Bawa Kasus Restrukturisasi Kredit Macet ke Ranah Pidana Korupsi, Kejagung Bisa Digugat - Telusur

Bawa Kasus Restrukturisasi Kredit Macet ke Ranah Pidana Korupsi, Kejagung Bisa Digugat

Penasihat hukum terdakwa kasus kredit macet, Jasmina Julie Fatima, Petrus Selestinus. (Foto: telusur.co.id/Fahri)

telusur.co.id - Kasus kredit macet di Bank ternyata bisa menyeret seseorang masuk penjara. Hal ini pula yang dialami Direktur Utama PT Jazmina Asri Kreasi (JAK) Jasmina Julie Fatima bersama Komisaris PT JAK Max Julisar Indra, Staf Keuangan PT JAK Sunarya, Staf Administrasi PT JAK Annastasia Rany Nur, dan Relationship Manager BRI cabang Tanah Abang Shinta Dewi Kusumawardhany.

Jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menuntut mereka secara pidana korupsi dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit Briguna oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Tanah Abang kepada para karyawan PT JAK. Tak tanggung-tanggung, Jaksa menuntut Jasmina dengan pidana 16 tahun penjara ditambah Subsider 8 tahun penjara, jadi total 24 tahun.

Menanggapi hal itu, salah satu penasihat hukum terdakwa Jasmina Julie Fatima, Petrus Selestinus mengaku heran, kasus kredit macet yang sedang diselesaikan dengan rekstrukturisasi, tiba-tiba Jaksa menggunakan kaca mata kuda ditarik ke ranah pidana korupsi, dan dituduh korupsi pula.

"Jadi begini, sebetulnya ini kan masalah kredit macet yang sudah direstrukturisasi, artinya Pihak BRI dan PT. JAK sudah terikat sacara hukum dan sudah memenuhi asas dalam UU Perbankan, tetapi jaksa tiba-tiba menarik ke pidana, karena Jaksa telah keliru menilai seolah-olah bank BRI adalah bank 100 persen milik negara dan dianggap merugikan Negara. Ini perspektif Jaksa yang keliru bahkan melanggar hukum, kan aneh dan lucu," ujar Petrus saat ditemui di PN Jakarta Pusat setelah sidang pleidoi kliennya Jasmina Julie Fatima dkk, Kamis (25/11/21).

Padahal, kata Petrus, dalam Undang-Undang BUMN sudah sangat jelas, bahwa BRI tunduk pada UU PT, meski BRI adalah Bank Pemerintah yang sebagian sahamnya milik Pemerintah dan sebagian lagi milik masyarakat karena BRI sudah "Go Public" yang menjalankan misi bisnis untuk mencari keuntungan dan diatur dalam suatu Perikatan Persata, maka  jika ada masalah kredit macet, penyelesaiannya adalah restrukturisasi. Karena Bank BRI tunduk pada UU Perseroan Terbatas berdasarkan pada pasal 11 UU BUMN, disamping itu ada jaminan Asuransi Jiwa, Asuransi PHK, Asuransi Kredit Macet, Asuransi Kebakaran dan Asuransi lainnya.

Artinya bila ada kredit macet di Bank BRI atau Bank BUMN lainnya, dan bila kredit macet tersebut dianggap sebagai kerugian, maka kerugian tersebut bukanlah kerugian negara, melainkan kerugian Bank BRI itu sendiri nanti BRI-lah yang bertanggung jawab kepada Negara. Karena apabila kerugian Bank BRI adalah kerugian negara, maka apabila Bank BRI ini pailit, itu berarti negara ikut menjadi pailit.

Inilah, kata Petrus, logika Kejaksaan yang harus dikoreksi. Jika cara pandang demikian dibiarkan, maka Kejaksaan akan digugat sebagai telah melakukan perbuatan melawan hukum, apalagi membunuh kemampuan Debitur untuk mengembalikan hutang macet yang sudah direstrukturisasi dalam suatu Perjanjian Restrukturisasi.

Cara pandang jaksa yang konvensional atau kuno inilah yang wajib dikoreksi, jika perlu melalui  gugatan perdata ke Pengadilan. Demikian yang ada di dalam pikiran publik terutama debitur terhadap Jaksa.

“Apalagi Jaksa Agung sendiri, termasuk Kapolri, juga MA-RI, itu sedang gencar menerapkan asas Ultimum Remidium dan Restorative Justice dalam kasus pidana, untuk mengurangi orang yang dipenjara supaya anggaran negara tidak habis cuma untuk membangun penjara, artinya tindak pidana bisa dikesampingkan bila sudah ada solusi perdamaian diantara para pihak, dalam kredit macet solusinya adalah Restrukturisasi," bebernya.

"Di sini yang sangat kami sesalkan adalah kenapa kok jaksa berani mengkhianati bahkan menentang pimpinan tertingginya  Jaksa Agung, terkait asas Ultimum Remidium dan Restorative Justice ini. Jaksa secara serampangan telah menggunakan kaca mata kuda, menyalahgunakan kewenangannya dengan menyeret kasus kredit macet yang sedang berjalan dan telah direstrukturisasi ini ke ranah pidana, tindak pidana korupsi pula, tanpa rasa bersalah," urainya.

"Ini enggak main-main lho, terdakwa Jasmina ini dituntut 16 tahun plus subsider 8 tahun, jadi totalnya 24 tahun, ini sangat luar biasa," tambahnya.

Untuk itu, Petrus berharap agar Jaksa Agung mendengar dan segera menertibkan para Jaksa yang dianggap serampangan dan insubordinasi serta menyalahgunakan kewenangannya yang diberikan oleh negara, tentunya jaksa seperti ini harus diberi tindakan hukum dan diberi sanksi hukum dan administrasi.

"Saya berharap Jaksa Agung mendengar masalah ini dan kemudian menertibkan jaksa-jaksa yang telah menyalahgunakan kewenangannya yang diberikan oleh negara itu," pungkas Petrus.

Sementara itu, terdakwa Jasmina Julie Fatima usai menjalani persidangan meminta agar Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada dirinya untuk menyelesaikan restrukturisasi bertanggal 28 Mei 2020 yang sudah disepakati bersama dengan Bank BRI Kantor Cabang Jakarta Tanah Abang yang kemudian dikacaukan oleh pemeriksaan Jaksa yang mengintervensi ranah perdata yang digiring ke pidana," ujar Petrus.

“Kami harapkan kepada yang mulia majelis hakim agar dalam memberikan putusan tetap bisa berpedoman pada UU BUMN, UU Perbankan, UU Perseroan Terbatas, UU Keuangan Negara, dan UU terkait lainnya yang tentunya sesuai arahan Mahkamah Agung untuk mengedepankan asas Ultimum Remidium dan Restorative Justice," sambungnya.

Namun, lanjut dia, apabila Majelis Hakim sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum untuk menghukum terdakwa, maka bersiaplah para Debitor Bank BRI dan Bank BUMN lainnya, diantaranya adalah para debitor KPR Bank BTN yang banyak dari masyarakat kecil, dan Debitor KPR dari Bank BUMN lainnya yang kreditnya macet untuk dijadikan koruptor oleh Jaksa.

"Karena dianggap telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, seperti klien kami, yang mana sesungguhnya adalah klien kami mengambil-alih tanggung jawab kredit macet dari para karyawannya dengan melakukan restrukturisasi yang dijamin Personal Guarantee dari klien kami," terangnya.

Dengan disepakatinya Restrukturisasi Kredit ini, lanjut dia, artinya sudah mengesampingkan tindak pidana sebelumnya, bila ada. Initinya Kejaksaan Agung harus memberikan perhatian khusus dalam kasus kredit macet pengusaha kecil yang punya sumbangsih besar dalam memperkuat ekonomi secara nasional.

Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Bima Suprayoga menyebut bahwa Jasmina Julie Fatima disamping dituntut Dakwaan Primer 16 tahun, juga dituntut membayar denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti sebesar Rp57,395 miliar subsider 8 tahun penjara.

Selain Jasmina, tuntutan juga dijatuhkan terhadap Komisaris PT JAK Max Julisar Indra, Staf Keuangan PT JAK Sunarya, Staf Administrasi PT JAK Annastasia Rany Nur, dan Relationship Manager BRI cabang Tanah Abang Shinta Dewi Kusumawardhany.

Dalam sidang pembacaan tuntutan yang digelar Senin (8/11/21), jaksa penuntut umum menuntut Max dan Shinta pidana penjara 12 tahun. Adapun denda yang dituntut jaksa terhadap Max adalah Rp750 juta subsider 6 bulan dan uang pengganti Rp22,09 milyar subsider 6 tahun penjara.

Adapun terdakwa Sunarya dituntut pidana penjara 10 tahun, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp7,598 miliar subsider 5 tahun penjara.

Sedangkan Annastasia dituntut pidana penjara 8 tahun, denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp1,544 miliar subsider 4 tahun penjara.

Terhadap terdakwa Shinta, tuntutannya adalah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti 5,625 miliar.

Menurut Bima, rasuah tersebut terjadi antara 2016-2019 saat BRI cabang Tanah Abang mengucurkan kredit BRIGUNA kepada pegawai tetap PT JAK sejumlah 940 nasabah. Ia menyebut proses pengajuannya menggunakan data yang tidak benar.

"Sesuai dengan hasil audit kerugian keuangan negara oleh BPKP Provinsi DKI Jakarta, telah ditetapkan kerugian keuangan negara sebesar Rp95.404.225.425,” jelas Bima melalui keterangan tertulis.

Kerugian itu, lanjut Bima, dinikmati lima orang terdakwa yang nominalnya masing-masing sesuai dengan tuntutan pidana uang pengganti jaksa. Selain lima orang tersebut, kerugian itu juga dinikmati satu orang yang masih berstatus tersangka, yakni Dinni Nurdiana sejumlah Rp1,150 miliar.

Bima menyebut saat ini Dinni masih dalam proses persiapan pelimpahan. "Penyidik telah melakukan penyitaan terhadap barang-barang milik terdakwa berupa benda bergerak dan tidak bergerak yang dalam tuntutannya JPU menuntut agar dirampas untuk negara Cq Bank BRI sebagai pengurang uang pengganti yang dibebankan kepada masing-masing terdakwa," papar Bima.

Jaksa mendakwakan kelima orang tersebut dengan dakwaan primer Pasal 2 Ayat (1) subsider Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. [Tp]


Tinggalkan Komentar