telusur.co.id - Seperti yang kita ketahui bersama bahwa urusan masyarakat Adat hingga saat ini belum menjadi urusan yang diperhatikan oleh Negara terkhusus Pemerintah. Padahal UUD 1945 telah menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat.
Viktor Santoso Tandiasa (VST), Kuasa hukum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) mencontohkan, tentang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat yang seharusnya dapat terakomodir dalam RUU Masyarakat Adat yang hingga kini belum juga di sahkan.
Selain itu terhadap urusan-urusan masyarakat adat yang masih terpecah dilintas kementerian (kemendagri, kementerian atr bpn, kementerian kehutanan, kememterian desa, kementerian kelautan) yang mengakibatkan terjadinya benturan ego sektoral yang kerap terjadi terhadap urusan-urusan yang saling beririsan lintas kementerian tersebut.
“Oleh karenanya Asosiasi Pengajar Hukum Adat mempelopori upaya Pengujian UU Kementerian Negara dengan meminta dimasukannya frasa "Masyarakat Hukum Adat" dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara agar Pembentukan Kementerian Masyarakat Hukum Adat menjadi dapat dilakukan,” kata Victor dalam keterangan tertulisnya , Senin (1/7/2024).
Sehingga sambungnya, semua urusan-urusan yang menyangkut masyarakat hukum adat, seperti menginventarisir keberadaan masyarakat adat untuk dapat diberikan penetapan sebagai masyarakat hukum adat, pengembalian hak pengelolaan hutan/lahan, hingga menginventarisir tanah-tanah ulayat yang ada dan yang direbut oleh korporasi-korporasi untuk kepentingan swasta dapat dikembalikan kepada masyarakat hukum adat tersebut.
“APHA berharap semua kelompok yang memiliki kepentingan yang sama dapat bergabung dalam upaya ini,” paparnya.
Untuk diketahui permohonan telah didaftar pada tanggal 20 Mei 2024, dengan nomor pendaftaran 59/PUU/PAN.MK/AP3/05/2024. Sehingga kami berharap Mahkamah Konstitusi dapat segera meregistrasi agar bisa segera terjadwalkan untuk dapat disidangkan.
Memang sejak bulan april hingga bulan junin2024 proses penanganan perkara Pengujian Undang-Undang di MK sempat terhenti karena adanya penanganan perkara PHPU legislatif dan PHPU Presiden dan Wakil Presiden, dan setelah itu MK kembali memproses penanganan perkara PUU dimulai tanggal 1 Juli 2024, baik proses peregistrasian perkara yang telah banyak antri terdaftar selama penanganan PHPU, hingga proses persidangangan yang sempat terhenti. Apabila kami melihat proses peregistrasian perkara-perkara yang telah terdaftar.
“Dalam proses peregistrasian yang dilakukan oleh MK terhadap perkara-perkara tersebut, terlihat banyak yang melompat-lompat tidak sesuai dengan nomor urut pendaftaran perkara. Padahal seharusnya peregistrasian perkara tersebut selama dokumen perkaranya sudah lengkap, mahkamah secara berurut meregistrasi perkara tersebut tidak melompat-lompat sehingga tidak menimbulkan presepsi "lain" seperti seakan ingin perkaranya didahulukan untuk disidangkan, “ tutupnya.(fie)