senantiasa berlindung kepada Bung Karno, baik sebagai presiden maupun sebagai pribadi.  Maka, siapapun yang menyerang Bung Karno, (baik sebagai presiden maupun sebagai pribadi) PKI nimbrung balik menyerang. Dengan itu, melalui tangan Bung Karno, PKI dapat menghancurkan mysuh-musuhnya. 

Dalam hal ini Bung Karno tidak bisa terlalu disalahkan. Siapapun yang menjadi Presiden, jika ia diserang secara bertubi-tubi, dan dalam situasi demikian, PKIyang ideologinya lebih jahat dari pihak oposisi, mudah saja berlaku bagaikan "musang berbulu ayam". Apalagi sejak semula orang-orang PKI tidak percaya perbuatan dosa, tidak mengenal halal-haram, dan menganut falsafah  "segala cara boleh ditempuh untuk mencapai tujuan."

SBII, HMI, HAMKA, dan Duta Nasyarakat

Di antara  badan organisasi dan orang yang menurut PKI harus dihancurkan, selain Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ialah Sarekat Buruh Islam Indonesia (SBII), dan HAMKA. Dengan sangat teratur, PKI melakukan kampanye demi membentuk opini umum bahwa HMI, SBII, adalah musuh Republik Indonesia. HAMKA pun diserang oleh koran-koran komunis dengan dalih buku karangannya, "Tenggelamnya Kapal vn der Wijk" itu plagiat. Padahal alasan sebenarnya, HAMKA adalah tokoh Masyumi.

Satu-satunya yang membela HAMKA adalah harian Duta Masyarakat, surat kabar yang menjadi terompet NU. Saifuddin Zuhri adalah pemimpin umum/pemimpin redaksi Duta Masyarakat, tapi saat membela HAMKA, Saifuddin sudah non aktif, karena kesibukannya sebagai menteri agama. Posisi Saifuddin digantikan oleh Mahbub Djunaidi dengan wakilnya, M. Said  Budairy.

Presiden Soekarno: "Saya akan membubarkan HMI."

Pada suatu hari, Saifuddin Zuhri dipanggil oleh Presiden Soekarno untuk datang ke Istana Merdeka.
Sudah menjadi kebiasaan Presiden Soekarno sejak di Yogyakarta, tiap pagi antara pukul 07:00 - 09:00 menyelenggarakan koffie uurtje, sejenak minum kopi, bersama beberapa orang tamunya, baik yang datang dengan perjanjian maupun tanpa perjanjian. Biasanya mereka berjumlah belasan orang dengan berbagai profesi. Ada menteri, duta besar, perwira tinggi, wartawan, pengusaha swasta, istri pejabat, seniman, dan lain-lain.
 
Masing-masing tamu disuguhi setangkup roti bakar yang ditaburi gula dan sepotong telur dadar sebagai teman minum secangkir kopi hitam.

Setelah jumlah tamu berkurang, Saifuddin mendapat giliran bicara empat mata dengan Presiden Soekarno. Saifuddind ipersilakan duduk di sebelah Presiden.

"Saya ingin bicara dengan Saudara. Biarlah ada Hasjim Ning. Tidak apa-apa," ujar Soekarno membuka percakapan.

"saya memberitahu saudara selaku Menteri Agama bahwa saya akan membubarkan HMI," ujar Presiden Soekarno sambil menatap wajah Saifuddin dalam-dalam seakan hendak menguak isi kepala menterinya itu. 
Ucapan Presiden Sukarno itu dirasakan oleh Sifuddin bagai petir di siang bolong. Beberapa detik, Saifuddin  terpana, seperti kehilangan keseimbangan mental.

"Mengapa HMI harus dibubarkan?," Saifuddin ingin tahu alasannya.

"Berbagai laporan masuk kepada saya bahwa di mana-mana HMI melakukan tindakan antirevolusi dan reaksioner," kata Presiden sambil lagi-lagi menatap tajam wajah Saifuddin Zuhri.

"Kadar antirevolusi dan reaksionernya, sampai di mana?," Saifuddin memberanikan diri menyelidik.
"yaaah..., misalnya selalu bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal, seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan".

Sejenak Sifuddin membuat keseimbangan antara emosi dan pikiran sehat. 
Karena Presiden Soekarno  memanggilnya untuk datang, itu artinya Presiden masih menghargai Saifuddin sebagai menterinya. Saifuddin merasa masih dihargai dan diperhitungkan. Kaldu tidak, bukankah presiden dapat saja membubarkan HMI tanpa perlu lebih dulu mempercakdpkan dengan Saifuddin Zuhri 

"Ataukah kehadiranku justru untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa aku menyetujui pembubaran HMI," Saifuddin membatin.

"Apakah HMI sudah pernah Bapak panggil untuk dinasihati?" tanya Saifuddin.

"Secara umum dan terbuka sudah berulang-ulang aku ingatkan melalui pidsto-pidatoku," kata Soekarno.

"Mohon dipertimbangkan lagi," Saifuddin Zuhri membuka diskusi. "HMI itu anak-anak muda. Saya akan memberi tahu melihat hal-hal tidak beres di kanan-kiri kita. Lha, HMI-HMI itu telah mempraktikkan anjuran Bapak. Apakah Bapak tidak bangga?"

Presiden menatap wajah Saifuddin dengan pandangan lunak, seolah memberi isyarat kepada Saifuddin Zuhri masih terbuka kesempatan untuk berdiskusi terus.

"Mereka itu para mahasiswa berbagai fakultas," Saifuddin mengemukakan pertimbanganganya.

"Mereka itu calon-calon insnyur, dokter, ekonom, sarjana hukum, dan lain-lain. Mereka itu kader-kader bangsa. Sudah jamak anak-anak muda berpikiran dinamis".

"Dan jika gerakan itu arus air yang deras mengalir, harus dikanalisir, disalurkan, supaya menjadi tenaga kekuatan yang bermanfaat. Kalau HMI dibubarkan, mereka frustrasi, dan kita rugi semua!" Saifuddin makin mantap memberi pertimbangan.

"Mereka kan anak-anak Masyumi. Tentu seperti bapaknya, tetap aja reaksioner!" Presiden Soekarno belum menyerah, tetapi semangatnya untuk membubarkan HMI tidak menggebu-gebu lagi.

"Pak Presiden, ketika masa jayanya Masyumi, mereka masih di SMP atau SMA. Kita jangan mengikuti falsafah: karena Bapaknya berbuat salah, anak-anaknya berdosa semua," Saifuddin merasa di atas angin.

Untuk beberapa saat, Presiden menghentikan percakapan. Dia memanggil ajudan untuk suatu keperluan. Buat Saifuddin, itu isyarat bahwa Presiden mulai kehilangan argumentasi. Kaldu tidak, dan jika memang berada di atas angin, buat apa memanggil ajudan?

Tugas pembantu presiden, menjaga agar presiden tidak berbuat berlebihan

"Bagaimandapun HMI dan SBII akan saya bubarkan. Kalau HMI bubar, NU kan untung. PMII makin besar," kata Presiden.

"Soalnya bukan untung atau bukan untung. Sulit buat saya selagi masih menjadi Menteri Agama, ada organisasi Islam dibubarkan tanpa alasan kuat," Saifuddin memberanikan diri untuk mengemukakan kebenaran, walaupun pahit. Qulil haqqa walaubkaana murran.

"Yaah... Tidak saya sangka kalau Saudara membela HMI," ujar Presiden. Kali ini sambil pandangannya menerawang.

"Bukan membela HMI, Pak! Saya tidak ingin Presiden berbuat berlebihan. Itu termasuk tugas kami para pembantu Presiden," ujar Saifuddin makin mantap.

"Bukan berlebihan, tapi saya berbuat menurut gweeten saya, perasaan hati saya."

Sifuddin merenung sejenak, menentukan sikap terakhir. "Kaldu Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gweeten Bapak. Maka, tugasku  sebagai pembantu Bapak, hanya sampai di sini," tegas Ssofuddin, bulat dan tawakkal.

"Oooh.... Jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan Saudara membantu saya." Presiden Soekarno berbicara sambil merekahkan senyum di bibirnya. Tangan Presiden diulurkan kepada Saifuddin. Refleks Saifuddin menjabat tangan Bung Karno.

"Baiklah, HMI tidak saya bubarkan, tetapi saya minta jaminan, HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kudu bersama Nasution, Roeslan Abdulgani,  dan Sayarif Thayeb, harus membimbing HMI."

Sampai masa-masa akhir jsbatan," tutur Saifuddin, "kamu empat orang yang ditunjuk Presiden menjadi pembimbing HMI, tidak pernah dipanggil untuk menerima tugas. Bahkan, kami si empat pembimbing tidak pernah bertemu dalam kasus HMI. Hanya pada suatu hari, K.H. Masykur dan SIfuddin Zuhri dipanggil untuk datang ke kantor Wakil perdana Menteri I, Dr. Soebandrio untuk dipertemukan dengan Dr. Soelastomo, dan Ismail Hasan Metareum (PB HMI), bersama Wartomo dan Agus Sudono (PB SBII).

Hasjim Ning:
"Sayalah saksi hidup yang menyaksikan upaya Saifuddin untuk menghalangi pembubaran HMI*

DUA PULUH tahun kemudian, suatu saat, Saifuddin bertemu Hasjim Ning dalam resepsi pernikahan putra Gubernur DKI Jakarta, H. Ali Sadikin.

Saifuddin mendekati dan menyapa pengusaha nasional itu.

"Masih ingat peristiwa HMI?' sapa Saifuddin.
"Oooh...., Masih. Peristiwa itu tak pernah saya lupakan. You yang menghalang-halangi pembubaran HMI," jawab Hasjim Ning.
"Saya sedang menulis memoar. Percakapan dengan Presiden Soekarno mengenai HMI akan saya tulis juga. Bolehkah saya sebut nama You?"
"Tulis saja. Sayalah saksi hidup pak Saifuddin Zuhri menghalang-halangi pembubaran HMI," jawab Hasjim Ning tegas dan spontan.

Jangan Lupakan Jasa Saifuddin

Menyimaknpercakapsn Presiden Soekarno dengan Menteri Agama Saifuddin Zuhri yang disaksikan oleh Hasjim Ning sangat wajar jika HMI tidak melupakan jasa tokoh NU itu di dalam menyelamatkan HMI.
Jika Presiden SBY dan (Alm) Taufik Kiemas) dikukuhkan sebagai anggota kehormatan KAHMI, sangat layak penghargaan serupa dianugerahkan kepada Keluarga K.H. Saifuddin Zuhri.[]

Sumber: K.H. Saifuddin Zuhri, _Authorized Memoirs, Berangkat dari Pesantren, Yogyakarta, LKiS, 2013, hlm 671-673.

*) Penulis adalah Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta 1984-1984.


Tinggalkan Komentar