telusur.co.id - Mahkamah Konstitusi melakukan sidang pengujian UU KPK yang baru diketok oleh DPR RI.
Setelah mendengar, pemaparan pemohonan pengujian UU KPK yang baru dari pemohon. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menilai, permohonan pengujian UU yang dilakukan pemohon masih terlalu dini dilakukan.
Sebab, UU KPK yang baru saat ini belum ditanda tangani oleh Presiden RI dan menjadi lembaran negara. “UU ini belum disahkan. Di DPR baru persetujuan. Nah, kalau sudah ditandatangani oleh presiden maka itu baru sah,” ujar Wahiduddin di MK, Jakarta, Senin (30/9/19).
Melihat UU KPK yang baru belum menjadi lembaran negara, disebut Wahiduddin, sangat tidak mungkin MK melakukan pengujian lebih lanjut.
Karena, disebutnya, dalam legalitas UU yang dimohon untuk diuji adalah UU No 30 tahun 2002, tapi UU itu sudah dirubah DPR. "Mohon untuk diperhatikan. Ini terburu-buru,” sebut Wahiduddin.
Senada dengan Wahiduddin, Hakim Konstitusi lainnya, Enny Nurbaningsih juga menilai, pengujian UU yang belum menjadi lembaran negara akan menyulitkan MK untuk memutuskan.
Menurut Enny, hal itu karena UU itu belum menjadi objek hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. “Ini saya melihat, mau menguji apa. Formil apa materil? Objeknya dah jelas belum? Kalau belum jelas objeknya, apa yang mau diujikan. Kalau titik-titik belum menjadi objek pengujian,” tambah Enny.
Seperti diketahui, meski belum ditanda tangani oleh Presiden RI, delapan belas Mahasiswa dari sekolah tinggi berbeda, mengajukan pengujian UU KPK yang baru diketok oleh DPR RI, beberapa waktu lalu.
18 orang mahasiswa yang berasal dari sejumlah universitas pada Rabu (18/9/2019). Itu, Mereka mengajukan gugatan formil dan materiil. Pada gugatan formil, para penggugat menyoal proses pembentukan UU yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
Alasannya, rapat-rapat pembahasan revisi UU KPK yang dilakukan tertutup sehingga tidak memenuhi asas keterbukaan yang diatur dalam UU Nomor 11 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, mereka juga menggugat rapat paripurna DPR yang hanya dihadiri 80 anggota DPR. Padahal pemimpin sidang paripurna DPR, Fahri Hamzah, menyatakan ada 289 yang tercatat hadir dan izin, dari 560 anggota dewan.
Sementara dalam gugatan materiil, para penggugat menyoal syarat pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 29 UU KPK.
Sejumlah syarat di antaranya tidak pernah melakukan perbuatan tercela, memiliki reputasi yang baik, dan melepaskan jabatan struktural atau jabatan lain selama menjadi bagian KPK.
Selanjutnya, para penggugat meminta MK memutus uji formiil dan materil sebelum putusan akhir lantaran pimpinan KPK yang baru akan segera dilantik pada Desember 2019. [Ham]