telusur.co.id - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menyoroti pentingnya keterlibatan publik dalam penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) Kesehatan. Edy pun menyatakan keprihatinannya atas kurangnya keterlibatan publik dalam penyusunan PP ini.
"Memang disayangkan kalau dalam menyusun PP ini keterlibatan publik kurang, kalau Komisi IX sudah seringkali rapat tapi dalam konteks menyusun PP ini sudah wewenangnya pemerintah," kata Edy dalam diskusi Forum Legislasi bertema "Pemerintah Terbitkan Aturan Pelaksana UU Kesehatan, Langkah Cepat Lindungi Kesehatan Masyarakat!" di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (6/8/24).
Lebih lanjut, Edy menjelaskan bahwa DPR telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk menyusun PP meskipun ada harapan bahwa PP tersebut harus sesuai dengan yang ada di undang-undang.
"Kami inginnya PP sesuai dengan yang ada di undang-undang tapi ini semua jadi satu PP Omnibus. Saya baca 1.172 pasal ini bagian anggota DPR," kata Politisi PDI Perjuangan ini.
Edy juga menyoroti perdebatan soal mandatory spending dalam rapat Panja, di mana pemerintah tidak lagi ingin anggaran terkotak-kotak.
"Kami waktu itu menuntut mandatory spending di antara setengah sampai 10% contohnya anatomi APBN menjadi lebih sulit," jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya menyusun rencana induk pembangunan bidang kesehatan sebagai acuan untuk anggaran berbasis kinerja.
"Mudah-mudahan nanti menteri kesehatan ke depan lebih memiliki frame formula rencana induk pembangunan bidang kesehatan," harapnya.
Pembahasan UU Kesehatan yang menurutnya sudah dilakukan sejak awal periode DPR RI 2019-2024 ini juga diakui memiliki banyak perubahan karena undang-undang sebelumnya sangat fragmented dan saling bertabrakan. Oleh karena itu, transformasi kesehatan dipercepat untuk mengatasi lambatnya komunikasi data dan memperkuat paradigma sehat.
Edy juga menekankan pentingnya layanan kesehatan rujukan yang mencerminkan keadilan sosial serta kemandirian dalam bidang kesehatan, termasuk kemandirian bahan baku obat farmasi yang masih banyak diimpor.
"Riset didorong, pusat-pusat penelitian didorong," tambahnya.
Terkait dengan pembiayaan kesehatan, Edy mencatat bahwa kepesertaan sudah di atas 90%, namun masih belum mampu mengcover semua kebutuhan kesehatan. Oleh karena itu, masuknya asuransi kesehatan swasta menjadi perdebatan tersendiri.
Selain itu, Edy menyoroti pentingnya peran SDM kesehatan dan instrumen profesi kesehatan dalam mencapai keseimbangan baru tanpa saling benturan.
"Lalu IDI dulu masuk ke majelis disiplin di foto jadi banyak wewenang IDI yang memang terkurangi," jelasnya.
Dengan berbagai perubahan ini, diharapkan UU Kesehatan dapat lebih melindungi tenaga kesehatan dan memajukan riset di bidang kesehatan.
"Undang-undang ini lebih pro pada perlindungan tenaga kesehatan," pungkas Edy. [Tp]