Adian Napitupulu Desak Regulasi Ojek Online Segera Disahkan: “15 Tahun Negara Diam atas Pelanggaran Hukum” - Telusur

Adian Napitupulu Desak Regulasi Ojek Online Segera Disahkan: “15 Tahun Negara Diam atas Pelanggaran Hukum”

Anggota Komisi V DPR RI Adian Napitupulu

telusur.co.id -Anggota Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu, menyuarakan kritik keras terhadap lambannya pemerintah dan DPR dalam mengesahkan regulasi untuk transportasi online. Menurutnya, selama 15 tahun sejak kemunculan ojek online sekitar tahun 2010, negara telah membiarkan pelanggaran hukum terjadi secara terbuka.

 

“Ini sudah 15 tahun pelanggaran undang-undang dibiarkan. Pemerintah ada, DPR ada, tapi regulasi tak kunjung dibuat. Kalau memang mau perbaiki, segera buat undang-undangnya,” tegas Adian dalam di diskusi Forum Legislasi, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (27/04/2025).

 

Politisi PDIP itu menilai narasi bahwa transportasi online menciptakan lapangan kerja adalah menyesatkan. Ia menyebut, sebelum adanya aplikasi, ojek pangkalan sudah eksis dan aplikator hanya menambahkan teknologi.

 

“Jangan ada kepahlawanan palsu. Mereka (aplikator) tidak menciptakan pekerjaan baru. Hanya menyambungkan jasa yang sudah ada, dan itu bukan jasa sosial. Mereka mengambil keuntungan. Jadi, di mana letak kepahlawanannya?” kritik Adian.

 

Lebih lanjut, Adian menyoroti tuntutan para pengemudi ojek online yang dianggapnya sangat manusiawi. “Mereka tidak minta rumah mewah atau mobil dinas. Mereka hanya ingin bisa menyekolahkan anak-anak mereka, hidup layak, punya rumah yang tidak bocor, dan makan yang cukup. Itu saja negara belum bisa penuhi,” ujarnya.

 

Adian juga mempertanyakan transparansi pemotongan 5% dari pendapatan driver yang disebut untuk tunjangan kesejahteraan.

 

“Sejak 2022, 5% itu dipotong setiap hari. Siapa yang pegang uangnya? Berapa jumlahnya? Dipakai untuk apa? Apakah driver pernah diberi tahu? Kalau memang untuk kesejahteraan, kenapa tak transparan? Kalau aplikator tak mampu mengelola, kenapa tidak dikembalikan ke driver biar mereka kelola sendiri?” tantangnya.

 

Ia juga membandingkan tarif potongan di Indonesia yang lebih tinggi dibanding negara lain. “Di Singapura 10%, Malaysia 6%, Australia 8-12%. Kenapa di kita bisa sampai 20%? Ini sama seperti kasus upah buruh sawit. Kita selalu lebih murah tapi produksinya sama.”

 

Adian turut mengungkapkan kejanggalan dalam pembatalan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Menteri Perhubungan. Ia menyebut undangan dikirim malam hari pada 25 Mei, namun dibatalkan pagi keesokan harinya.

 

“Surat pemberitahuan menteri tak hadir sudah dibuat tanggal 23, tapi undangan baru kami terima 25 malam. Lalu pagi 26 dibatalkan. Kita ini sedang bernegara atau bercanda?” sindir Adian.

 

Menutup pernyataannya, Adian menantang aplikator untuk membuka data dan berdiskusi secara terbuka. Ia menilai selama ini pemerintah cenderung lebih akrab dengan aplikator ketimbang berpihak pada pengemudi.

 

“Kalau mau diskusi, jangan telepon saya diam-diam. Bukan pacaran. Ajak debat terbuka. Bawa data, saya juga bawa. Kita hitung sama-sama di depan publik,” pungkasnya.[iis]


Tinggalkan Komentar