Arah Sistem Politik Indonesia 2025: Konsolidasi Demokrasi atau Awal Otoritarianisme - Telusur

Arah Sistem Politik Indonesia 2025: Konsolidasi Demokrasi atau Awal Otoritarianisme


Telusur.co.id -Oleh:Nitya Nasywa Nareswari, Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Sistem politik Indonesia memasuki babak baru pada 2025, diwarnai dengan dinamika yang cukup tajam antara upaya memperkuat pemerintahan dan kekhawatiran publik terhadap kemunduran demokrasi. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka membawa semangat baru, namun juga kontroversi. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah pengesahan revisi Undang-Undang TNI pada Maret 2025 yang membuka peluang bagi perwira aktif untuk mengisi jabatan sipil. Langkah ini mengundang kritik tajam dari aktivis demokrasi dan pengamat politik. “Ini mengingatkan kita pada praktik dwi fungsi militer era Orde Baru,” ujar Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari STHI
Jentera.

Presiden Prabowo membela kebijakan ini sebagai bentuk adaptasi militer terhadap tantangan zaman. Dalam sebuah pidato di Kemenhan, ia mengatakan, “Saya tidak ingin Indonesia menjadi negara yang lembek. Disiplin militer harus menjadi nilai dasar dalam birokrasi modern kita.” Meski pernyataan ini menuai tepuk tangan dari para pendukungnya, banyak pihak khawatir bahwa militerisasi birokrasi bisa memperlemah kontrol sipil dan menimbulkan konflik kepentingan. Amnesty International bahkan menyebut langkah ini sebagai “ancaman terhadap akuntabilitas publik”.

Selain perluasan peran militer pemerintah juga mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 yang memangkas anggaran kementerian/lembaga hingga Rp 306,7 triliun. Dana besar dialihkan ke program andalan seperti “makan siang gratis” yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia. Namun kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan. Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira menyebut, pemotongan ini berdampak langsung pada pelayanan publik, termasuk kesehatan dan pendidikan. Apalagi dilakukan tanpa kajian partisipatif.

Di sisi lain lembaga survei seperti Indikator Politik Indonesia mencatat bahwa kepercayaan publik terhadap Prabowo masih tinggi. Dalam survei Oktober 2024, sebanyak 85,3% responden menyatakan yakin bahwa Prabowo dapat membawa Indonesia lebih baik. Meski demikian, Direktur Eksekutif Burhanuddin Muhtadi mengingatkan bahwa dukungan tersebut
bersifat fluktuatif. “Jika janji-janji besar seperti pertumbuhan 8% dan program sosial tak terealisasi, maka legitimasi akan runtuh cepat,” tegasnya.

Isu yang tak kalah krusial adalah politik dinasti. Kehadiran Gibran sebagai wakil presiden memicu perdebatan etis dan moral dalam demokrasi. Apalagi setelah muncul wacana pembentukan daerah otonomi khusus Solo, kota asal Gibran. Lembaga survei SMRC menunjukkan bahwa 68% publik menolak praktik politik dinasti karena dianggap melemahkan meritokrasi.

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie bahkan menyatakan, “Politik dinasti yang dilegalkan akan membawa kita mundur ke zaman feodal.” Melihat dinamika ini sistem politik Indonesia sedang berada di titik kritis: antara memperkuat
efektivitas pemerintahan atau membuka jalan menuju otoritarianisme gaya baru. Demokrasi prosedural seperti pemilu masih berjalan, namun demokrasi substanti yakni keterlibatan rakyat, transparansi, dan pembatasan kekuasaa mengalami tekanan. Jika pemerintah tidak memperkuat checks and balances, melindungi kebebasan sipil, serta menahan dominasi elit dan militer, maka semangat reformasi 1998 berpotensi tergerus dalam waktu dekat.


Tinggalkan Komentar