telusur.co.id - Gagasan mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli untuk kemudian disempurnakan lewat adendum kian kencang disuarakan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.
Ia mengusulkan dalam perubahan sistem asli melalui teknik adendum, agar terdapat peserta pemilu dari unsur perseorangan masuk sebagai bagian dari DPR RI.
"Sebagai tawaran penyempurnaan UUD Naskah Asli dengan Teknik Adendum, saya mengusulkan agar DPR, tidak hanya diisi oleh peserta Pemilu dari unsur partai politik saja. Tetapi juga diisi peserta Pemilu dari unsur perseorangan," kata LaNyalla dalam FGD bertema Peta Jalan Kembali ke Titik Nol Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 di Gedung UC UGM, Yogyakarta, Selasa (17/1/23).
Dijelaskan LaNyalla, dalam disain asli sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa memang tidak mengenal Sistem Bi-Kameral. Tidak mengenal DPD yang dipilih melalui Pemilu.
MPR yang merupakan penjelmaan rakyat hanya diisi melalui dua jalur. Yaitu jalur yang dipilih melalui Pemilu dan jalur yang diutus. Sehingga hanya berisi Anggota DPR yang dipilih dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan yang diutus.
"Karena anggota DPD saat ini, pada hakikatnya mereka sama-sama dipilih melalui Pemilu, sudah sewajarnya anggota DPD RI berpindah menjadi satu kamar di DPR RI," tutur dia.
Menurut Senator asal Jawa Timur itu, setidaknya ada 3 dampak positif jika terdapat unsur perseorangan sebagai anggota DPR RI.
Pertama memperkuat mekanisme check and balances terhadap eksekutif. Kedua mencegah koalisi besar partai politik dengan pemerintah yang merugikan kepentingan rakyat. Ketiga sebagai penyeimbang dan penentu dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di DPR RI.
"Sehingga keputusan di DPR RI, terutama terkait penyusunan Undang-Undang, tidak hanya ditentukan oleh partai politik saja," ucap LaNyalla pada diskusi yang diselenggarakan Dewan Guru Besar UGM dan Rumah Pancasila itu.
Sementara Utusan Daerah tetap diisi oleh utusan-utusan daerah, yang idealnya dihuni oleh Raja dan Sultan Nusantara. Sedangkan Utusan Golongan diisi oleh utusan-utusan dari Organisasi dan para Profesional.
Menurut LaNyalla, Utusan Daerah dan Utusan Golongan harus diberi hak untuk memberikan pertimbangan yang wajib diterima oleh DPR RI dalam penyusunan Undang-Undang. Hal itu sekaligus sebagai penguatan fungsi Public Meaningful Participation.
"Sehingga hasil akhirnya, kita memperkuat sistem bernegara yang telah dirumuskan para pendiri bangsa, tanpa mengubah struktur atau konstruksi sistem bernegara, dimana penjelmaan rakyat harus berada di Lembaga Tertinggi Negara," ujar dia.
Karena sistem hari ini, yang merupakan produk perubahan Undang-Undang Dasar tahun 2002, menurut LaNyalla, terbukti gagal untuk mewujudkan Indonesia berdaulat, adil dan makmur.
Yang terjadi justru meningkatnya kesenjangan ekonomi dan memperkokoh cengkraman oligarki ekonomi untuk menguasai dan menyandera kekuasaan.
Sistem tersebut juga semakin menghasilkan ketidakadilan yang melampaui batas dan menjadi penyebab pemiskinan struktural dari Sabang sampai Merauke.
"Inilah kenapa APBN selalu minus dan ditutup hutang dengan bunga yang tinggi. Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak sebanding dan sangat jauh dengan potensi kekayaan bumi, air dan angkasa Indonesia. Bahkan ironisnya, sebagian dari uang hutang sudah digunakan untuk pembiayaan rutin dan pembayaran bunga hutang," paparnya.
Hal itu terjadi karena Daulat Pasar telah menggantikan Daulat Negara. Ekonomi bukan disusun oleh Negara, tetapi dibiarkan disusun oleh mekanisme pasar bebas.
"Makanya tidak ada pilihan. Darurat Sistem yang diakibatkan oleh kecelakaan Perubahan Konstitusi tahun 2002 harus kita akhiri dengan cara kembali kepada rumusan asli sistem bernegara dan sistem ekonomi Pancasila," tegasnya.
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Senator asal Yogyakarta, M Afnan Hadikusumo dan Hilmi Muhammad, Bustami Zainudin (Lampung), Andi Muh Ihsan (Sulawesi Selatan), Fachrul Razi (Aceh), Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Kapusperjakum DPD RI Andi Erham.
Sebagai pengisi materi FGD, Prof Sofian Effendi (Guru Besar dan Mantan Rektor UGM), Prof Aidil Fitri, Agus Harimurti Kodri, Ketua Rumah Pancasila, Ir Prihandoyo Kuswanto, ekonom Ichsanuddin Noorsy, mantan KSAD Letjen TNI (Purn) Tyasno Sudarto, Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono, Marsma TNI (Purn) Bestari serta sejumlah tokoh pegiat Konstitusi antara lain Dr Zulkifli S Ekomei, Airvin Widyatama dan Gunawan Aji. [Tp]