Telusur.co.id - Oleh : Denny JA
- Renungan Idul Adha
Lima puluh tahun dari sekarang, di tahun 2070, akankah hewan semakin jarang dijadikan kurban dari ritus agama? Akankah tumbuh kesadaran yang semakin besar, di kalangan cendekia Islam sendiri, yang memilih tafsir untuk tidak menjadikan “sembelih hewan,” sebagai bagian dari ritus Idul Adha?
Itulah renungan yang muncul ketika membaca sebuah makalah (sebuah esai) di tahun 2008. Judulnya: An Islamic Perspective Against Animal Sacrifice. (Perspektif islami yang menentang kurban hewan). Penulisnya: Shahid Ali Mutaqqi.
Ini pandangan yang provokatif, namun tepat waktu, memberikan pendapat alternatif mengenai kurban hewan.
Seberapa masuk akal? Kuatkah argumen Shahid Ali Mutaqqi?
Sebelumnya, kita paparkan dulu aneka pandangan mengenai kurban hewan dalam rangka ritus Idul Adha.
Ada tiga perspektif. Pertama, perspektif yang mainstream. Ini perspektif yang sudah menjadi “conventional wisdom,” sejak dulu hingga sekarang. Prinsip ini dipegang teguh oleh MUI di Indonesia.
Perspektif ini mengatakan kurban hewan itu sentral dan menyatu dengan Idul Adha. Ia bagian dari kisah Nabi Ibrahim sendiri yang waktu itu mendapatkan satu pandangan untuk menguji kesetiaannya kepada Tuhan.
Bahkan Nabi Ibrahim diuji untuk mengorbankan anaknya dalam rangka cintanya kepada Tuhan.
Soal anak ini kemudian diganti dengan hewan.
Dalam narasi di atas, hewan itu sentral sebagai bagian dari cerita Nabi Ibrahim dan ritus Idul Adha.
Dalam pandangan MUI, tak ada kompromi. Hewan adalah kurban dalam ritus Idul Adha tak bisa digantikan, apapun alasannya. Tak ada diskusi. Stop. Ikuti saja.
Pandangan kedua dari Muhammadiyah. Lembaga ini lebih kompromis dibanding MUI. Muhammadiyah mengatakan untuk kasus tertentu saja, kurban hewan bisa digantikan dengan katakanlah sedekah.
Dan itu sudah terjadi, dan pernah diumumkan resmi oleh pimpinan Muhammadiyah sendiri.
Di era Covid-19 di tahun 2020, PP Muhammadiyah sarankan untuk tahun itu kurban hewan bisa diganti sedekah.
Saat itu, susah bagi kita untuk berkumpul. Wabah Covid-19 masih di mana-mana. Jauh lebih aman jika kita tidak berkumpul.
Kurban hewan pun saat itu bisa digantikan oleh sedekah, oleh dana tunai, misalnya.
Sementara bagi MUI, bahkan di era Covid-19 pun, tak ada ceritanya, tak boleh itu. Hewan tetap saja tak bisa digantikan oleh non-hewan dalam rangka kurban Idul Adha.
Ketiga, perspektif yang diwakili oleh Shahid Ali Mutaqqi. Ia memulai dengan memberikan tafsir yang berbeda atas ayat Quran.
Menurutnya, yang dipentingkan dalam kurban dan kisah Nabi Ibrahim itu bukan fisik hewannya.
Yang esensial dari ayat Quran itu adalah ekspresi ketakwaan manusia. Manusia bahkan harus mengalahkan kecintaan kepada anak kandungnya sendiri.
Secara filosofis, Tuhan digambarkan sebagai pusat kebenaran. Kisah Ibrahim cerita tentang dedikasi orang yang saleh kepada kebenaran itu, mengalahkan bahkan cinta kepada anak kandung.
Memperingati Idul Adha, kita memperingati komitmen untuk lebih cinta pada kebenaran ketimbang kepada yang lainnya.
Dalam narasi ini, kurban hewan tidak esensial. Ia bisa ditafsir ulang. Kita bisa untuk tidak lagi menjadikan hewan secara massa sebagai kurban ritus agama.
Per hari ini tentu saja pandangan dari Shahid Ali Mutaqqi ini opini yang minor. Ia hanya pandangan alternatif saja. Bahkan mungkin oleh sebagian dianggap pandangan yang nyeleneh.
Namun ada berbagai kondisi yang pelan-pelan membuat pandangan Shahid Ali Mutaqqi mendapat dukungan yang menguat dan menguat lagi.
Konteks sosial zaman baru, zaman yang berubah, akan lebih menguatkah spirit tak lagi ingin hewan dijadikan kurban ritus agama?
Tiga hal yang bisa membuat pandangan dari Shahid Ali Mutaqqi ini menguat dan potensial lebih banyak lagi yang mendukung tafsir ini.
Pertama adalah kesepakatan pada filsafat dari tafsir itu. Mereka yang setuju memahami bahwa kisah Nabi Ibrahim itu lebih kuat pada ajaran moralnya.
Bahwa ini kisah bagaimana seorang insan manusia, seorang nabi akhirnya memilih lebih cinta pada Tuhan, lebih cinta pada kebenaran ketimbang cinta bahkan kepada anak kandungnya sendiri. Kisah hewan sebagai kurban bukan pesan utama.
Filosofi ini sangat dalam. Menyentuh. Prinsip moralnya melampaui sekedar kisah kurban hewan belaka.
Kedua: keberagaman dimensi sosial yang lebih terlayani, jika kurban itu tidak harus hewan. Kurban juga bisa dalam bentuk derma, dana tunai, dan sebagainya.
Pada segmen masyarakat yang membutuhkan daging hewan, mereka tetap bisa terlayani. Tapi di segmen yang lebih membutuhkan dana untuk pendidikan, mereka juga bisa diakomodasi. Di segmen yang lebih perlu fasilitas kesehatan, itu pun bisa diberikan.
Jika kurbannya berupa dana, maka kurban ini bisa disalurkan lebih bervariasi. Kurban dapat dibagikan sesuai kebutuhan dari masing-masing segmen yang akan dibantu.
Ketiga: ini era lahirnya kesadaran yang lebih kuat soal lingkungan hidup dan animal rights. Muncul banyak gerakan dan civil society tentang pentingnya hewan untuk lebih dilindungi.
Ini era dimana kedekatan manusia dengan hewan itu semakin kuat dan dalam dibanding babak sejarah sebelumnya.
Data menunjukkan di Amerika Serikat juga di Eropa, lebih dari 50% rumah tangga sekarang ini memelihara hewan. Tak hanya anjing, tapi juga kucing.
Dan semakin banyak pula riset-riset menunjukkan bahwa, hewan pun memiliki kesadaran.
Artificial intelligence memang cerdas, tapi ia hanya punya intelligence. Artificial intelligence tidak memiliki kesadaran.
Tapi apa itu kesadaran? Kesadaran adalah subyek yang bisa menderita. Jika ia bisa menderita, berarti ia punya kesadaran. Ia bisa senang, ia bisa sedih.
Itu ditunjukkan oleh hewan seperti anjing dan kucing. Mereka bisa menampakkan ekspresinya yang sedih, bingung, menangis, dan gembira.
Banyak di antara kita yang mungkin menonton film *Hachiko* (2009). Film ini diperankan oleh Richard Gere.
Itu kisah true story, bagaimana seekor anjing bertahun-tahun menunggu di stasiun, menunggu tuannya pulang, dan turun dari kereta.
Suatu ketika tuannya wafat di tempat lain. Anjing itu tidak tahu. Namun ia tetap menunggu dengan setia di stasiun kepulangan tuannya, bertahun-tahun. Anjing itu tetap menunggu sampai ia sendiri wafat.
Itu peristiwa yang heboh. Hachiko pun dibuatkan patungnya di sebuah stasiun. Patung tersebut simbol kesetiaan seekor anjing kepada tuannya.
Gelombang baru animal rights mempengaruhi dukungan untuk tidak lagi menjadikan hewan sebagai bagian dari ritus agama.
Bisa saja sebagian mereka tetap memakan hewan. Itu bagian dari kebutuhan pada vitamin hewan. Tapi mereka tak lagi nyaman menjadikan hewan secara massal disembelih, dengan darah yang mengucur, sebagai bagian dari ritus agama.
Dihadapan kita kini terhidang tiga pandangan. Pertama, pandangan majority, dengan MUI sebagai jangkarnya. Kurban hewan itu tak bisa diganti. Tak ada perkecualian.
Kedua, pandangan Muhammadiyah. Untuk kasus khusus, seperti di era Covid-19, kurban hewan bisa diganti.
Ketiga, pandangan yang diwakili oleh Shahid Ali Mutaqqi. Saatnya. kita tak lagi menyembelih hewan secara massal, sebagai bagian ritus agama.
Bagaimana kita menyikapi hal ini? Jangankan perbedaan tafsir. Perbedaan fakta pun sudah kita terima.
Contoh sederhana kasus Nabi Ibrahim ini sendiri. Agama Kristen meyakini anak yang dikurbankan itu adalah Ishak bukan yang lain.
Tapi agama Islam meyakini anak yang dikurbankan itu adalah Ismail bukan yang lain.
Ada dua fakta yang berbeda, satu Ishak, satu Ismail. Pasti ada yang salah diantara dua fakta berbeda itu: Ishak atau Ismail. Mustahil dua fakta yang bertentangan itu benar keduanya.
Agama Kristen dan agama Islam dua-duanya sudah lahir lebih dari seribu tahun. Kedua agama dianut lebih dari satu miliar manusia.
Kita belajar dari kasus ini. Fakta yang salah pun pun bisa terus diyakini oleh lebih dari satu miliar manusia dan dipeluk lebih dari seribu tahun.
Namun ini era kita tak lagi bicara salah dan benar. Ini zaman kita menghormati saja apa yang menjadi keyakinan.
Jika soal perbedaan fakta saja kita bisa toleran, apalagi perbedaan tafsir.
Biarkan perbedaan tafsir itu tumbuh dan biarkan publik sendiri yang memilih sesuai dengan spirit zamannya.
Menjadikan hewan yang dikurbankan sebagai ritus agama potensial semakin dipertanyakan di era menguatnya animal rights.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastarawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.