telusur.co.id - BAP DPD RI menemukan beban anggaran sharing antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pemda) dengan pola dan mekanisme yang bervariasi di beberapa daerah yang cukup memberatkan Pemda setempat. BAP DPD RI menilai kemampuan keuangan pemerintah pusat terbatas untuk mencapai target JKN sebesar 100%. Hal ini berdampak pada pola dan mekanisme sharing pemerintah daerah untuk membayarkan porsi iuran masyarakat.
“BAP fokus terhadap permasalahan JKN untuk mencari solusi sharing premi di pemerintah daerah agar tidak menjadi beban berat. Karena saat ini kisaran 45-55% menjadi kewajiban (Pemda) dan membebani APBD mereka,” ujar Ketua BAP Ajiep Padindang didampingi Wakil Ketua BAP DPD RI Mirati Dewaningsih, Arniza Nilawati beserta anggota BAP DPD RI, di Gedung DPD RI, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (16/11/22).
Pada kesempatan itu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang juga mantan Pansel Dewan Pengawas BPJS Hasbullah Thabrany mengemukakan latar belakang desain JKN saat ini karena untuk disesuaikan dengan karakteristik kebutuhan dasar kesehatan/ Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia. Menurutnya, pelayanan kesehatan dokter, rumah sakit, klinik, saat ini memegang kendali besar dan pasien memiliki posisi yang sangat lemah. Hal ini menyebabkan mekanisme pasar tidak berjalan karena konsumen tidak punya daya tawar.
“Tugas Negara untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, salah satunya kesehatan. Saat ini belanja kesehatan Indonesia masih kecil dibanding negara asia lainnya. Sumbernya dari pajak dan pungutan wajib, harus dicari sumber pembiayaan lainnya yang meringankan masyarakat,” jelas Hasbullah.
Sementara itu, Ketua Dewas RS Harapan Jayakarta yang juga Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Hermawan Saputra menambahkan, berdasarkan sensus penduduk tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia mencapai 270,2 juta jiwa. Hal tersebut memunculkan anggaran biaya yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan dasar di sektor kesehatan.
“Problema kesehatan masyarakat dalam BPJS yang ditemui saat ini antaranya masalah tarif, standarisasi kualitas verifikator, masalah administrasi klaim BPJS dengan digitalisasi. Misal, masih ditemukan harus ada yang dicetak dan tanda tangan basah. Seharusnya sudah serba digital untuk memenuhi kecepatan dan ketepatan pelayanan kesehatan,” kata Hermawan.
Hermawan menambahkan, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan terlalu fokus pada peranan penanganan orang-orang yang sakit saja. Seharusnya Kemenkes dapat lebih fokus pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui penciptaan sistem kesehatan nasional yang ideal.
“Pasal 7 UU No. 24/2011 tentang BPJS menyebutkan bahwa badan hukum publik yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Kemudian dalam RUU Kesehatan Omnibuslaw, ada wacana jika BPJS Kesehatan nantinya akan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri kesehatan,” imbuhnya.
“Hal ini terkait permasalahan dari mulai data kepersertaan BPJS yang terhubung dengan Nomor Induk Kependudukan pola dan mekanisme sharing pembiayaan premi yang dibebankan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,” pungkas Ajiep Padindang.]]