Benahi Perusahaan Malah Jadi TSK, Eks Manajer Anak Usaha Indofarma Tempuh Praperadilan - Telusur

Benahi Perusahaan Malah Jadi TSK, Eks Manajer Anak Usaha Indofarma Tempuh Praperadilan

Pengacara Agus Wijayanto SH. MH (tengah).Foto: Ist

telusur.co.id -Mantan Head of Finance PT Indofarma Global Medika yang merupakan anak usaha dari PT Indofarma Tbk, CSY, berencana melayangkan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

CSY sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka bersama dua orang lainnya terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan PT Indofarma Tbk dan Anak Perusahaan Tahun 2020-2023. Ia ditetapkan tersangka oleh Kejati Jakarta pada Kamis (19/9/2024) lalu.

"Kami sedang mempersiapkan langkah hukum, mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," tegas kuasa hukum CSR, Hendrikus Hali Atagoran dan Agung Aprizal, dari Kantor Hukum Agus Widjajanto and Partner, dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/9/2023).

Diungkapkan. soal status dan penahanan dari Sdr CSY, pihaknya tidak hanya terpaku pada obyek apa yang diatur dalam KUHAP dalam praperadilan yang akan ajukan. Lebih dari itu adalah membangun peradaban baru dalam khasanah keadilan ke depan.

 

"Yang kita persoalkan adalah tidak didampinginya saksi saat diperiksa penyidik, saat BAP sebagai saksi, hingga terjadi penetapan tersangka dan langsung dilakukan penahanan," tegas Hendrik.

Setelah dilakukan penahanan, CSY juga tidak diperbolehkan dijenguk dan oleh petugas dikatakan karena adanya perintah atau instruksi dari atasan. CSY baru boleh dijenguk setelah habis masa isolasi selama sepekan ke depan.

Menurut Hendrik, instruksi dari atasan itu sangat jelas tidak diatur dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan melanggar hak-hak dari seseorang walaupun statusnya sebagai tersangka.

Selain itu, penerapan pasal dalam Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga dipertanyakan CSY. Apalagi, patut diduga ada ketidakakuratan dalam penerapan pasal yang bisa jadi masuk dalam kasus perdata, namun dimasukkan dalam kasus tindak pidana.

"Ketiga, klien kami hanya head manager keuangan yang tidak punya kewenangan kebijakan dalam mengambil keputusan, semua keputusan ditangan pimpinannya," tegas Hendrik.

Saudara CSY, lanjut dia, justru merupakan pihak yang mendorong pentingnya dilakukan audit investigasi internal keuangan perusahaan. Hal itu dibuktikan dengan komunikasinya ke salah satu petinggi di Kementerian BUMN.

Dari komunikasi itu, selanjutnya induk holding perusahaan farmasi yakni PT Bio Farma turun tangan melalui Satuan Pengawasan Internal (SPI) dan dilanjutkan dengan turunnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

"Justru klien kami yang awalnya berkomitmen untuk membenahi perusahaan, seharusnya langkah klien kami diapresiasi. Bukan sebaliknya, orang-orang baik yang mempunyai komitmen membenahi BUMN dikriminalisasi," tegas Hendrik.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Prof Dr I Gde Pantja Astawa, mengatakan, fenomena pelapor seperti CSY yang justru ditetapkan sebagai tersangka mengingatkan pada relasi antara hukum dan kekuasaan yang sering digambarkan sebagai dua sisi dalam satu mata uang (both side of one coint). 

Dua hal mendasar itu dapat dibedakan, tapi tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Hukum membutuhkan kekuasaan agar hukum bermakna (bukan sekadar kumpulan norma tanpa makna) untuk dipatuhi atau ditaati. 

Sebaliknya, kekuasaan membutuhkan hukum agar tidak menimbulkan kesewenang-wenangan. Dua hal mendasar pada tataran das sollen itu sangat ideal dalam praktek penyelenggaraan negara, termasuk dalam law making policy dan law enforcement policy. 

Namun pada tataran das sein, hukum selalu sub-ordinat pada kekuasaan, atau kekuasaan (yang berujud : jabatan, tahta, pengaruh, kepintaran, ilmu pengetahuan, harta, wanita, dan senjata) selalu determinan terhadap hukum. 

Bahkan ekstrimnya, kekuasaan pun memarjinalkan etika dan moral. Ketika pemegang kekuasaan tidak memiliki integritas diri, buta akan hati nuraninya, dan tidak punya hati, maka apapun bisa dilakukan : menghitam-putihkan hukum, membolak-balikan hukum.

"Dalam arti orang yang benar menjadi salah dan orang yang salah menjadi benar, orang yang seharusnya diberikan reward karena berhasil mengungkap suatu kejahatan justru dibuat menjadi pesakitan, orang yang seharusnya dibebaskan, justru dijatuhi hukuman yang berat," jelas Prof Gde.

Praktek-praktek yang demikian, lanjutnya, semakin marak dipertontonkan oleh mereka pemegang kekuasaan di segala cabang kekuasaan. Baik di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Perlawanan atas praktek yang demikian itu berpotensi melahirkan Parlemen Jalanan, Reformasi, eigen richting / main hakim sendiri, dan Street Justice.

"Karena di Indonesia, atmosfir hukum sudah demikian kelam diselimuti dark justice," tutup Prof Gde.


Tinggalkan Komentar