telusur.co.id - Kebijakan pungutan ekspor (Levy) minyak sawit di Indonesia pungutan ekspor dengan metode tak langsung tersebut selalu ditempuh pemerintah. 

Ketua Umum Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) MA.Muhamadyah mengatakan, banyak studi yang membuktikan kebijakan tersebut merugikan industri perkebunan, dan petani sawit. Kebijakan pungutan ekspor yang dilakukan secara tak langsung (specific-levy)  akan menaikkan harga CPO dunia, namun menurunkan harga CPO/TBS domestik, sehingga menciptakan disparitas harga CPO dunia dengan harga CPO domestik.

Kebijakan yang demikian akan merugikan produsen CPO/TBS domestik termasuk petani sawit yang ada pada 190 kabupaten di Indonesia.

"Industri biodisel domestik diperkirakan menikmati manfaat ganda yakni makin murahnya harga bahan baku (CPO) dan subsidi dari pungutan ekspor. Namun secara keseluruhan Indonesia dirugikan," kata Muhamadyah dalam keteranganya, Senin (11/7/22).

Sementara, sambungnya, negara eksportir minyak sawit dunia, selain Indonesia akan menikmati manfaat, termasuk perusahaan Indonesia yang bergerak pada industri minyak sawit di negara lain.

Berbeda Kebijakan pungutan ekspor yang dilakukan dengan cara langsung (lump-sum levy), dan penggunaan dana pungutan untuk subsidi bunga kredit industri minyak sawit, merupakan kebijakan yang terbaik dan menguntungkan semua pelaku industri minyak sawit termasuk pemerintah.


Selain itu, harga CPO domestik akan tertekan akibat pungutan ekspor. Dan akan makin tertekan jika harga CPO dunia melewati USD 750 dimana tarif BK mulai berlaku.

"Rekanan terhadap harga CPO/TBS domestik yang demikian tampaknya sulit diimbangi oleh peningkatan penyerapan CPO di dalam negeri. Karena tambahan penyerapan CPO di dalam negeri tidak terlalu besar dibandingkan dengan produksi CPO dalam negeri," ujarnya.

Mengacu pada pengalaman Indonesia tahun-tahun sebelumnya, nilai penurunan manfaat yang diderita produsen CPO/TBS lebih besar dari tambahan manfaat yang dinikmati industri hilir biodiesel dan konsumen. Sehingga secara keseluruhan Indonesia dirugikan (worse-off).

"Dengan menpertahan pungutan Ekspor CPO maka pemerintah secara tidak langsung sedang mematikan industri sawit petani sawit. Bahkan akan menciptakan krisis ekonomi jika petani sawit dan industri perkebunan sawit terus merugi berdampak pada kredit macet di perbankan nasional. Nah siap-siap aja krisis ekonomi terjadi," paparnya.

Pemerintah sedang berupaya membuka kembali  ekspor CPO dan produk turunannya seiring terpenuhinya kebutuhan minyak goreng dalam negeri. Namun permasalahan yang belum usai sampai hari ini adalah pemberlakuan Pungutan Ekspor (Levy) 

Saat ini harga rata-rata CPO di USD 1.615 perton dan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.103 /PMK.05/2022 akandikenakan Levy sebesar USD 200 dan bea keluar sebesar USD 280. Bahkan pengenaan pungutan Levy lebih dari 90 persen digunakan untuk subsidi program biodiesel.

HIP BBM per bulan Juli 2022 sebesar Rp. 15.118 perliter sedangkan HIP BBN sebesar Rp. 11.070 perliter. Artinya saat ini harga BBM lebih tinggi dari BBN, tidak diperlukan subsidi.

"Pungutan Levy memberatkan dan menekan harga CPO dan TBS, perlu dihapus agar tidak memberatkan Petani," ucapnya. (Tp)