Ahmad Basarah: 'Sahabat Pengadilan' Bagai Secerca Cahaya Demokrasi  - Telusur

Ahmad Basarah: 'Sahabat Pengadilan' Bagai Secerca Cahaya Demokrasi 

Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah (foto: istimewa)

telusur.co.id - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengatakan banyaknya pihak yang mengajukan diri sebagai menjadi sahabat pengadilan (amicus curiae) Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan besarnya kepedulian banyak pihak terhadap lembaga negara pengawal konstitusi itu.

'Saat praktik bernegara menunjukkan gejala penguasa melakukan abuse of power dengan berupaya mengakali konstitusi untuk melanggengkan kekuasaannya maka konsistensi para pemimpin bangsa yang merupakan negarawan sejati yang taat pada konstitusi ibarat secercah cahaya di tengah kegelapan hukum dan demokrasi," kata Basarah dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamisn (18/4/2024).

Hal itu disampaikan-nya merespons pengajuan Megawati Soekarnoputri sebagai amicus curiae perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 kepada MK pada Selasa (16/4), yang menurutnya menunjukkan kualitas kesadaran dalam bernegara yang selalu taat pada konstitusi.

"Sikap itu sekaligus sebagai bentuk dukungan agar penyelesaian sengketa politik dalam Pemilu 2024 diselesaikan lewat jalur hukum di MK dan bukan melalui jalan lain di luar koridor konstitusi. Hal itu juga merupakan wujud kenegarawanan-nya yang taat pada nilai demokrasi dan hukum," tuturnya.

Menurut dia, sikap yang diambil Megawati sejak dulu sejalan antara perkataan dengan perbuatan, sebagaimana dahulu mendukung pembentukan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) untuk memperjuangkan hak-hak politiknya saat melawan rezim Orde Baru.

Megawati sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, lanjut dia, juga tidak pernah mengarahkan dan menginstruksikan kader-kader-nya untuk melakukan demonstrasi di jalan sejak sidang perkara PHPU 2024 digelar di MK.

"Sikap itu memperlihatkan konsistensi perjuangan Ibu Megawati sebagai tokoh bangsa yang selalu berpedoman pada prinsip negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum dan etika. Hingga kini, Ibu Megawati juga masih percaya Mahkamah Konstitusi yang dibentuk pada Agustus 2003 saat dirinya menjadi presiden masih tetap menjaga kredibilitas-nya sebagai ‘penjaga konstitusi’," ujarnya.

Untuk itu, Basarah mengatakan banyaknya pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae, mulai dari mahasiswa, akademisi, budayawan, hingga agamawan, jangan dianggap sebagai langkah mengintervensi para hakim MK sebab amicus curiae merupakan praktik lazim dalam hukum Indonesia yang keberadaan dan urgensi-nya diatur dalam berbagai landasan hukum.

"UUD 1945, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dan bahkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sendiri memberikan ruang partisipasi melalui opini hukum atau pendapat hukum bagi masyarakat untuk terlibat dalam penyelesaian suatu perkara yang menyita perhatian dan berdimensi kepentingan publik (public interest)," kata Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro itu.

Dia pun menekankan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal konstitusi memiliki kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana dijamin UUD NRI 1945, di mana Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 2 Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang MK menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

"Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyebut bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat," tambah dia.

Basarah menyebut berbagai landasan hukum tersebut menunjukkan pengadilan bukan sekadar untuk menegakkan hukum, melainkan juga keadilan.

"Keadilan yang wajib ditegakkan pengadilan adalah keadilan dari masyarakat. Bukan sekedar di ruang persidangan. Maka, pengadilan perlu membuka diri atas berbagai pandangan dan pendapat hukum dari masyarakat, meskipun kewenangan putusan sepenuhnya di tangan hakim," tuturnya.

Dia menilai dengan adanya para sahabat pengadilan justru akan menambah bobot keyakinan hakim saat mengambil keputusan untuk kepentingan bangsa dan negara.

"Sebagai sebuah produk hukum, putusan MK juga harus bersumber pada nilai-nilai Pancasila sebagai norma dasar (grundnorm), di mana tujuan pembentukan hukum harus menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukan bagi sekelompok orang saja," ujarnya.

Oleh karena itu, Basarah pun berharap para hakim MK bisa memecah kebuntuan dan mengedepankan prinsip keadilan substansial dalam memutuskan sengketa Pilpres 2024 tanpa kehilangan independensi dan imparsialitas-nya.

"Selain untuk kepentingan tegak-nya keadilan substantif dalam sengketa Pilpres 2024 di MK, maka pesan lain yang tersirat adalah berbondong-bondong-nya masyarakat menjadi ‘sahabat pengadilan’ sesungguhnya merupakan bentuk peringatan bagi penguasa untuk tidak kembali melakukan praktik abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan yang dapat mencederai nilai demokrasi dan etika politik dalam perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional yang sebentar lagi akan diselenggarakan," imbuhnya.[]


Tinggalkan Komentar